The Black Road: On the Front Line of Aceh's War
The Black Road: On the Front Line of Aceh's War - Selamat datang di blog Sejarah Aceh, Info kali ini adalah tentang The Black Road: On the Front Line of Aceh's War !! Semoga tulisan singkat dengan kategori
Aceh !!
Aceh Movie !!
Aceh News !! ini bermanfaat bagi anda yang membutuhkan. Dan untuk anda yang baru berkunjung kenal dengan blog sederhana ini, Jangan lupa ikut menyebarluaskan postingan bertema The Black Road: On the Front Line of Aceh's War ini ke social media anda, Semoga rezeki berlimpah ikut di permudahkan sang khalik yang maha kuasa, Selengkapnya lansung lihat infonya dibawah -->
Merupakan judul sebuah film dokumenter yang dibuat oleh William Nessen. Secara umum, film ini menceritakan sebuah perjalan sejarah Aceh dari masa konflik hingga pasca tsunami. Film yang berdurasi selama 52 menit ini merupakan suatu film yang menggambarkan situasi konflik di Aceh dalam lini terdepan.
Film The Black Road ini di buat dalam rentang waktu yang sangat lama untuk sebuah produksi film dokumenter. Selama 3 tahun dalam rentang 2003 hingga 2005 film ini diselesaikan.
Jika anda melihat film ini, seakan anda berada dalam suatu kondisi peperangan yang nyata, seolah-olah anda berada di lokasi tersebut. Sang pembuat film ini memberanikan diri terjun ke garis depan konflik antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Tentara Negara Indonesia (TNI). Tidak jarang, dia kerap terlibat dalam baku tembak antara Teuntra Neugara Acheh (TNA) dan TNI di hutan
Dengan kamera di tangannya, William yang di akrab di sapa Billy ini merekam detik-detik letupan bedil antara dua belah serdadu yang tengah berperang.
Pada awal durasi film ini, Billy menceritakan perjalanan panjang proses konflik di Aceh. Di buka dengan reruntuhan pasca tsunami, perlahan film ini membawa para penontonnya untuk mengikuti alur konflik di Aceh. Kisah ketika pertama kali dia meliput di daerah ini juga tidak lupa di edit dalam film ini, perkenalannya dengan Brigjen Bambang Dharmono (ketika itu) Panglima Koops Daerah Militer NAD, dan Mayjen Syafrie Sjamsoeddin (ketika itu) Kapuspen TNI pada saat itu mengawali kisah seorang wartawan freelance ini di belantara hutan gerilya Aceh.
William Nessen ialah seorang wartawan lepas berkewarganegaraan Amerika Serikat. Ia bekerja untuk memberikan kontribusinya untuk berbagai media cetak dan elektronik di Amerika Serikat, Kanada dan Australia. Ia bertugas melakukan Investigative Reporting di Aceh. Sesuai dengan kesepakatan antara Wiliam dengan TNI, TNI berjanji tidak akan menangkap dan menembaknya di lapangan.
Seperti halnya kebiasaan wartawan investigasi kebanyakan, penampilannya dibalut dengan rompi yang banyak saku. Wartawan yang memiliki nama lengkap William Arthur Nessen ini menjalani hari-hari tugasnya dengan cengegesan, selalu tersenyum, parasnya yang kurus, dengan pipinya yang menciut dihiasi dengan jambang tipis, Billy selalu semangat dalam melakukan peliputan.
Peliputan Billy bukan hanya dan ketika di Aceh saja. Sebelumnya, ia juga pernah meliput berbagai aksi, seperti aksi reformasi yang mengakibatkan lengsernya Soeharto dari tahta RI1. Ia juga meliput proses referendum di Timor Timur, serta konflik di Papua.
Dalam rentang tahun 2003, Aceh sedang diberlakukan Darurat Militer, hampir tidak mungkin melakukan reportase invetigasi di sana, selain pembatasan ruang gerak wartawan oleh serdadu Indonesia, juga kurangnya keberanian wartawan Indonesia untuk terjun ke garis terdepan peperangan di Aceh.
Terjun ke dalam kancah perperangan demi suatu peliputan investigative sangatlah beresiko. Billy melakukan itu karena ia mencoba untuk mendapatkan berita dari kedua belah pihak dalam liputannya. John Colson dalam tulisannya mengutip kata-kata Billy:
“I tried to get both sides of the story," he said, adding that "to really understand people is to live with them, and experience what they are experiencing." It was his way of pursuing "the elusive thing called truth."
“Aku mencoba untuk mendapatkan berita dari dua sisi,” ia menambahkan bahwa “untuk benar-benar mengerti tentang mereka adalah dengan cara hidup bersama mereka, dan menjalani apa yang sedang mereka jalani.” Itu adalah cara dia melakukan pendekatan “hal yang sangat sulit untuk mendapatkan kebenaran”
Atas dasar prinsip yang menjadi pegangannya itulah, Billy memberanikan diri terjun ke kancah perang antara serdadu GAM dan TNI.
Film yang dibuat oleh Billy ini banyak diambil di wilayah konsentrasi GAM pantai barat dan selatan. Dengan pasukan yang dipimpin Pang Dani, Billy bersama dengan pasukan-pasukan Pang Dani ikut dalam operasi penyergapan dan penyerangan pasukan TNI dan Polri.
Melalui film ini, kita tahu bahwa GAM di dukung oleh rakyat. GAM hidup bersama rakyat, dan juga rakyat sering kali membantu GAM dalam hal logistik dan perlengkapan.
Dalam pembuatan film ini, Billy dibantu oleh seorang wartawan dari Jakarta asal Aceh, Sya'diah Syeh Marhaban (Shadia) namanya, janda dengan dua anak ini adalah wartawati salah satu televisi swasta di Jakarta. Pertemuan mereka terjadi pada tahun 2001, sejak saat itu mereka meliput konflik Aceh bersama. Ternyata, perjalanan peliputan itu diwarnai dengan asmara antara Billy dan Shadia. Hingga pada 8 November 2002 mereka memutuskan untuk menikah dengan adat Aceh. Dalam film ini, Billy tidak menjelaskan status agamanya ketika menikahi Shadia.
Sekitar lima menit dari durasi film ini, Billy menampilkan profil singkatnya. Bagaimana hubungnnya dengan Musliadi, salah satu aktivis HAM di Aceh yang begitu dekat, hingga ia sangat sedih ketika Musliadi mati di aniaya.
Bambang Darmono, seakan tidak percaya ketika Billy menanyakan kasus ini padanya. Bambang seperti disudutkan oleh Billy atas pertanyaan-pertanyaan terkait kematian Musliadi.
Juni 2003, tersiar kabar di telinga TNI bahwa GAM menyandera seorang wartawan asing. Wartawan tersebut tidak lain ialah William Nessen yang sedang melakukan reportase. TNI segera melakukan operasi pembebasan sandera, operasi tersebut berhasil. GAM meninggalkan Billy dalam kontak senjata antara GAM dan TNI. Hingga pada tanggal 24 Juni 2003 William Nessen di deportasi ke negara asalnya setelah ditahan selama 20 hari dalam proses interogasi.
Sekitar setengah durasi film, kita dibawa kesuatu gambaran Aceh pasca tsunami. William Nessen ternyata secara diam-diam masuk ke Aceh dan meliput tragedi tsunami di daerah ini.
Ketika Indonesia kebanjiran bule, Billy ikut meramaikan pasar bule di Aceh, untuk meliput tragedy tsunami. Bukan hanya itu, ia sempat melakukan reuni bersama Pang Dani di kantong pertahanan GAM wilayah pantai barat selatan.
Pasca tsunami, konflik Aceh masih berlanjut hingga akhirnya 25 Agustus 2005. Pemerintah Indonesia sepakat untuk berdamai dengan Gerakan Aceh Merdeka. Istri Billy, Shadia, ikut dalam perundingan yang diselenggarakan di Helsinki, Finlandia. Ia bertindak selaku anggota tim perunding GAM.
Juli 2006, Billy masuk ke Aceh bersama rombongan petinggi GAM yang pulang ke kampung halaman. Kali ini Billy di deportasi lagi, pejabat imigrasi beralasan bahwa itu perintah dari Badan Inteligen Nasional (BIN). Dalam komentarnya di The Jakarta Post, Billy mengatakan:
"They're afraid of me. Why, because I was helping GAM for Helsinki,"
“Mereka takut sama saya. Kenapa, karena saya telah membantu GAM di Helsinki,”
Padahal tujuan Nessen ke Aceh bukan untuk reportase atau tugas peliputan, tetapi ia hanya ingin mengunjungi istrinya.
Film yang dinarasikan sendiri oleh Billy ini telah memenangkan beberapa penghargaan film dokumenter. Diantaranya The Best Documentary dalam Festival film dokumenter terbesar di Asia The 2006 Mumbai International Film Festival.
Edward Aspinall, Peneliti dari Australian National University dan editor Inside Indonesia, memberikan komentar terhadap The Black Road:,
"By showing conflict from the perspective of ordinary villagers and insurgents, William Nessen's film presents a perspective of war that is not only unique in reportage of Aceh, but which is rare in the media's coverage of any of the 'small wars' which take so many lives around the globe. So often, we see only the view of governments and their troops. Here, the lens is reversed, and the effect is remarkable."
“Dengan menampilkan konflik dari sudut pandang para penduduk dan pemberontok, film William Nessen memperlihatkan bahwa reportase perang di Aceh bukan saja unik, tetapi sangat jarang media memberikan ulasan terhadap “perang kecil” yang mana mengambil perhatian dari seluruh dunia. Biasanya, kita hanya melihat pemerintah dan para serdadunya. Di sini, lensa berbalik, dan menimbulkan efek yang sangat luar biasa”.
Film ini saya pikir harus dimiliki oleh semua rakyat Aceh, ini merupakan asset bangsa ini untuk melihat kembali sejarah yang pernah terjadi di sini. Memaafkan bukan berarti melupakan.
Tetapi anehnya, film ini dilarang di putar di Indonesia dalam Jakarta Film Festival (JiFFest) 2006. Festival ini diselenggarakan pada 8-17 Desember 2006 lalu. Sebenarnya ada empat film yang dilarang diputar di acara tahunan ini, yaitu The Black Road yang menceritakan konflik di Aceh, serta Tales of Crocodiles, Passabe, dan Timor Loro Sae menceritakan tentang Timor Timur (Timtim).
Film-film tersebut dilarang oleh Lembaga Sensor Film (LSF) Indonesia.
Alasan yang dikemukakan oleh Titi Said selaku Ketua LSF yang dikutip Kompas dalam Asociated Press (AP) mengatakan bahwa:
"Dokudrama ini secara ekstrem membela satu pihak. Nasionalisme dipertaruhkan." Ia menambahkan lagi bahwa “jadwal pemutaran Black Road di JiFFest 2006 merupakan waktu yang tidak tepat, karena hanya beberapa hari sebelum pemilihan pertama secara langsung gubernur NAD, yang akan diadakan pada 11 Desember mendatang. "Itu dapat meruntuhkan situasi kondusif di Aceh yang telah dibangun dengan usaha yang begitu besar,"
Di Indonesia, Film ini dilarang beredar. Hanya kalangan aktivis dan para jurnalis terbatas yang memiliki film ini
http://kanvasbiroe.blogspot.com
Film The Black Road ini di buat dalam rentang waktu yang sangat lama untuk sebuah produksi film dokumenter. Selama 3 tahun dalam rentang 2003 hingga 2005 film ini diselesaikan.
Jika anda melihat film ini, seakan anda berada dalam suatu kondisi peperangan yang nyata, seolah-olah anda berada di lokasi tersebut. Sang pembuat film ini memberanikan diri terjun ke garis depan konflik antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Tentara Negara Indonesia (TNI). Tidak jarang, dia kerap terlibat dalam baku tembak antara Teuntra Neugara Acheh (TNA) dan TNI di hutan
Dengan kamera di tangannya, William yang di akrab di sapa Billy ini merekam detik-detik letupan bedil antara dua belah serdadu yang tengah berperang.
Pada awal durasi film ini, Billy menceritakan perjalanan panjang proses konflik di Aceh. Di buka dengan reruntuhan pasca tsunami, perlahan film ini membawa para penontonnya untuk mengikuti alur konflik di Aceh. Kisah ketika pertama kali dia meliput di daerah ini juga tidak lupa di edit dalam film ini, perkenalannya dengan Brigjen Bambang Dharmono (ketika itu) Panglima Koops Daerah Militer NAD, dan Mayjen Syafrie Sjamsoeddin (ketika itu) Kapuspen TNI pada saat itu mengawali kisah seorang wartawan freelance ini di belantara hutan gerilya Aceh.
William Nessen ialah seorang wartawan lepas berkewarganegaraan Amerika Serikat. Ia bekerja untuk memberikan kontribusinya untuk berbagai media cetak dan elektronik di Amerika Serikat, Kanada dan Australia. Ia bertugas melakukan Investigative Reporting di Aceh. Sesuai dengan kesepakatan antara Wiliam dengan TNI, TNI berjanji tidak akan menangkap dan menembaknya di lapangan.
Seperti halnya kebiasaan wartawan investigasi kebanyakan, penampilannya dibalut dengan rompi yang banyak saku. Wartawan yang memiliki nama lengkap William Arthur Nessen ini menjalani hari-hari tugasnya dengan cengegesan, selalu tersenyum, parasnya yang kurus, dengan pipinya yang menciut dihiasi dengan jambang tipis, Billy selalu semangat dalam melakukan peliputan.
Peliputan Billy bukan hanya dan ketika di Aceh saja. Sebelumnya, ia juga pernah meliput berbagai aksi, seperti aksi reformasi yang mengakibatkan lengsernya Soeharto dari tahta RI1. Ia juga meliput proses referendum di Timor Timur, serta konflik di Papua.
Dalam rentang tahun 2003, Aceh sedang diberlakukan Darurat Militer, hampir tidak mungkin melakukan reportase invetigasi di sana, selain pembatasan ruang gerak wartawan oleh serdadu Indonesia, juga kurangnya keberanian wartawan Indonesia untuk terjun ke garis terdepan peperangan di Aceh.
Terjun ke dalam kancah perperangan demi suatu peliputan investigative sangatlah beresiko. Billy melakukan itu karena ia mencoba untuk mendapatkan berita dari kedua belah pihak dalam liputannya. John Colson dalam tulisannya mengutip kata-kata Billy:
“I tried to get both sides of the story," he said, adding that "to really understand people is to live with them, and experience what they are experiencing." It was his way of pursuing "the elusive thing called truth."
“Aku mencoba untuk mendapatkan berita dari dua sisi,” ia menambahkan bahwa “untuk benar-benar mengerti tentang mereka adalah dengan cara hidup bersama mereka, dan menjalani apa yang sedang mereka jalani.” Itu adalah cara dia melakukan pendekatan “hal yang sangat sulit untuk mendapatkan kebenaran”
Atas dasar prinsip yang menjadi pegangannya itulah, Billy memberanikan diri terjun ke kancah perang antara serdadu GAM dan TNI.
Film yang dibuat oleh Billy ini banyak diambil di wilayah konsentrasi GAM pantai barat dan selatan. Dengan pasukan yang dipimpin Pang Dani, Billy bersama dengan pasukan-pasukan Pang Dani ikut dalam operasi penyergapan dan penyerangan pasukan TNI dan Polri.
Melalui film ini, kita tahu bahwa GAM di dukung oleh rakyat. GAM hidup bersama rakyat, dan juga rakyat sering kali membantu GAM dalam hal logistik dan perlengkapan.
Dalam pembuatan film ini, Billy dibantu oleh seorang wartawan dari Jakarta asal Aceh, Sya'diah Syeh Marhaban (Shadia) namanya, janda dengan dua anak ini adalah wartawati salah satu televisi swasta di Jakarta. Pertemuan mereka terjadi pada tahun 2001, sejak saat itu mereka meliput konflik Aceh bersama. Ternyata, perjalanan peliputan itu diwarnai dengan asmara antara Billy dan Shadia. Hingga pada 8 November 2002 mereka memutuskan untuk menikah dengan adat Aceh. Dalam film ini, Billy tidak menjelaskan status agamanya ketika menikahi Shadia.
Sekitar lima menit dari durasi film ini, Billy menampilkan profil singkatnya. Bagaimana hubungnnya dengan Musliadi, salah satu aktivis HAM di Aceh yang begitu dekat, hingga ia sangat sedih ketika Musliadi mati di aniaya.
Bambang Darmono, seakan tidak percaya ketika Billy menanyakan kasus ini padanya. Bambang seperti disudutkan oleh Billy atas pertanyaan-pertanyaan terkait kematian Musliadi.
Juni 2003, tersiar kabar di telinga TNI bahwa GAM menyandera seorang wartawan asing. Wartawan tersebut tidak lain ialah William Nessen yang sedang melakukan reportase. TNI segera melakukan operasi pembebasan sandera, operasi tersebut berhasil. GAM meninggalkan Billy dalam kontak senjata antara GAM dan TNI. Hingga pada tanggal 24 Juni 2003 William Nessen di deportasi ke negara asalnya setelah ditahan selama 20 hari dalam proses interogasi.
Sekitar setengah durasi film, kita dibawa kesuatu gambaran Aceh pasca tsunami. William Nessen ternyata secara diam-diam masuk ke Aceh dan meliput tragedi tsunami di daerah ini.
Ketika Indonesia kebanjiran bule, Billy ikut meramaikan pasar bule di Aceh, untuk meliput tragedy tsunami. Bukan hanya itu, ia sempat melakukan reuni bersama Pang Dani di kantong pertahanan GAM wilayah pantai barat selatan.
Pasca tsunami, konflik Aceh masih berlanjut hingga akhirnya 25 Agustus 2005. Pemerintah Indonesia sepakat untuk berdamai dengan Gerakan Aceh Merdeka. Istri Billy, Shadia, ikut dalam perundingan yang diselenggarakan di Helsinki, Finlandia. Ia bertindak selaku anggota tim perunding GAM.
Juli 2006, Billy masuk ke Aceh bersama rombongan petinggi GAM yang pulang ke kampung halaman. Kali ini Billy di deportasi lagi, pejabat imigrasi beralasan bahwa itu perintah dari Badan Inteligen Nasional (BIN). Dalam komentarnya di The Jakarta Post, Billy mengatakan:
"They're afraid of me. Why, because I was helping GAM for Helsinki,"
“Mereka takut sama saya. Kenapa, karena saya telah membantu GAM di Helsinki,”
Padahal tujuan Nessen ke Aceh bukan untuk reportase atau tugas peliputan, tetapi ia hanya ingin mengunjungi istrinya.
Film yang dinarasikan sendiri oleh Billy ini telah memenangkan beberapa penghargaan film dokumenter. Diantaranya The Best Documentary dalam Festival film dokumenter terbesar di Asia The 2006 Mumbai International Film Festival.
Edward Aspinall, Peneliti dari Australian National University dan editor Inside Indonesia, memberikan komentar terhadap The Black Road:,
"By showing conflict from the perspective of ordinary villagers and insurgents, William Nessen's film presents a perspective of war that is not only unique in reportage of Aceh, but which is rare in the media's coverage of any of the 'small wars' which take so many lives around the globe. So often, we see only the view of governments and their troops. Here, the lens is reversed, and the effect is remarkable."
“Dengan menampilkan konflik dari sudut pandang para penduduk dan pemberontok, film William Nessen memperlihatkan bahwa reportase perang di Aceh bukan saja unik, tetapi sangat jarang media memberikan ulasan terhadap “perang kecil” yang mana mengambil perhatian dari seluruh dunia. Biasanya, kita hanya melihat pemerintah dan para serdadunya. Di sini, lensa berbalik, dan menimbulkan efek yang sangat luar biasa”.
Film ini saya pikir harus dimiliki oleh semua rakyat Aceh, ini merupakan asset bangsa ini untuk melihat kembali sejarah yang pernah terjadi di sini. Memaafkan bukan berarti melupakan.
Tetapi anehnya, film ini dilarang di putar di Indonesia dalam Jakarta Film Festival (JiFFest) 2006. Festival ini diselenggarakan pada 8-17 Desember 2006 lalu. Sebenarnya ada empat film yang dilarang diputar di acara tahunan ini, yaitu The Black Road yang menceritakan konflik di Aceh, serta Tales of Crocodiles, Passabe, dan Timor Loro Sae menceritakan tentang Timor Timur (Timtim).
Film-film tersebut dilarang oleh Lembaga Sensor Film (LSF) Indonesia.
Alasan yang dikemukakan oleh Titi Said selaku Ketua LSF yang dikutip Kompas dalam Asociated Press (AP) mengatakan bahwa:
"Dokudrama ini secara ekstrem membela satu pihak. Nasionalisme dipertaruhkan." Ia menambahkan lagi bahwa “jadwal pemutaran Black Road di JiFFest 2006 merupakan waktu yang tidak tepat, karena hanya beberapa hari sebelum pemilihan pertama secara langsung gubernur NAD, yang akan diadakan pada 11 Desember mendatang. "Itu dapat meruntuhkan situasi kondusif di Aceh yang telah dibangun dengan usaha yang begitu besar,"
Di Indonesia, Film ini dilarang beredar. Hanya kalangan aktivis dan para jurnalis terbatas yang memiliki film ini
http://kanvasbiroe.blogspot.com
Demikianlah Artikel The Black Road: On the Front Line of Aceh's War, Semoga dengan adanya artikel singkat seperti Informasi postingan The Black Road: On the Front Line of Aceh's War ini, Anda benar benar sudah menemukan artikel yang sedang anda butuhkan Sekarang. Jangan lupa untuk menyebarluaskan informasi The Black Road: On the Front Line of Aceh's War ini untuk orang orang terdekat anda, Bagikan infonya melalui fasilitas layanan Share Facebook maupun Twitter yang tersedia di situs ini.