Tampilkan postingan dengan label Hermansyah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Hermansyah. Tampilkan semua postingan

Manuskrip Incaran Ust. Abdus Somad (Final)

Selain manuskrip (naskah klasik) karya Nuruddin Ar-Raniry berjudul Shirat al-Mustaqim berkaitan dengan fiqih ibadah, seperti membahas persoalan thaharah (bersuci), shalat, puasa, zakat dan haji, dan segala persoalan yang terjadi di setiap bagian.

Karya lainnya -telah dikupas sebelumnya- adalah karya Abdurrauf al-Jawi al-Fansuri berjudul Tarjuman al-Mustafid sebagai kitab tafsir berbahasa Melayu (Indonesia) pertama di Dunia. Karya dan sumber penafsirannya  merujuk kepada beberapa kitab ulama tafsir mu'tabarah, seperti Tafsir al-Bawdhawi.

Adalah manuskrip tentang Hadist yang juga disinggung oleh Ust. Abdus Somad. Hal tersebut begitu penting sebagaimana disebut dalam ceramahnya di Banda Aceh. Kitab Hadist Arba'in (Hadist Empat Puluh) sebuah naskah yang dicari-cari oleh beliau. Hadist Arba'in adalah kitab hadist yang memuat  40 pilihan Hadist Nabi Muhammad, berkaitan dalam beragam hal dan persoalan. Temanya juga beragam.

Banyak riwayat menyebutkan keutamaan menghafal dan mempelajari kitab Hadist Arba'in. Dalam catatan para ulama, beberapa Hadist Nabi mengisyaratkan akan keutamaan Hadist Arba'in, walaupun riwayat-riwayat tersebut dikategorikan Hadist Dhaif, dan ada juga yang Hasan.  Imam al-Nawawi dalam mukaddimah kitabnya al-Arba'in al-Nawawi menyebutkan bahwa setiap orang yang menghapal 40 Hadist dari perkara agamanya, maka dia akan dikelompokkan ke golongan para fuqaha (ahli fiqih) dan para ulama.

Baca juga; Manuskrip Incaran Ust Abdus Somad (1)

Ternyata, hasil penelusuran saya tentang Hadist Arba'in di Aceh-Nusantara cukup beragam. Beberapa teks tersebut menunjukkan perbedaan konten Hadist, isi bahasan dan pendahuluannya. Variasi kandungan tersebut menunjukkan keluasan pengetahuan dan keberagaman pemahaman dalam penyampaian ilmu Hadist oleh ulama-ulama dan Ahli Hadist terdahulu.

Varian konten tersebut dapat diasumsikan sebagai sumber rujukan hadist dari ulama yang berbeda, dan juga diakibatkan kondisi dan situasi saat penulisan ataupun penyalinan teks. Tentu ada beberapa faktor lainnya yang melatar belakangi lahirnya teks yang berbeda tersebut.

Akan tetapi, Hadist Arba'in di Aceh -dan kemungkinan di Nusantara- paling banyak merujuk pada versi berikut ini.

Salah satu Hadist Arba'in yang menjadi kajian ulama Aceh dan Nusantara adalah manuskrip Hadist Arba'in koleksi Museum Aceh nomor 07.0578, yang ditulis atau disalin dalam bentuk terjemahan berbaris. Matan teks dalam bahasa Arab dan terjemahan miring dalam aksara Jawi berbahasa Melayu/Indonesia.
Gb. 01 Halaman awal teks Hadist Arba'in. Ms. 07.578 Koleksi Museum Aceh
Teks naskah Ms. 07.0578 dimulai bahasan Hadist pertama dengan "Ash-Shalat 'imād ad-dīn..." dengan terjemahan dibawahnya "Sembahyang itu tiang agama..." Sebagaimana Gb. 02 di bawah ini

Gb. 02 Halaman dua teks Hadist Arba'in. Ms. 07.578 Koleksi Museum Aceh.

Baca juga: Manuskrip Incaran Ust. Abdus Somad (2)

Hadist yang sama juga terdapat pada naskah lainnya koleksi masyarakat di Aceh Besar. Namun sayang, naskah ini telah dijual ke luar Aceh. Saya sempat mengabadikan beberapa halaman pada tahun 2016.

 Gb. 03. Halaman awal teks Hadist Arba'in. Ms Koleksi Pribadi Masyarakat.
Hadist Arba'in  ini juga koleksi Museum Aceh di Banda Aceh, nomor aktuil 07.1197. Sebagaimana teks di atas tentang sistem penulisan matan dan terjemahannya, maka pada teks ini juga ditemukan yang sama. Matan teks ditulis di baris atas dengan font lebih besar, sedangkan terjemahan ditulis di bawah teks mata dengan posisi miring.

Naskah lainnya di koleksi yang sama dengan nomor 07.1223 juga memiliki teks yang sama dengan versi  di atas. Walaupun teks ini disalin dengan kurang baik tetapi juga memiliki terjemahan berbaris.

Gb. 04. Halaman dua teks Hadist Arba'in. Ms. 07.1223 Koleksi Museum Aceh.

Masih banyak manuskrip Hadist Arba'in khususnya yang belum dikupas, di koleksi Museum Aceh saja tak kuran dari 10 naskah Hadist Arba'in. Hal tersebut tentu belum ditelusuri di koleksi masyarakat dan lembaga perseorangan, misalnya Yayasan Ali Hasjmy dan Zawiyah Tanoh Abee.

Sebalik itu, ilmu Hadist dan kajian Hadist masih kurang populer di Aceh bila dibandingkan dengan kajian ilmu fiqih dan tasawuf. Hal tersebut jelas terlihat dari jumlah kuantitas khazanah yang tersebar saat ini. Namun, hal tersebut bukan berarti kajian Hadist terabaikan, akan tetapi kadangkala terintegrasi dalam kajian-kajian lainnya. Sebab jika melihat tradisi terjemahan berbaris pada naskah-naskah di atas, maka tradisi penulisan (pengajaran) dan transmisi keilmuan Hadist pernah berkembang di Aceh. Wallahu a'lam.

Manuskrip Incaran Ust. Abdus Somad (2)

Manuskrip ataupun kitab kedua yang menjadi pembahasan Ust. Abdus Somad saat "Zikir International" di Banda Aceh adalah Shirat al-Mustaqim. Kitab fiqih 'ubudiyah pertama dalam bahasa Jawi adalah karya Shaykh Nuruddin bin Ali Hasanji Ar-Raniry. Sesuai dengan nisbahnya, ia berasal dari Ranir, India. Pada tahun 1637, ia tiba dan berkiprah di Kesultanan Aceh Darussalam.
Halaman Pertama Kitab Shirat al-Mustaqim karya Nuruddin Ar-Raniry (Koleksi Museum Aceh)
Beberapa penelitian menyebutkan kitab Shirat al-Mustaqim telah ditulis pada saat Nuruddin Ar-Raniry tiba di Aceh era Sultan Iskandar Tsani, namun baru diselesaikan pada Sultanah Safiyatuddin Syah Tajul Alam (1641-1675) sebelum Nuruddin Ar-Raniry kembali ke India.

Dalam salah satu teks Shirat al-Mustaqim menyebutkan  selesainya penulisan pada hari Selasa 19 Safar  1054 H bertepatan dengan 9 November 1644.

Judul Naskah "Shirat al-Mustaqim" merupakan bagian dari iftitah al-Quran. 
Itu artinya, tahun tersebut merupakan tahun terakhir Nuruddin Ar-Raniry di Aceh, karena di tahun yang sama, ia kembali ke India dan tak pernah kembali lagi ke Aceh, tanah yang menempatkannya di posisi srategis dan telah melahirkan banyak karya disini.

Memang, ulama asal India ini masih kontroversi. Namun demikian, karya-karyanya sangat bermanfaat dan masih menjadi referensi hingga hari ini. Termasuk Shirat al-Mustaqim yang menjadi salah satu rujukan bagi ulama-ulama di Nusantara. Bahkan kitab ini menjadi pedoman untuk kerajaan-kerajaan Islam di luar Nusantara (sekarang: Indonesia), seperti di Malaysia, Thailand Selatan, Filipina, Brunai Darussalam dan lainnya.

Dalam ceramah Ust. Abdus Somad, ia menyampaikan bahwa Kitab Shirat al-Mustaqim menjadi rujukan utama atas lahirnya kitab Sabil al-Muhtadin lit-Tafaqquh fi Amri ad-Din (Sabilal Muhtadin) yang menjadi bacaan wajib di dayah-dayah di Aceh. Kitab tersebut karya Shaykh Muhammad Arsyad al-Banjari seabad setelah meninggal Nuruddin Ar-Raniry di India.

Baca juga: Manuskrip Incaran Ust. Abdus Somad (1)

Shirat al-Mustaqim salah satu bagian sumber rujukan ataupun pedoman yang digunakan oleh Shaykh Arsyad al-Banjari dalam kitabnya. Di pembukaan kitabnya disebutkan:
Kitab Sabilal Muhtadin merujuk pada Kitab Shirat al-Mustaqim (Koleksi Museum Aceh)

"Adapun kemudian daripada itu, maka berkata seorang faqir yang sangat berkehendak kepada Tuhannya yang Maha Besar yang mengaku ia dengan dosa dan taqsir yaitu, Muhammad Arsyad anak Abdullah dalam daerah negeri Banjar. Mudah-mudahan kiranya mengampuni baginya dan bagi sekalian Islam Tuhannya yang menjadikan sekalian Alam. Bahwasanya kitab seorang alim yang lebih yaitu Shayk Nuruddin Ar-Raniry nama negerinya, yang dinamai ia Shirat al-Mustaqim pada ilmu fiqih atas madhab Imam Syafi'i radhiya Allah Ta'ala 'anhu, daripada sebaik-baik kitan yang dibahasakan dengan bahasa Jawi, karena bahwasanya segala masalahnya diambil ia dari beberapa kitab fiqih yang berbilang istimewa pula." (Sabil al-Muhtadin lit-Tafaqquh fi Amri ad-Din)

Kitab fiqih Shirat al-Mustaqim karya Nuruddin Ar-Raniry menjadi inspirasi untuk Shaykh Muhammad Arsyad al-Banjari dalam mengarang kitab Sabil al-Muhtadin yang juga menelaah tentang fiqih. Selain kekagumannya terhadap manfaat dari kitab Shirat al-Mustaqim pada periode Nuruddin ar-Raniry dan satu abad berikutnya di periode Muhammad Arsyad al-Banjari (1710-1812).
Judul Kitab Sabilal Muhtadin Lit-Tafaqquh fi Amr ad-Din karya Muhammad Arsyad al-Banjari


Selain itu, Muhammad Arsyad al-Banjari juga menyebutkan beberapa alasan lainnya terhadap  penulisan kitabnya. Dalam pandangan Shaykh Muhammad Arsyad al-Banjari bahwa tidak ada lagi naskah (kitab) orisinil karya tangan Nuruddin Ar-Raniry, sehingga mengakibatkan terjadi beberapa perbedaan pada kitab-kitab salinan.

Alasan lainnya, Kitab Shirat al-Mustaqim karya Nuruddin Ar-Raniry telah disisipi beberapa kosakata bahasa Aceh, sehingga tidak dapat dipahami oleh pelajar non-Aceh. Istilah-istilah tersebut semakin banyak ditemukan pada naskah-naskah salinan yang tersebar.
Salah satu halaman salinan naskah  "Shirat al-Mustaqim" yang dipenuhi catatan-catatan (hasyiah) (Koleksi Museum Aceh)

Parateks (salah satu bagian dari ilmu Filologi)  jadi catatan menarik dan penting bagi para peneliti naskah, sebab goresan tambahan tersebut sangat penting untuk memahami konteks dan situasi saat itu. Sering kali, teks yang sama judul dan pengarang belum tentu sama kualitas naskah diakibatkan beda penyalin. Kadang, satu naskah memiliki catatan-catatan pinggiran, sedangkan yang lain tidak sama sekali. Disinilah keunikan mengkaji naskah atau manuskrip. 

Jika ditinjau kandungannya, kitab ini membahas pokok-pokok ibadah yang terdapat dalam Rukun Islam, mulai shalat dan bahasan terkait lainnya (wudhu', tayammum, dan lainnya), juga mengkaji tentang puasa, zakat. dan haji. Walaupun pembahasannya dasar-dasar peribadatan dan keagamaan, namun ia merujuk kepada kitab-kitab muktabar dari para ulama-ulama besar di Jazirah Arab.  

Kitab Sirat al-Mustaqim merujuk kepada kitab-kitab berikut ini:
1. Kitab Minhaj al-Thalibin karya Imam Nawawi. Ulama tersohor ini bernama lahir di kampung Nawa, Syiri 631 H /1233 M dan meninggal  di wilayah yang sama tahun 676 H / 1277.

2. Kitab Manhaj al-Thullab karya Abi Zakariyya Anshari. Kitab penting dalam meninterpretasi (syarah) kitab tersebut di atas, Minhaj al-Talibin. Ulama ini bernama lengkap Zakariya ibn Muhammad ibn Abn ibn Zakariyya, lahir di Sanika- Mesir tahun 823 H/ 1420 M.

3. Kitab Fath al-Wahhab adalah kitab komentar terhadap Manhaj al-Thullab merupakan pengarang yang sama, Imam Abi Zakariyya Yahya Ansari.

4. Kitab Hidayat al-Muhtaj Sharh ila Mukhtasar Ibn Hajj karya Imam Shihab ad-Din Ahmad Shaykh Ibn Hajar Makki (909-974 H/ 1504-1567). Dia adalah salah seorang alim yang bermazhab Syafi'i di Mesir, dan kemudian wafat di Mekkah.

5. Kitab al-Anwar li-'Amal al-Abrar karya Imam Ardabili, Yusuf Ibrahim, Jamaluddin Ardabili dari Azerbaijan, meninggal 799 H/ 1397

6. Kitab 'Umdat as-Salik wa 'Uddat an-Nasik karya Imam Ahmad ibn an-Naqib al-Misri (meninggal 769 H/ 1368). Lahir di Kairo Mesir 702 H.

Kitab Sirat al-Mustaqim dapat disebut salah satu kitab terkenal dan menyebar secara luas di Asia Tenggara, terutama daerah-daerah yang memiliki kerajaan Islam. Hal tersebut tidak terlepas dari kebijakan Kesultanan Aceh (red. Pemerintah) dalam menyebarluaskan karyanya tersebut.

Dukungan Kerajaan Aceh, khususnya peran dari Sultanah Safiyatuddin Syah Tajul Alam yang memberikan dukungan penuh untuk penyelesaian kitab fiqih berbahasa Melayu perdanan di Melayu Nusantara telah menempatkan posisi Aceh di puncak keselarasan. Peran pemerintah dalam legalitas pemerintahan yang baik, memberikan dukungan dan fasilitas lainnya kepada ulama untuk melahirkan satu karya yang fenomenal.

Saat ini, kitab Shirat al-Mustaqim dapat dijumpai di banyak tempat koleksi manuskrip di Aceh, baik pribadi ataupun lembaga. Koleksi Museum Aceh dapat ditelusuri nomor Inv. 07.0219, No. 07.1199, No. 07.670, No. 07.878, No. 07.532, No. 07.953, No. 07.793 dan No. 929. Sedangkan di Ali Hasjmy No. 134/FK/6/YPAH/2005, 211/FK/5/YPAH/2005 dan 160/FK/4/YPAH/2005.

Sedangkan Kitab Sabilal Muhtadin juga dapat dijumpai di Museum Aceh berjumlah 4 manuskrip dengan Nomor Inv. 07.001, No. 07.463, No. 07.464 dan 07.905.

Selain kedua lembaga di atas, Zawiyah Tanoh Abee Aceh Besar juga banyak mengoleksi kedua kitab tersebut. Tentunya juga dikoleksi pribadi di masyarakat Aceh. Namun sayang, tidak ada data inventarisasi naskah-naskah di koleksi pribadi seluruhnya Aceh, termasuk di Pemerintah Aceh.




Referensi dari berbagai sumber jurnal, media cetak dan online serta manuskrip



Penggugat Uang Seribu Ajukan Sederet Bukti Ke Pengadilan

Pengadilan Jakarta Pusat, Kamis (24/8/2017) menggelar sidang lanjutan perkara gugatan Asrizal H Asnawi terhadap Bank Indonesia (BI) yang menerbitkan gambar pahlawan wanita asal Aceh, Cut Meutia tanpa penutup kepala di uang pecahan Rp 1.000.
Untuk diketahui, Asrizal H Asnawi yang menggugat gambar Cut Meutia pada uang kertas Rp 1.000, saat ini menjabat sebagai Anggota DPR Aceh, sekaligus Ketua Fraksi PAN DPRA.
Kuasa hukum penggugat, Safaruddin SH dalam pesan Whatapps kepada Serambinews.com mengatakan, sidang lanjutan dengan agenda pembuktian ini dimulai pada pukul 14.30 WIB. Dengan majelis hakim, Tafsir Sembiring Meliala SH MH (ketua), Abdul Kohar SH MH, dan Desbenneri Sinaga SH MH.
Safaruddin yang mendampingi Asrizal H Asnawi dalam persidangan tersebut mengatakan pihaknya mengajukan sejumlah bukti untuk memperkuat alasan menggugat.
1. Catatan Ahli Sejarah Aceh, Hermansyah dengan judul: Peuteupat (meluruskan) Sumber Sejarah Pahlawan, yang mengkaji tentang foto Cut Meutia yang digunakan oleh Bank Indonesia dalam uang pecahan Rp1000,-.
Foto perempuan Aceh, karya Christiaan Benjamin Nieuwenhuis (1901) yang diduga sebagai cikal bakal gambar Cut Meutia. (KITLV)
Dalam hal ini dapat merujuk kepada dua alternative/versi:
1. Foto versi lainnya Cut Mutia dalam buku resmi Belanda-Indonesia berjudul "Perang Kolonial Belanda di Aceh" (1977) (Gambar 113. Hal. 153) Pelukis: Gambiranom (antara tahun 1960-1970). Walaupun tidak wajah asli Cut Mutia, tetapi foto ini yang digunakan dalam buku tersebut resmi.
2. Versi kedua mereproduksi kembali sketsa Cut Mutia merujuk kepada foto cucu perempuannya.
Sketsa tersebut dapat dilakukan seperti gambar Pocut Meurah Biheue oleh Gambiranom di dalam buku yang sama (Gb. 107 hal. 147). Atau sketsa tokoh Tgk Chik Di Tiro atau Tgk Chik Abbas Kutakarang oleh Belanda.
Pihak penggugat juga mengajukan sederet bukti dokumen lainnya. Seperti, Bahagian Buku Aceh Bumi Srikandi yang diterbitkan oleh Pemerintah Aceh tahun 2008, yang menerangkan sosok Cut Meutia sebagai pahlawan Aceh.
Bahagian Buku: Aceh Tanah Rencong, yang diterbitkan oleh pemerintah Aceh tahun 2008, yang menerangkan sosok dan rekaan wajah Cut Meutia dengan memakai hijab.
Bahagian Buku: Ensiklopedi Aceh yang diterbitkan oleh Pemerintah Aceh tahun 2008, yang menerangkan tentang pakaian Cut Meutia pada masa itu. Serta referensi Gambar Cut Meutia dari berbagai sumber.
"Sidang akan dilanjutkan pada tanggal 7 September 2017 dengan agenda pemeriksaan saksi fakta dan saksi ahli dari penggugat," kata Safaruddin yang juga menjabat Ketua Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA).

Gambar Cut Meutia Harus Diganti

BANDA ACEH - Anggota DPD RI asal Aceh, Ghazali Abbas Adan meminta pihak Bank Indonesia (BI) dan pihak terkait lainnya mengganti gambar Cut Meutia yang tak berhijab di uang kertas pecahan Rp 1.000 tahun emisi 2016 dengan gambar Cut Meutia berhijab. Selain tidak sesuai fakta sejarah, gambar pahlawan perempuan Aceh tak berhijab di mata uang juga akan berpengaruh tak baik terhadap penegakan syariat Islam di Aceh.

Pandangan itu disampaikan Ghazali Abbas Adan saat memberikan kesaksiannya sebagai saksi fakta pada sidang lanjutan perkara gugatan untuk menghijabkan gambar Cut Meutia pada uang pecahan Rp 1.000 di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Selasa (19/9). Perkara yang dikenal “gugatan uang seribu” ini diajukan Anggota DPRA Asrizal H Asnawi bersama pengacaranya dari Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA), Safaruddin SH.



“Gambar Cut Meutia di uang seribu harus diganti dengan yang berhijab. Karena seperti sudah disampaikan dua saksi ahli tadi, ada rujukan lukisan pihak kolonial Belanda yang melukis Cut Meutia memakai penutup kepala,” kata Ghazali Abbas Adan, seperti dikutip pengacara penggugat, Safaruddin SH, melalui pesan tertulis kepada Serambi kemarin.

Sidang kemarin dipimpin oleh Tafsir Meliala Sembiring. Di depan majelis hakim, Ghazali juga memaparkan bahwa berdasarkan cerita dan beberapa literatur yang dipaparkan dua saksi ahli yang dihadirkan pada sidang kemarin, Cut Meutia adalah pahlawan yang juga sosok ulama perempuan. Hal ini terbukti dengan penabalan namanya pada sejumlah masjid di Aceh, termasuk masjid bersejarah di kawasan Menteng, Jakarta Pusat.

Ghazali mengatakan, dengan fakta-fakta tersebut sungguh tidak masuk akal jika seorang pahlawan yang berjuang di jalan Allah tidak memakai penutup kepala. Menjawab pertanyaan pengacara penggugat, Ghazali juga mengatakan sungguh tidak elok jika gambar Cut Meutia yang tidak berhijab itu ditempelkan di masjid-masjid yang mengabadikan nama Cut Meutia.

Ghazali Abbas juga membacakan bunyi Pasal 125 dan Pasal 127 UUPA tentang pelaksanaan syariat Islam di Aceh. “Saya pikir tidak ada ruginya bagi Bank Indonesia jika menggantikan gambar Cut Meutia yang tidak berhijab dengan gambar Cut Meutia yang berhijab. Nanti saya juga akan bicarakan hal ini dengan Deputi Bank Indonesia dan Menteri Keuangan RI,” kata Ghazali saat menanggapi pertanyaan dari perwakilan pengacara BI. Sidang akan dilanjutkan Selasa (26/9) dengan agenda mendengarkan saksi dari pihak BI


Adapun dua ahli yang dimintai pendapatnya dalam sidang itu kemarin adalah Dr Husaini Ibrahim selaku Kepala Laboratorium Sejarah FKIP Unsyiah sekaligus Dosen Sejarah FKIP Unsyiah dan Anggota Pemangku Adat pada Majelis Adat Aceh (MAA) Provinsi Aceh. Sementara saksi ahli kedua adalah Hermansyah selaku Dosen Filologi dan Kajian Manuskrip pada Prodi Sejarah Kebudayaan Islam di Fakultas Adab dan Humaniora UIN Ar-Raniry serta Ketua Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa) Provinsi Aceh.

Kedua ahli sejarah ini berpendapat tidak ada satu pun bukti bahwa foto Cut Meutia yang digunakan pada uang pecahan Rp 1.000 adalah foto asli. “Itu adalah foto palsu. Gambar itu awalnya merupakan gambar seorang model yang dipotret di studio foto milik Belanda di Kutaraja (Banda Aceh sekarang) untuk tujuan membuat post card,” kata Hermansyah di depan majelis hakim.

Untuk menguatkan keterangannya, Hermansyah juga melampirkan sejumlah bukti foto-foto perempuan Aceh pada masa Belanda yang menggunakan hijab saat berada di tempat umum. Dokumen-dokumen yang diperoleh dari website KITLV ini kemudian diserahkan oleh Hermansyah kepada majelis hakim. Dengan berbagai bukti tersebut, kedua ahli ini juga berharap agar pemerintah meninjau kembali penerbitan foto Cut Meutia.


Source: Serambi Indonesia

Sepucuk Surat Tgk Chik di Tiro

Sepucuk surat masih tersimpan rapi di laci meja kerja Belanda di Kutaradja (Banda Aceh). Surat tersebut dari Faqir Haji Syekh Saman di Tiro, begitulah nama di dalam Surat itu ditujukan kepada Residen Belanda van Langen, 1885. Surat-surat ini bukan kali pertama dikirim ke Belanda. Sebagai seorang terpelajar dan alim yang belajar di Haramain (terutama di Mekkah) sangat mengerti akan akibat perang yang telah terjadi, dan ia tidak ingin menambah keterpurukan tersebut.

Isi surat Tgk Chik di Tiro hanya dua poin utama, selain memintaf maaf kepada dunia telah menyerang Kesultanan Aceh sebagai negara yang berdaulat dan bangsa yang merdeka, yang masih terikat kerjasama -selain dengan kerajaan Islam di Melayu-Nusantara- dengan beberapa bangsa lainnya saat itu; Inggris, Amerika, Perancis dan Turki.

Antara tahun 1884-1889 Tgk Chik di Tiro bahkan berulang kali mengirim surat kepada pemerintahan di Kutaradja. Inti suratnya hampir sama, yaitu menyeru untuk masuk Islam;
Jika tuan-tuan dengar dan turut [masuk Islam] seperti nasihat kami ini dapat untung baik, dapat kemegahan, jadi tuan akan menjadi kepala kami dan dapat harta, seperti mereka yang telah lari ke pihak kami telah memperoleh harta dan hidup dengan senang dan berjalan tanpa mengikuti perintah orang lain, tenang tidur dan makan tanpa menghindari mereka atau menyalahkan mereka
Bebas sebagai burung di hutan dan ikan dalam air, dan mendapat sejumlah wanita yang baik-baik dan tidak bergaul dengan orang lain, semua menurut hukum-hukum Islam.

Permintaan sekaligus "kata dua" (dalam bahasa Aceh atau Melayu lama diartikan sebagai ultimatum) adalah; pertama Belanda yang ada di Aceh diharapkan masuk Islam. Dan pilihan kedua dari permintaannya; atau keluar dari Aceh secara baik-baik.

Kedua pilihan itu untuk mengakhiri invansi Belanda ke Aceh sejak Maret 1873 sampai tahun 1885 dikuasai tak lebih luas dari kawasan Keraton Sultan (Dalam) dan area Mesjid Raya, Ulee Lheu dan Neusu.  Singkatnya dapat dikatakan, Krueng Aceh menjadi pembatas wilayah kekuasaan Belanda dan wilayah "Mujahidin" di Banda Aceh. Walaupun zona perang lebih luas dari wilayah di atas, sebab Belanda memusatkan pangkalan-pangkalan perang di setiap kuala-kuala di Aceh untuk memutuskan hubungan diplomasi antara Aceh dengan pihak luar.


Surat tersebut baru dibalas pada tahun 1888, dengan menolak seruan Tgk Chik di Tiro. Sebuah keputusan yang melahirkan duka berkepanjangan bagi Belanda, sebab akibatnya harus banyak korban jiwa dan anggaran dana perang yang tak sedikit harus dicurahkan ke Aceh.

Bagi Belanda, Tgk Chik di Tiro tidak dapat diukur jiwa dan taktik perangnya dengan pemuka-pemuka Aceh lainnya, ia sendiri menolak jabatan dari Kerajaan Aceh dan apalagi Belanda, maka dalam suratnya hanya termaktub "yang khadam ureung muprang fi sabilillah di tanoh Aceh Darul Aman" sebuah kalimat yang tulus, ikhlas, tegas dan tawadhu'. Karenanya, ia menjadi orang paling berani di garis depan dalam melawan Belanda, dan orang paling disegani dalam tataran penguasa Aceh karena berani menyentil penguasa (uleebalang) yang membelot dan bekerjasama dengan Belanda.

Melalui nasehat Tgk Chik di Tiro jugalah Sultan Aceh Muhammad Daud Syah hijrah ke Keumala, Pidie Dalam. Ia dapat konsentrasi penuh di sana. Sebagai simbol negara, ia tidak dibenarkan untuk menyerah dan menjadi simbol sebuah bangsa. Tetapi, Tgk Chik di Tiro bukan bersama Sultan di Pedalaman Pidie, tetapi lebih memilih berjuang di kawasan Aceh Besar, mengambil barisan terdepan dan terdekat ke Koetaradja (Banda Aceh) untuk menyerang Aceh.

Dari bubuhan cap Tgk Chik di Tiro juga terlihat tidak ada jabatan yang ingin disandangnya, tidak ada kekuasaan yang diharapkannya.  ditengah tertulis "Syaikh Saman Tiro" dilingkari dengan bintang lima sudut dan tulisan "shahih".



 Dari ketiga surat di atas ditujukan kepada orang yang berbeda, terutama para Uleebalang di Banda Aceh. Demikian, cap Tgk Chik di Tiro juga sama dengan surat  yang diajukan ke Belanda, untuk memilih masuk Islam atau meninggalkan Aceh.

Surat-surat tersebut menjadi bukti bahwa ia mendahulukan diplomasi dan kemaslahatan umat lebih besar dan utama. Namun, sikap penjajahan Belanda dan disertai sebagian sikap uleebalang Aceh yang  menjadi "lamiet" Belanda, memaksanya untuk memilih pilihan terakhir.

Ia berperang hingga akhir hayatnya. Namun, menurut sejarawan, Tgk Chik di Tiro meninggal pada tahun 1891 bukan dalam medan perang. Belum ada data tepatnya tanggal dan bulan secara umum tidak menyebut kecuali Ismail Jakub (1960) yang menyertakan pada tanggal 10 Jumadil Akhir 1308 H disertai "bertepatan dengan bulan Januari 1891". Tanggal tersebut, apabila saya konversi bertepatan dengan Rabu 21 Januari 1891.

Sedangkan Alfian menyebut "Setelah Tgk. di Tiro meninggal dunia pada 25 Januari 1891
ulama mi digantikan oleh anaknya Tgk. Mat Amin sebagai Teungku Chik". (1987: 160)



Tidak didapati tanggal yang akurat karena Tgk Chik di Tiro meninggal di Miureu (Mureu) Aneuk Galong Indrapuri, di benteng utama pejuang Aceh. Di sini ia lama bermukim dalam peperangan. Awalnya, perihal kepulangannya ditutupi oleh Mujahidin Aceh untuk tidak diketahui oleh banyak orang, termasuk Belanda. Sebab, isu syahidnya Tgk Chik di Tiro tersebut sering dihembuskan militer Belanda setiap perang untuk melemahkan pejuang Aceh.

Demikian juga sebab meninggalnya, dapat dipastikan karena sakit terkena wabah penyakit, bukan karena diracuni oleh orang Aceh (Njak Ubit) atas suruhan Belanda, sebagaimana disebut Jakub. Itu sebuah cara Belanda untuk memecah belah masyarakat Aceh.

Sebab, belakangan diketahui wabah penyakit ini menjadi sebuah penelitian Profesor C.A. Pekelharing dan Dr. C.W. Winkler  mengenai penyakit itu yang mayoritas terkena pada orang Aceh Besar dan orang Belanda, terutama di Aceh. Dalam laporannya pada tahun 1888 mereka berpendapat bahwa wabah ini disebabkan oleh infeksi. Barulah dalam tahun 1896 seorang asistennya, Dr. C. Eijkman, yang kemudian menjadi guru besar dan mendapat hadiah Nobel, menemukan bahwa penyakit itu disebabkan oleh ketiadaan vitamin BI yang terdapat pada kulit ari-ari beras. (1977:39)

Impian Tgk Chik di Tiro selalu ingin syahid di tengah medan perang, sebagaimana dalam Hikayat Prang Sabi yang selalu didengungkannya;
Meungnyo maté di rumoh inong, hanpue tanyong meugriet han sabé
Sakét teu that geucok nyawong, nyang kon keunong sinjata kaphé
Bah lam shaf prang mubak teugageueng, bah seulinteueng sinan meugulé
Ta niet droe keu ie sikureueng, bah teugageueng bak tapöh kaphé
Wahé teungku cut adoe meutuah, bèk lé dahsyah ta duk sabé
Meungna hajat ridha Allah, beudöh langkah jak prang kaphé


Mencari Manuskrip Maulid Nabi versi Tgk. Chik di Tiro dan Tgk. Krueng Kalee

Di mana Muslim berada di dunia ini, disitulah perayaan Maulid Nabi dilaksanakan. Tidak menjadi soal ia mazhab apa, generasi ke berapa, dan strata miskin atau kaya.  Memang, memasuki bulan Rabiul Awal tahun Hijriyah selalu diperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW di seluruh negara muslim ataupun non-muslim.

Peringatan tersebut diadakan dalam beragam bentuk, sebagian menceritakan kembali sejarah kehidupan Nabi Muhammad, orang tua menceritakan kisah-kisah keteladanan Nabi, dan sebagian lainnya bersedekah dan beramal di hari kelahiran tersebut. Mayoritas acara-acara di atas dipadu dalam kegiatan keagamaan seperti membaca selawat dan barzanji. 

Demikian juga di Aceh (termasuk Melayu-Nusantara) sejak dulunya melakukan yang sama yang dapat dilihat dari beragam manuskrip tentang Maulid (Aceh: Maulot) Nabi Muhammad. Naskah-naskah tersebut cukup banyak sekali varian dan jumlahnya, yang kini menjadi bacaan “wajib” dalam perayaan maulid Nabi.

Salah satunya manuskrip paling banyak beredar yang digunakan adalah Dala’il al-Khairat karya Abu Abdillah Muhammad ibn Sulaiman Al-Jazuli, ulama terkenal berasal dari Maghrib (Maroko) (m. 870 H 1465 M). Dari kitab ini, masyarakat Aceh lebih menyebut “meudalae'e” yaitu kegiatan membaca kitab Dalail.

Khusus di Aceh, membaca “dalae'e” ataupun syair-syair pujian dalam bahasa Arab (Hizb) sejenisnya yang terkenal dilakukan sejak bulan Rabiul Awal dan seterusnya. Selain itu, masih ada tradisi nalam (Arab: nazham) juga dalam bentuk syair yang berisikan tentang pujian dan selawat kepada Rasulullah dalam bahasa Aceh.

Terdapat juga kitab Abu 'Abdallah Muhammad ibn Sa'id al-Busiri Ash-Syadhili (1211-1294) di Mesir mengarang puji-pujian selawat kepada Nabi berjudul “Qasidah al-Burdah” yang juga cukup terkenal di masyarakat Muslim Nusantara.

Salah seorang staff Belanda era kolonial, Damste, termasuk yang banyak mengumpulkan manuskrip Aceh dan membawa ke Belanda menamai bahwa teks-teks “Seulaweuet keu Nabi” sebagaimana kolofon teks menyebut “tamat seulaweuet Maulot Nabi”.

Menurut inventarisasi (alm) Teuku Iskandar, sarjana Filolog Aceh di Belanda terdapat naskah-naskah Likee Maulot, atau disebut juga Maulid Barzanji yang sebagian berbahasa Arab dan sebagian lagi berbahasa Aceh. Dalam edisi cetaknya kemudian dikenal “Maulid Syaraf al-Anam”.

Bahkan di Perpustakaan Nasional (PNRI) Jakarta (klik untuk akses manuskrip PNRI) terdapat koleksi kitab Maulot Nabi yang berstempel Tgk. Chik Saman Tiro dan Tgk M. Sa’id Krueng Kalee tahun 1315 H (1898 M), lebih tua naskahnya yang dikoleksi Snouck yang ditemukan tentara Belanda di Rumoh Aceh di Pasar Aceh Samalanga tahun 1916.

Paragraf terakhir inilah yang menjadi tanda tanya besar bagi saya, semoga juga bagi pembaca. Info tersebut diperoleh dari beberapa sumber, walaupun belum jelas apakah benar terdapat naskah "Maulot Nabi" yang berstempel Tgk Chik Saman Tiro dan Tgk M. Sa’id Krueng Kalee tahun 1315 H (1898 M). Kemungkinan besar memang ada, sebab dua tokoh yang sangat dihormati oleh masyarakat Aceh dan koloni Belanda. Keduanya memiliki pengaruh besar di Aceh, baik dalam tradisi keagamaan, kebangsaan dan politik di Aceh saat itu.

Jika kemudian hari para sarjana ataupun peneliti mencari naskah tersebut, maka inilah stempel Tgk Chik Saman Tiro yang diperoleh dalam lampiran-lampiran manuskrip koleksi Leiden
Stempel "Sheyk Saman Tiro" koleksi naskah di Perpustakaan Leiden, Belanda.

Semoga dengan temuan-temuan bukti filologis (manuskrip) tersebut semakin memperkaya khazanah keilmuan di negeri ini dan menambah keimanan kepada baginda Nabi Muhammad dengan mengikuti keteladanannya. Bahwa Kecintaan masyarakat Aceh dan Nusantara terdahulu mengarang nazam maulid Nabi, menyalin dan membacanya sebagai salah satu bentuk kecintaannya kepada baginda Rasulullah, sebagaimana dilakukan oleh mayoritas muslim di dunia. 

Baca juga:

Ini dia naskah Maulid Nabi di Aceh

Indahnya manuskrip Maulid Nabi di Aceh


Surat Peunutoh Teungku Mahyiddin Tiro


A letter written by Teungku Mahidin, alias Teungku Chik Mayet, secon son of Teungku Syeh Saman di Tiro who met his sacred death on September 5, 1910. It is addressed to Tuanku Raja Keumala, Panglima Polem’s brother-in-law, and to all Moslem in Samalanga. The letter described the war situation in Pidie and the death of Teungku di Tungkop. (top)

Begitulah keterangan dalam buku Belanda tentang sebuah sarakata (surat) dari Panglima Perang Aceh di Pidie saat perang Aceh-Belanda berkecamuk. Catatan di atas dapat diartikan sebagai berikut:
"Sepucuk surat Teungku Mahidin alias Teungku Chik Mayet, putra kedua Teungku Syeh Saman di Tiro, syahid pada tanggal 5 September 1910 yang ditujukan kepada Tuanku Raja Keumala, ipar Panglima Polem dan kaum muslimin di Samalanga, antara lain mengenai berkecamuknya peperangan di Pidie dan syahidnya Teungku di Tungkob". Wilayah Tungkop yang dimaksud adalah Tungkop di Pidie.

Informasi tambahan sebenarnya juga terdapat dalam surat tersebut, yaitu saat Teungku di Tungkop syahid, lalu penggantinya Teungku di Buket Muhammad ‘Ali Zainal ‘Abidin. Dalam kondisi perang, "struktur panglima perang" sebagai pemegang komando perang sangat penting sebagai pemberi komando (peunutoh), saat satu pimpinan tertinggi syahid dalam perang, maka secara mufakat atau struktural akan digantikan oleh yang lain sesuai dengan kesepakatan. Sepertinya, inilah yang dimaksud dalam surat tersebut "negeri empunya peunutoh meualon-alon" secara struktural dan terorganisir.


Berikut transkripsi teks perbaris:

1. Hadharat Seri Paduka yang mulia Tuanku Raja Keumala serta segala yang
2. ikutannya daripada saudara Muslimin dalam negeri  Samarlanga [Samalanga] ada semuanya.
3. Wa ba’du. As-salamu’alaikum wa-rahmatullah wa barakutuhu. Maka ahwal Pedir [Pidie] semua
4. dalam gaduh perang tiap-tiap ketika tiada khāli sekali-kali melainkan setengah tempat
5. ada yang terima surat kafir, serta tiada apa-apa atas kami sekali-kali melainkan
6. syahid Teungku di Tungkob  dengan garis takdir dalam Nisfu awal Sya’ban ini
7. serta sudah dijadi ada tandanya Teungku di Buket Muhammad ‘Ali Zainal ‘Abidin
8. akan gantinya dengan izin Tuhan Rabb al-‘Alamin, melainkan harap
9. kami bahwa berbanyak-banyak doa tuanku serta doa tuan-tuan akan keduanya
10. dan akan kami yang tinggal dalam negeri empunyai peunutoh meualon-alon seperti
11. di-ék trön u binéh pasie adanya. Was-salam ‘alà man ittaba’a al-hudà.
12. Daripada perhamba [poe hamba] faqir Mahyiddin Tiro.

11 Sya’ban 1318 H

Kedengaran Teuku Dua Ploh Dua 
sudah sampai dalam Gloeng [Galöng] Tiro.