Tampilkan postingan dengan label Arab. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Arab. Tampilkan semua postingan

Manuskrip Incaran Ust. Abdus Somad (1)

Selasa, 26 Desember 2017 merupakan hari bersejarah bagi Aceh dan bagi Ust. Abdus Somad. Pada hari tersebut tokoh fenomenal alumni Mesir dan Maroko tersebut hadir ke Aceh untuk menyampaikan tausiyah pada acara “Zikir Internasional” dalam rangka memperingati 13 tahun gempa-tsunami Aceh 2004. Acara tersebut dihadiri puluhan ribu jamaah.

Selain itu, momen yang tidak terlupakan juga bagi Ust. Abdus Somad, adalah sehari sebelumnya ia dideportasi oleh otoritas imigrasi Hongkong. Karena itulah, hikmah dan obat hati dari kejadian tersebutlah membawanya ke negeri Serambi Mekkah  di ujung Pulau Sumatera, wilayah yang menjadi salah satu sumber ilmu dan inspirasi baginya.

Ust. Abdus Somad menyampaikan tausiyah lebih dari satu jam, bahasannya berbagai topik, antaranya persoalan ummat di zaman sekarang, Syariat Islam, ukhuwah Islamiyyah, antisipasi LGBT, etika bermazhab, hingga khazanah keilmuan ulama-ulama di Aceh.

Khazanah keilmuan yang ia sebutkan terkait ulama Aceh yang produktif mengarang atau menulis kitab. Peran para ulama Aceh telah mencerdaskan masyarakat tidak hanya di Aceh, tapi juga Melayu-Nusantara hingga sekarang. Para ulama-ulama ini telah berhasil membangunkan khazanah keilmuan dengan karyanya yang menjadi rujukan berabad-abad.

Memang, kekaguman Ust. Abdus Somad terhadap karya ulama Aceh tersebut sering disampaikan dalam beberapa ceramahnya dalam konten bahasan tentang Aceh. Bahkan ia pun penasaran dengan beberapa manuskrip yang belum dijumpainya dan dilihat isinya. Namun demikian, pengetahuan tentang ulama-ulama Aceh dan karya-karyanya, dalam pandangan saya, cukup mumpuni dan sangat baik. Sebab, jarang tokoh dan alim terkenal di Indonesia yang menyampaikan rujukan-rujukan kitab ulama sendiri.

Dan, syukurlah manuskrip-manuskrip yang disebutkan masih tersimpan di beberapa koleksi pribadi dan lembaga di Aceh, salah satunya di koleksi Museum Negeri Aceh Banda Aceh.

Antara tokoh dan kitab yang disebutkan oleh Ust. Abdus Somad adalah: Pertama, Syaikh Abdurrauf al-Jawi al-Fansuri yang mengarang kitab tafsir pertama dalam Bahasa Jawi/Melayu, Tarjuman al-Mustafid.

Biografi Singkat ‘Abdurrauf al-Fansuri 
Nama lengkap pengarang kitab Tarjuman al-Mustafid adalah ‘Abdurrauf bin ‘Ali al-Jawi al-Fansuri, sebagaimana sering ia sebutkan dalam kitab-kitabnya, tanpa as-Singkili.  Tidak ada sumber yang secara jelas menyebutkan tanggal kelahirannya, namun menurut DA. Rinkes5 sebagaimana yang dikutip oleh Azyumardi Azra, ‘Abdurrauf dilahirkan sekitar tahun 1024 H/1615 M. Ia meninggal dunia pada tahun 1105 H/1693 M, dengan usia 78 tahun dan dimakamkan di gampong Kuala Aceh, Lamdingin, di Banda Aceh.

‘Abdurrauf menuntut ilmu di Jazirah Arab selama 19 tahun, ia kembali ke Aceh sekitar tahun 1661 M. Ia aktif mengembangkan ajaran tarekat tasawuf Syattariyah dan menulis atau mengarang kitab multidisiplin ilmu. Hingga saat ini telah teridentifikasi karya mencapai 40 judul kitab. Termasuk kitab Tafsir yang dikarangnya pada masa Sultanah Safiyatuddin Syah (berkuasa 1644-23 Oktober 1675 M).


Kitab Tafsir Melayu Pertama 
Tafsir Tarjuman Al-Mustafid merupakan tafsir pertama berbahasa Melayu yang ditulis lengkap tiga puluh juz. Bahasa Melayu dan aksara Jawi sangat identik dengan Islam karena memang hubungan Melayu dengan Islam sudah terjadi sejak eksis kerajaan Pasee di Aceh menyebar ke wilayah Melayu Nusantara. Kerajaan Samudera Pasee adalah kerajaan pertama yang melegalkan dan mengasas aksara Jawi yang didasari pada tulisan Arab.

Selama lebih daripada tiga abad ia dikenali sebagai terjemahan Tafsir al-Baydhawi. Kitab ini tersebar di pelosok negeri Melayu-Nusantara (Indonesia) sebagai Terjemahan Tafsir al-Baydhawi. Beberapa cetakan yang ada turut menggunakan judul tersebut "at-Tarjamah al-Jawiyyah Lit-Tafsir al-Musamma Anwar al-Tanzil wa Asrar at-Ta'wil lil-Imam al-Qadi al-Baydhawi" atau dikenal dengan istilah "Tafsir al-Baydhawi" dalam bahasa Melayu.
Kitab Cetakan "Tarjuman al-Mustafid" yang menyebutkan terjemahan dari Tafsir "al-Baydhawi"
Cetakan Mustafa al-Bab al-Halabi, Mesir 1370 H/1951 M.

Namun demikian, beberapa peneliti menyebutkan bahwa Kitab Tarjuman al-Mustafid melebihi atau terdapat unsur dan teknik yang berbeda dalam Tafsir Baidhawi, sehingga tidak dapat disebut ia kutipan lansung seluruhnya dari al-Baydhawi.

Kitab Tarjuman al-Mustafid tidak hanya dikenal di tanah Melayu Nusantara, akan tetapi juga dikenal hingga ke Turki, Mesir, Mekah, dan beberapa negara lainnya. Persebaran “santri” yang menuntut ilmu di berbagai wilayah menjadikan kitab tersebut sebagai salah satu rujukannya. Bahkan, ia terus menjadi rujukan hingga ke hari ini, khususnya bagi peneliti dan para al-mufassirin. Dengan demikian, kitab ini menjadi tafsir al-Quran yang lengkap digunakan hampir tiga abad sebelum lahirnya kitab-kitab tafsir yang lain.

Beberapa catatan peneliti menyebutkan bahwa cetakan pertama Kitab Tarjuman al-Mustafid saat Syeikh Muhammad Zain al-Fatani membawa manuskrip Tarjuman al-Mustafid ke Turki dan ditunjukkan kepada sultan Turki. Sang Sultan tertarik dengan karya besar dan penting tersebut, hingga akhirnya dicetak di Istanbul. Ini merupakan cetakan pertama oleh Matba’ah al-Utmaniyyah pada tahun 1302H/1884M dan 1324H/1906M.

Kemudian Kitab Tarjuman al-Mustafid  dicetak di Qahirah oleh Matba’ah Sulayman al-Maraghi, Maktabah al-Amiriyyah di Mekah, Bombay (India), Singapura, Jakarta dan Pulau Pinang. Edisi terakhir ialah cetakan Jakarta pada tahun 1981.

Saat ini, beberapa manuskrip atau tulisan tangan kitab Tarjuman al-Mustafid masih dapat dijumpai dibeberapa koleksi di Aceh, terutama di Museum Aceh dengan nomor inventarisir 07.0269, 07.351, 07.420, dan 07.441.  Selain itu, koleksi Museum Ali Hasjmy Banda Aceh dengan nomor 1/TF/5/YPAH/2005.


Bersambung: Manuskrip Incaran Ust. Abdus Somad (2)


Dikutip dari berbagai sumber.

1948 : Tuntuan Hak Warganegara dan Darah Melayu



Bila kita tanya atau tegur hal pertahanan, saya selalu jumpa jawapan, hang apa tau main pc je keja hang.. emm.. saya pun selalu pegang pada prinsip serahkan kepada ahli dan saya pun mmg tak berapa minat hal2 teknikal tentera ni. Jadinya aku cuma minat sejarah dan tengok filem2 perang ni. OK lah kan..

Post saya pasal hal bumiputera dan negara. Sekarang ni saya tak paham kenapa Melayu pakat jadi bejat malah dah tak kisah dah pasal status bumi. Hang ingat senangka nak dapat status bumi, amerika yang besaq tu pun tak suka puak mexico, haiti semua. Hang Melayu meghela nak open minded. Bangangka apa?

Dulu masa nak membesar nampak la jugak hala tuju negara ni nak kemana, saya siap kira umur saya masa 2020 nanti.. tapi yela langit tak selalunya cerah. Masa remaja pun banyak je filem badul yang mudah tapi kesannya mendalam. Takyah nak taraf hollywood tapi sampai sekarang masih dihormati sebagai genre yang hebat.

Samala jugak filem Sarjan Hassan dan Bkt Kepong. Dah beribu kali tengok sentiasa buatkan saya menyirap dengan depa. Ya, dalam dunia nyata memang leh bersembang baik semua. Tapi masing2 simpan kuku. saya tak percaya sangat dengan prinsip kekitaan ni, JS Furnivall sendiri kata dalam buku Hindia Belanda "Majmuk itu merosakkan".

Malah atas prinsip bangsa takda pun bangsa yang bersatu.. tapi kalau dalam hal agama semua kaum boleh bersatu. Tapi tetap hal bangsa ni akan jadi isu besar. Cthnya masa zaman Muawiyah memerintah Parsi, orang Parsi sendiri kata "Dia Arab yang takda tamadun tapi kenapa bangsa dia memerintah kita?"

Wang Gang Wu juga menulis bahawa Baba Nyonya adalah kumpulan yang bermasalah sebab jasadnya Cina tapi jiwanya Melayu. Kemana depa ni nak p?, jawapan dia jadilah komuniti Cina Muslim mcm Ridzuan Tee dan Firdaus Wong. Tapi macam mana pun dia tetap Cina dan susah nak terima depa sebagai Melayu.

Malah Victor Purcell juga pernah menulis "Cina tetap Cina, kamu bukan nasab Cina walaupun hidup mati seperti Cina kamu tetap bukan Cina" Jadi kenapa Melayu nak kena korbankan hak pribumi? Bila masuk bab ni saya pun tak tau nak letak masalah ni dalam bidang apa.. etnik kot?

Kenapa saya cerita panjang pasal ni, saya nak tau..kalau depa ni betul nak bumiputera atau depa ni warganegara sanggup dak depa2 ni jadi Askar Melayu? Sanggup dak depa jadi askar yang tak dapat PGB.
(Pingat Gagah Berani) Filem pasal PKM brapa ramai bangsa depa tengok?,

Dalam buku Prof KKK pun ada tulis, masa British nak serah kuasa kepada Melayu, depa menentang habis2 malah pakat berenti kerja kerajaan sebab tak sanggup kerja dengan Melayu. Saya tak isukan PKM yang saya isukan pada masa tu mana depa pi pertahankan negara sedangkan depa desak mintak taraf warganegara..

Ini dibuktikan apabila British melancarkan gerakan anti- komunis kebanyakan pemuda – pemuda Cina memilih untuk pulang ke China berbanding untuk menyertai pasukan pertahanan untuk menghapuskan PKM[1] dan sebanyak setengah juta daripada kaum Cina telah ditempatkan ke kampung – kampung baru bagi memutuskan hubungan komunikasi dan makanan yang mereka salurkan kepada PKM[2] didalam Rancangan Briggs. Tindakan ini juga telah menimbulkan kemarahan dan syak wasangka Orang Melayu terhadap kaum Cina kerana sikap mereka yang seakan –akan tidak mahu menolong pihak berkuasa.[3]

Setitik darah pun takmau tumpah kat tanah air ni ada hati kata ini negara kami. Kalau betul meh la join mati sama2..Soalan saya pasal Melayu Liberal ni. Kalau depa dengan kita takda beza agak hang masa perang hang rasa sapa pegi dulu? bab jadi kuli takyah sebut.. dah tau..

___________________________________________________

[1] Lee Kam Hing & Heng Oek Koon, The Chinese In Malaysia, Oxford University Press, 2000, hlm 200. Lihat juga K.J Ratnam, Paham Perkauman dan Proses Politik Malaya 1965 terjemahan Kassim Ahmad, UM Press, 1969, hlm 23 yang mengatakan seramai 6000 orang pemuda Cina telah meminta visa ke Negara China.
[2] Lee Kam Hing “The Political Position of the Chinese in Post-Independence Malaysia” (eds) Wang Ling Chi & Wang Gangwu dalam “ The Chinese Diaspora Selected Essays Vol 2”, Times Academic Press, 1998, hlm 32.
[3] K.J Ratnam, Paham Perkauman dan Proses Politik Malaya 1965 terjemahan Kassim Ahmad, UM Press, 1969, hlm 23





Manuskrip Arab di Tanah Melayu

Kitab Sejarah Malaya
Manuskrip Arab

Perihal yang hendak saya utarakan ini sudah lama saya pendamkan dan saya yakin tulisan ini akan habis disini saja tapi tak mengapa asalkan ia terluahkan dan mana tahu ada mereka2 yang terbaca tulisan ini akan membuat usaha yang sewajarnya.

Setelah beberapa tahun membangau dalam dunia fb sejarag acap kali saya terdengar dari kawan2 yang mengatakan tentang perihal kitab-kitab Arab yang menulis tentang sejarah Melayu dan sepengetahuan saya kitab-kitab ini ditulis oleh para salafus soleh Melayu pada masa dahulu atau kitab ini diperturunkan kepada nasab mereka ke sini (keturunan Sayyid,Syed,Syeikh).

Saya tidak pasti sejauh mana kebenaran itu. Namun ikut kepada pengalaman saya yang sudah-sudah ada seorang kenalan saya yang khabarnya dia menyimpan kitab keluarga al hadad yang umumnya lebih kepada nasab mereka dan diselitkan dengan sejarah2 ketibaan mereka ke sini. Begitu juga dengan seorang staff Majlis Agama Islam Pahang (syed) yang mengatakan bahawa pada keluarganya tersimpan kitab-kitab sejarah Melayu menurut versi mereka (Arab-Melayu).

Begitu pula halnya dengan kisah naskah-naskah ini yang berada di pondok-pondok Patani dan Kedah yang sebahagiannya tersimpan dalam jagaan keluarga masing-masing. Mereka ini susah hendak berkongsi kerana pada mereka ia ada nilai sentimental. Jadinya ia hanya terperam di almari-almari usang tanpa diketahui apakah isinya itu sedap atau tidak. Sepengetahuan saya juga banyak manuskrip Melayu tersimpan di Pusat Manuskrip Negara yang khabarnya tidak mendapat perhatian dari pengkaji tempatan. Semasa lawatan kali pertama saya 2 tahun lepas saya hanya sempat menatap katalog manuskrip kitab-kitab agama saja dan hingga kini saya masih mencari ruang hendak melihat keseluruhan manuskrip yang tersimpan disana.
Untuk pengetahuan semua manuskrip2 yang dirumikan hari ini banyaknya datang dari usaha Windsted dan rakan2 nya, namun hingga kini tersimpan ribuan manuskrip diluar sana yang perlu dikaji dan dinilai kepentingannya.

Kenapa saya melontarkan hal ini, ia adalah kerana selain mengharapkan sumber2 yang dikaji barat harus juga kita melihat penulisan tempatan kerana dari situ barulah kita dapat menjelaskan kedudukan sebenar apa yang berlaku di Tanah Melayu. Sebagai contohnya manuskrip Undang-undang Kedah yang telah dirumikan oleh Maryam Salleh memperlihatkan sedikit sebanyak keadaan semasa negeri Kedah pada abad ke 17. UUK ini turut di ulas panjang lebar oleh Prof Abu Hassan Mohd Sham.

Selain itu juga seringkali sya menulis tentang buku terjemahan Ajaibul Hind dan Rehlah Sirafi iaitu sebuah kitab arab yang menceritakan tentang Alam Melayu dari abad ke 6M-9M. Dua buku yang diusahakan oleh Naseer Sobree dan Arsyad Pendang dan dalam pencarian saya sendiri ada beberapa lagi kitab Arab yang perlu di terjemahkan ke Bahasa Melayu yang sekurang2 nya sebagai bukti sampingan kepada kajian-kajian pada masa depan. Jika ditanya saya, penulisan SQ Fatimi tentang kajian beliau berkenaan hubungan Umayyah-Sriwijaya sangatlah diperlukan selain dari kajian sedia ada seperti Coedes, Wolters, Nilankatasari dan ramai lagi dalam hal Sriwijaya yang turut mengaitkan Kedah.

Umumnya bangsa Melayu mempunyai hubungan yang sangat tua dengan bangsa Arab selain daripada india namun jarang pula perihal pandangan dan penulisan Arab ini dikongsi kepada kita malah keluarga2 besar keturunan Arab disini juga tidak begitu menunjukkan minat hendak memperkembangkan sejarah Melayu.
Buat masa ini saya tidaklah mengusahakan apa-apa yang berkaitan dengan manuskrip jawi/arab ini cuma saya sedang berusaha merumikan buku-buku jawi lama untuk penerbitan semula. Namun saya amat berharap soal pengkajian manuskrip Arab ini dapat diusahakan dengan lebih giat kerana setahu saya ada beberapa pusat pengajian yang menyediakan pelajaran subjek manuskrip secara asas namun yang lebih ditumpukan ialah kepada hal bingkai manuskrip atau bentuk tulisan serta jenis dakwat yang digunakan bagi menentukan umur sesebuah manuskrip sedangkan isinya yang harus ditelan!.

Bila ada bahan-bahan Arab tentang Melayu maka saya yakin pertembungan orientalis dan oksidentalis serta bidang pengajian sirah (tasawwur?) akan dipertemukan sepertimana saya dan beberapa teman cuba melihat pandangn Siam kepada negeri kedah dan kelantan yang sekian lama ini pengkajian sedia ada hanya mengharapkan sumber barat dan sedikit sumber tempatan.

Membuat rujuk silang dan menilai kandungan2 pandangan pelaku sejarah akan membuatkan penulisan sejarah berkembang apatah lagi ia mempunyai sumber pelbagai. Kerja yang sukar dan mengambil masa yang panjang atau sangat panjang.

Sekian.
Salam 7 bingkai.
MHR

Gambar dipetik dari https://fineartamerica.com/featured/an-arab-encampment-charles-theodore-frere.html

Mencari Manuskrip Maulid Nabi versi Tgk. Chik di Tiro dan Tgk. Krueng Kalee

Di mana Muslim berada di dunia ini, disitulah perayaan Maulid Nabi dilaksanakan. Tidak menjadi soal ia mazhab apa, generasi ke berapa, dan strata miskin atau kaya.  Memang, memasuki bulan Rabiul Awal tahun Hijriyah selalu diperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW di seluruh negara muslim ataupun non-muslim.

Peringatan tersebut diadakan dalam beragam bentuk, sebagian menceritakan kembali sejarah kehidupan Nabi Muhammad, orang tua menceritakan kisah-kisah keteladanan Nabi, dan sebagian lainnya bersedekah dan beramal di hari kelahiran tersebut. Mayoritas acara-acara di atas dipadu dalam kegiatan keagamaan seperti membaca selawat dan barzanji. 

Demikian juga di Aceh (termasuk Melayu-Nusantara) sejak dulunya melakukan yang sama yang dapat dilihat dari beragam manuskrip tentang Maulid (Aceh: Maulot) Nabi Muhammad. Naskah-naskah tersebut cukup banyak sekali varian dan jumlahnya, yang kini menjadi bacaan “wajib” dalam perayaan maulid Nabi.

Salah satunya manuskrip paling banyak beredar yang digunakan adalah Dala’il al-Khairat karya Abu Abdillah Muhammad ibn Sulaiman Al-Jazuli, ulama terkenal berasal dari Maghrib (Maroko) (m. 870 H 1465 M). Dari kitab ini, masyarakat Aceh lebih menyebut “meudalae'e” yaitu kegiatan membaca kitab Dalail.

Khusus di Aceh, membaca “dalae'e” ataupun syair-syair pujian dalam bahasa Arab (Hizb) sejenisnya yang terkenal dilakukan sejak bulan Rabiul Awal dan seterusnya. Selain itu, masih ada tradisi nalam (Arab: nazham) juga dalam bentuk syair yang berisikan tentang pujian dan selawat kepada Rasulullah dalam bahasa Aceh.

Terdapat juga kitab Abu 'Abdallah Muhammad ibn Sa'id al-Busiri Ash-Syadhili (1211-1294) di Mesir mengarang puji-pujian selawat kepada Nabi berjudul “Qasidah al-Burdah” yang juga cukup terkenal di masyarakat Muslim Nusantara.

Salah seorang staff Belanda era kolonial, Damste, termasuk yang banyak mengumpulkan manuskrip Aceh dan membawa ke Belanda menamai bahwa teks-teks “Seulaweuet keu Nabi” sebagaimana kolofon teks menyebut “tamat seulaweuet Maulot Nabi”.

Menurut inventarisasi (alm) Teuku Iskandar, sarjana Filolog Aceh di Belanda terdapat naskah-naskah Likee Maulot, atau disebut juga Maulid Barzanji yang sebagian berbahasa Arab dan sebagian lagi berbahasa Aceh. Dalam edisi cetaknya kemudian dikenal “Maulid Syaraf al-Anam”.

Bahkan di Perpustakaan Nasional (PNRI) Jakarta (klik untuk akses manuskrip PNRI) terdapat koleksi kitab Maulot Nabi yang berstempel Tgk. Chik Saman Tiro dan Tgk M. Sa’id Krueng Kalee tahun 1315 H (1898 M), lebih tua naskahnya yang dikoleksi Snouck yang ditemukan tentara Belanda di Rumoh Aceh di Pasar Aceh Samalanga tahun 1916.

Paragraf terakhir inilah yang menjadi tanda tanya besar bagi saya, semoga juga bagi pembaca. Info tersebut diperoleh dari beberapa sumber, walaupun belum jelas apakah benar terdapat naskah "Maulot Nabi" yang berstempel Tgk Chik Saman Tiro dan Tgk M. Sa’id Krueng Kalee tahun 1315 H (1898 M). Kemungkinan besar memang ada, sebab dua tokoh yang sangat dihormati oleh masyarakat Aceh dan koloni Belanda. Keduanya memiliki pengaruh besar di Aceh, baik dalam tradisi keagamaan, kebangsaan dan politik di Aceh saat itu.

Jika kemudian hari para sarjana ataupun peneliti mencari naskah tersebut, maka inilah stempel Tgk Chik Saman Tiro yang diperoleh dalam lampiran-lampiran manuskrip koleksi Leiden
Stempel "Sheyk Saman Tiro" koleksi naskah di Perpustakaan Leiden, Belanda.

Semoga dengan temuan-temuan bukti filologis (manuskrip) tersebut semakin memperkaya khazanah keilmuan di negeri ini dan menambah keimanan kepada baginda Nabi Muhammad dengan mengikuti keteladanannya. Bahwa Kecintaan masyarakat Aceh dan Nusantara terdahulu mengarang nazam maulid Nabi, menyalin dan membacanya sebagai salah satu bentuk kecintaannya kepada baginda Rasulullah, sebagaimana dilakukan oleh mayoritas muslim di dunia. 

Baca juga:

Ini dia naskah Maulid Nabi di Aceh

Indahnya manuskrip Maulid Nabi di Aceh


Ihya' Ulumuddin al-Ghazali di Nusantara dan Dunia


Kitab Ihya' Ulumuddin atau Al-Ihya' (The Revival of the Religious Sciences) merupakan kitab yang membahas tentang kaidah dan prinsip dalam menyucikan jiwa (Tazkiyah an-Nafs) yang membahas perihal penyakit hati, penentramnya atau pengobatannya, dan mendidik hati. Kitab ini merupakan karya yang paling terkenal dari Imam Al-Ghazali. Nama lengkapnya Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazali ath-Thusi asy-Syafi'i (lahir di Thus; 1058 / 450 H – meninggal di Thus; 1111 / 14 Jumadil Akhir 505 H; umur 52–53 tahun) adalah seorang filosof dan teolog muslim Persia, yang dikenal sebagai Algazel di dunia Barat abad Pertengahan.

Ia berkuniah Abu Hamid karena salah seorang anaknya bernama Hamid. (?) Gelar dia al-Ghazali ath-Thusi, tempat kelahirannya di Ghazalah di Bandar Thus, Khurasan, Persia (Iran). Sedangkan gelar asy-Syafi'i menunjukkan bahwa dia bermazhab Syafi'i. Ia berasal dari keluarga yang miskin. Ayahnya mempunyai cita-cita yang tinggi yaitu ingin anaknya menjadi orang alim dan saleh.  Al-Ghazali adalah seorang ulama, ahli pikir, ahli filsafat Islam yang terkemuka yang banyak memberi sumbangan bagi perkembangan kemajuan manusia. Ia pernah memegang jawatan sebagai Naib Kanselor di Madrasah Nizhamiyah, pusat pengajian tinggi di Baghdad. Imam Al-Ghazali meninggal dunia pada 14 Jumadil Akhir tahun 505 Hijriah / 1111 Masehi di Thus. Jenazahnya dikebumikan di tempat kelahirannya.

Kitab Ihya' Ulumudin memiliki tema utama tentang kaidah dan prinsip dalam penyucian jiwa yakni menyeru kepada kebersihan jiwa dalam beragama, sifat takwa, konsep zuhud, rasa cinta yang hakiki, merawat hati serta jiwa dan sentiasa menanamkan sifat ikhlas di dalam beragama. Kandungan lain dari kitab ini berkenaan tentang wajibnya menuntut ilmu, keutamaan ilmu, bahaya tanpa ilmu, persoalan-persoalan dasar dalam ibadah seperti penjagaan thaharah (kesuciaan) dan shalat, adab-adab terhadap al-Qur'an, dzikir dan doa, penerapan adab akhlak seorang muslim di dalam pelbagai aspek kehidupan, hakikat persaudaraan (ukhuwah), obat hati, ketenangan jiwa, bimbingan memperbaiki akhlak, bagaimana mengendalikan syahwat, bahaya lisan, mencegah sifat dengki dan emosi, zuhud, mendidik rasa bersyukur dan sabar, menjauhi sifat sombong, ajakkan sentiasa bertaubat, pentingnya kedudukan tauhid, pentingnya niat dan kejujuran, konsep mendekatkan diri kepada Allah (muraqabah), tafakur, mengingati mati dan rahmat Allah, dan mencintai Rasulullah

Namun demikian, walaupun kitab ini fenomenal bukan berarti tidak memiliki kritikan terhadap isinya. Hal ini menunjukkan tidak ada manusia yang semurna, Imam Ghazali merupakan seorang ulama namun dia bukanlah seorang yang pakar dalam bidang hadits, sehingga ikut tercantumlah hadits-hadits tidak ditemukan sanadnya, berderajat lemah maupun maudhu. Hal ini menyebabkan banyak ulama dan para ahli hadits yang kemudian berupaya meneliti, memilah dan menyusun ulang terhadap takhrij hadits yang termuat di dalam Ihya Ulumuddin. Di antaranya  Imam Ibn al-Jauzi, Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi, Abu Bakr Muhammad bin al-Walid Ath-Thurthuusyi, Adz-Dzahabi, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Ibn Aqil al-Hanbali, dan lainnya. Bahkan Ibn al-Jauzi mengarang kitab mukhtasar untuk memperbaiki [melengkapi] kitab ini dengan Minhajul Qashidin wa Mufidush Shadiqin. (klik di sini untuk PDF) 

Akan tetapi, juga banyak ulama lainnya yang memuji kitab ini seperti Imam Nawawi, Imam Abdullah Al-‘Idrus dan anaknya Syeikh Abdul Qadir Al-‘Idrus, dan Syeikh Ismail bin Muhammad al-Hadrami. Bahkan kini memiliki organisasi dan website sendiri untuk eksistensi kitab dan ajaran-ajaran yang terkandung di dalam kitab ini. Websitenya: http://www.ghazali.org

Bahkan beberapa kajian kitabnya sudah dicetak berkali-kali dan ditranslite dalam beragam bahasa, seperti Inggris, Perancis, Jerman, Turki, Bengali, Indonesia, Urdu, dan lainnya.
Untuk lihat naskah-naskah (kitab) dalam beragam bahasa klik di sini: http://www.maktabah.org/en/item/59-ihya-ulum-al-din-by-imam-ghazali



Referensi:
dari berbagai sumber.
http://www.ghazali.org
http://www.maktabah.org/en/item/59-ihya-ulum-al-din-by-imam-ghazali
http://www.wikipedia.org
https://generasisalaf.wordpress.com/2014/05/21/pembelaan-terhadap-kitab-ihya-ulumiddin-imam-ghazali/





Belajar Baca Tulis Bahasa Aceh (1)

Ini menjadi edukasi awal belajar bahasa Aceh, yang agak sedikit sulit dan tanpa struktur (?) dalam penulisannya. Sejauh ini pun di Aceh belum ada panduan belajar baca tulis bahasa Aceh. Selain itu, penulisan Arab-Jawi dalam bahasa Aceh ini tidak lagi diajarkan di sekolah-sekolah Aceh, walaupun ceritanya ingin mengembalikan sejarah, identitas, marwah dan sebagainya. Walhasil banyak generasi buta akan bahasa Aceh, terutama penulisannya. 
Dan tentu ini akan bermanfaat bagi peneliti dan pembaca di luar Aceh yang berminat tentang "ke-Aceh-an". Bagi penulis sendiri juga ini merupakan ajang belajar membaca bahasa tulisan Aceh, sebab selama ini tidak ada di kurikulum sekolah, mulai dari dasar hingga perguruan tinggi.

Berikut ini dasar bacaannya, nomor ganjil (baris pertama) bahasa Melayu, dan nomor genap (baris kedua) bahasa Aceh.

1) Bab         adapun        tetapi         jikalau                jika              maka        itu           yaitu   
2) Pinto       napeu          bit peu      beukeusut         beukeu       teuma       nyan       yang nyan



1) Ini           ia                 jua            kemudian           dahulu          pada            daripada 
2) Nyo        nyan            jeh (?)        dudoe                 dilee              bak            nibak


Salah satu naskah koleksi Museum Aceh, Banda Aceh terdapat dua  halaman naskah tentang belajar bahasa Jawi (Melayu) - Aceh, tentu dengan penulisan (aksara) Arab-Jawi. Naskah ini merupakan kumpulan karangan, nomor Inv. 07.185. Beberapa halamannya sudah belobang dan rusak beberapa bagian dan bekas lumpur, sepertinya pernah terendam air atau lumpur selama berada di tangan masyarakat

Akan berlanjut pada sesi berikutnya.. 







4000 Manuskrip Penting di Al-Qarawiyyin University

Setelah 1157 tahun bersemanyam salah satu perpustakaan tertua di dunia dibuka untuk umum, terletak di Fez, Maroko, tepatnya di al-Qarawwiyin University. Perpustakaan kini terus mendapat renovasi dan mempercantik diri, kini tampilannya menunjukkan keangungan Islam di sana, terutama untuk memamerkan koleksi-koleksi baru untuk dunia, khususnya peneliti, pelajar dan masyarakat umum.

"Koleksi emas" yang dimiliki koleksi ini adalah, mushaf al-Qur'an abad ke-9 Masehi yang masih ditulis dengan khat Kufi (Kaufi), salah satu bentuk khat (tulisan) kaligrafi paling tua dan terawal yang digunakan periode pra-Islam dan pada masa Rasulullah.

Mushaf al-Quran tulisan khat Kufi pada abad ke-9 Masehi

Sepertinya, jika melihat lembaran yang ditampilkan di websitenya, mushaf ini merupakan kitab "salinan" terawal yang masih menggunakan titik satu dan titik dua di beberapa huruf hijaiyyah, tetapi belum digunakan titik tiga. Selain itu, ini merupakan bukti konkret tentang penjilidan dan penyebaran Islam di benua Afrika, termasuk penulisan-penulisan kitab suci dalam bentuk aslinya.

Selain itu, naskah asli "Muqaddimah" Ibnu Khaldun juga tersimpan di sini. Nama lengkapnya, Abu Zayd 'Abdurrahman ibn Muhammad ibn Khaldun al-Hadrami (lahir 27 Mei 1332 - meninggal 19 Maret 1406), adalah seorang sejawran muslim dari Tunisia dan mendapat julukan bapak pendiri ilmu historiografi, sosiologi dan ekonomi. karya terkenalnya adalah "Muqaddimah".

Kitab Muqaddimah Ibnu Khaldun, intelektual Muslim terkenal di dunia


Menurut beberapa sumber, mesjid dan universitas al-Qarawiyyin telah dijadikan sebagai "Muslim Heritage" karena masih menyimpan originalitas seni hias dan arsitektur Islam pada masa lampau. Selain itu, universitas ini juga menyimpan 4000 manuskrip dalam berbagai bidang keilmuan, baik karya-karya ulama atau intelektual Islam terkenal ataupun karya-karya lainnya yang tidak diketahui (anonim). Demikian juga menyimpan beberapa koleksi utama sebagai "warisan" Islam yang sangat berharga.

Setelah sebulan dibuka untuk umum, perpustakaan dan museum ini para pengunjungnya membludak.
Lihat beberapa tampilannya klik disini 




Reseources:
  http://www.techinsider.io
  - http://www.fez-guide.com
  - http://www.muslimheritage.com

Ini Dia Manuskrip Maulid Nabi


Memasuki bulan Rabiul Awal tahun hijriyah selalu diperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW (12 Rabiul Awal) di seluruh negara muslim.

Peringatan tersebut diadakan dalam beragam bentuk, mayoritasnya membaca selawat dan barzanji. Demikian di Aceh (termasuk Melayu Nusantara) sejak dulunya melakukan yang sama yang dapat dilihat dari beragam manuskrip tentang Maulot (Maulid) Nabi Muhammad.

Naskah-naskah tersebut cukup banyak sekali varian dan jumlahnya, yang kini menjadi bacaan “wajib” dalam perayaan maulid Nabi.

Salah satunya manuskrip paling banyak beredar yang digunakan adalah kitab Dala’il al-Khairat karya Abu Abdillah Muhammad ibn Sulaiman Al-Jazuli, ulama terkenal berasal dari Maghrib (Maroko) (m. 870 H 1465 M).

Menjelang dewasa, ia berangkat dan belajar ke daerah Fas yang tidak jauh dari kota Mesir. Di sinilah ia mengarang kitab “Dala'il al-Khairat” yang ditujukan kepada baginda Nabi Muhammad. Di Aceh disebut “meudalae'e” yaitu membaca dalail.

Sebelumnya, Abu 'Abdallah Muhammad ibn Sa'id al-Busiri Ash-Syadhili (1211-1294) di Mesir mengarang puji-pujian selawat kepada Nabi berjudul “Qasidah al-Burdah” yang juga cukup terkenal di masyarakat muslim Nusantara.

Selain dari itu, masih banyak puji-pujian Hizb an-Nasr dan Hizb al-Bahr karya Imam Abu Hasan Syazili, juga terdapat Hizb karya Imam Nawawi, Hizb karya Mulla ‘Ali al-Qari, dan puji-pujian Hizb lainnya sebagai persembahan kepada sisi mulia tersebut.


Khusus di Aceh, membaca “dalaee” ataupun syair-syair pujian dalam bahasa Arab (Hizb) sejenisnya yang terkenal dilakukan sejak bulan Rabiul Awal dan seterusnya.

Selain itu, masih ada tradisi nalam (Arab: nazham) juga dalam bentuk syair yang berisikan tentang pujian dan selawat kepada Rasulullah dalam bahasa Aceh.

Dalam tradisi sastra Aceh, masih digolongkan hikayat, maka dikenal dengan Nazam (Hikayat) Maulot Nabi, salah satunya karya Tgk Syeh Ya’kub atau dikenal juga Tgk Pante Ceureumen dari Padang Tiji.

Salah satu teks Nazham Maulot Nabi bahasa Aceh:
Ya Ilahi poe ku Rabbi lon ek saksi gata Tuhan
Lon ek saksi Nabi Muhammad Rasulullah gata bagi jin insan
Tabri Islam dengoen Iman ngon makrifat tauhid sajan
Tapeuteutap lam kalimah hudep matee bangket meunan
Berkat Rasul yang troen kitab Nabi lengkap sekalian
Berkat mukjizat Taha Yasin Sayyidil Mursalin Muhammadan

Para penceramah Aceh sering menyebut nama selain “Muhammad” dan “Ahmad”, juga dijuluki Sayyidil Mursalin, Yasin, dan Taha.

Salah seorang staff Belanda era kolonial, Damste, termasuk yang banyak mengumpulkan manuskrip Aceh dan membawa ke Belanda menamai bahwa teks-teks “Seulaweuet keu Nabi” sebagaimana kolofon teks menyebut “tamat seulaweuet maulot Nabi” sangat banyak di masyarakat dan menjadi tradisi bulan-bulan perayaan kelahiran Nabi.

Selain itu, menurut inventarisasi (alm) Teuku Iskandar, sarjana Aceh di Belanda menemukan juga naskah-naskah Likee Maulot, atau disebut juga Maulid Barzanji yang sebagian berbahasa Arab dan sebagian lagi berbahasa Aceh.

Dalam edisi cetaknya kemudian dikenal “Maulid Syaraful Anam”.

Bahkan di Perpustakaan Nasional Jakarta mengoleksi kitab Maulot Nabi yang berstempel Tgk. Chik Saman Tiro dan Tgk M. Sa’id Krueng Kalee tahun 1315 H (1898 M), lebih tua naskahnya yang dikoleksi Snouck yang ditemukan tentara Belanda di Rumoh Aceh di Pasar Aceh Samalanga tahun 1916.

Kecintaan mereka (orang terdahulu) mengarang nazam (seulaweut), menyalin dan membacanya sebagai salah satu bentuk kecintaannya kepada baginda Rasulullah.

Kini, karya-karya mereka sudah dicetak dan dapat diakses dengan mudah untuk dibaca, semoga kita dan generasi seterusnya dapat menghidupkan sinar kemuliaan Nabi dan menghayatinya di kehidupan sehari-hari.

Telah dipublikasi di Serambi Indonesia: Ini Dia Manuskrip Maulid (21 Des 2015 M /9 Rabiul Awal 1437 H)

Indahnya Manuskrip Maulid Nabi di Aceh


Naskah-naskah yang berkaitan dengan selawat dan puji-pujian kepada Nabi Muhammad saw yang terdapat di Aceh mayoritasnya akan dihiasi dengan iluminasi dan ilustrasi yang indah. Kecantikan seni tersebut menghias teks-teks yang memuji keagungan seorang Nabi terakhir. Biasanya, hiasan tersebut ditempatkan pada awal-awal halaman dan di akhir sebagai penghormatan dan kemuliaan kepada Nabi Muhammad saw yang paling mulia. Hal senada juga banyak (lebih konsisten) dijumpai pada mushaf-mushaf Aceh dan Nusantara.


Nabi lahir pada malam Senin, atau Senin pagi sebelum Subuh tanggal 12 Rabiul Awal bertepatan pada Tahun Gajah (570 Masehi). Ini adalah pendapat paling sahih yang merujuk pada pendapat Ibn Ishaq dan jumhur yang lainnya. Nabi mulia dilahirkan di Mekkah, di rumah kakeknya, Abdul Muthallib, pada saat itu Siti Aminah sejak meninggal suaminya Abdullah (ayah tercinta nabi Muhammad) dan selama ia mengandung dirawat di rumah kakeknya.

  


Dikenal tahun Gajah sebab pada tahun tersebut, Pimpinan besar Abrahah al-Asyram berasal dari Bani Gassan telah membangun satu peribadatan yang indah dan cantik di Hirah Yaman untuk dapat menarik simpati luar melaksanakan ibadah tahunan di sana. Namun sayang, hal itu tidak membuat masyarakat luar tertarik ke sana, dan  tetap berkunjung ke Mekkah dalam melaksanakan haji sebagai peribadatan tahunan. Abrahah berang, dan ingin menghancurkan Ka'bah di Mekkah. Sebagian riwayat menyebut ini terjadi 2 bulan sebelum kelahiran Nabi, sebagian menyebut hanya beberapa minggu, dan lainnya berpendapat ini terjadi pada waktu-waktu Siti Aminah akan melahirkan.


Pada hari ketujuh kelahiran Nabi, sang kakek Abdul Muthallib menyembelih unta dan mengundang masyarakat Mekkah sebagai acara syukuran (aqiqah) makan bersama. Dan memberitakan kepada masyarakat Mekkah bahwa cucunya diberi nama Muhammad, sedangkan ibunya menamainya Ahmad, yang keduanya berarti terpuji. Masyarakat Mekkah pun bertanya-tanya mengapa ia tidak suka memakai nama nenek moyangnya yang sudah mentradisi di bangsa Arab saat itu. "Aku ingin dia (Muhammad) menjadi orang yang terpuji (Ahmad) bagi Tuhan yang di langit, dan (Muhammad) bagi makhluk-Nya di bumi". jawab Abdul Muthallib.



Hadirnya naskah-naskah kuno (manuskrip) yang dihiasi indah beragam hiasan menunjukkan kecintaan para orang-orang terduhulu dan menjunjung kelahiran dan kehidupan Nabi dengan teks-teks selawat kepada Nabi, biasanya teks-teks seperti Dalail al-Khairat, Selawat Nabi dan Barzanji lainnya akan menghiasi indahnya tulisan-tulisan pujian tersebut.

        


Allah telah menujukkan bukti Nabi terakhir, Rasul paling mulia, pemberi syafaat kepada mukmin di akhirat, dan telah diakui oleh Nabi-nabi sebelumnya akan keberadaannya, serta telah diungkapkan dalam kitab-kitab Taurat, Zabur dan Inzil. Di atas semuanya, terpenting mengikuti seluruh sunnah Nabi, berpedoman pada sirahnya, dan selalu bersalawat dan memujinya setiap saat tanpa terbatas oleh dinding perayaan maulid.


Tamma.

Hubungan Awal Aceh-Fathani

Teks kitab Syarah al-Mubarak tertulis di kolofonnya
Hubungan-hubungan antara Timur Tengah dengan Melayu-Nusantara sejak kebangkitan Islam sampai paruh kedua abad ke-17 menempuh beberapa fase dan juga mengambil beberapa bentuk. Dalam fase pertama sejak akhir abad ke-8 sampai abad ke-12, hubungan-hubungan yang ada umumnya berkenanan dengan perdagangan. Inisiatif dalam hubungan-hubungan semacam ini kebnayakan diprakarsai Muslim Timur Tengah, khususnya Arab dan Persia. Dalam fase berikutnya, sampai akhir abad ke-15, hubungan-hubungan antara kedua kawasan mulai mengambil aspek –aspek lebih luas, sebagai pedagang atau pengembara sufi mulai mengintensifikasikan penyebaran Islam di berbagai wilayah Nusantara. Pada tahap ini hubungan-hubungan keagamaan dan kultural terjalin lebih erat. Tahap ketiga adalah sejak abad ke-16 sampai paruh kedua abad ke-17. Dalam masa ini hubungan-hubungan yang terjalin lebih bersifat politis di samping keagamaan sebagaimana disebut di atas. Dalam periode ini, Muslim Nusantara semakin banyak ke tanah suci (Mekkah), yang pada gilirannya mendorong terciptanya jalinan keilmuan antara Timur Tengah dengan Nusantara melalui ulama Timur Tengah dan murid-murid Jawi. 
Aceh dan Fathani (Phatani) secara historis memiliki hubungan yang panjang dan erat. Sehingga, keduanya memiliki persamaan dan kemiripan dalam aplikasi keagamaan dan kebudayaan. Bahkan beberapa sumber menyebutkan bahwa hubungan bilateral antara Aceh dengan Phatani lebih awal daripada dengan Semenanjung Malaya (Malaysia).  Mohd, Shaghir Abdullah menyebutkan apabila ditinjau sejarah Melayu akan diperoleh bahwa banyak ulama-ulama Fathani yang berlayar ke Malaysia untuk penyebaran Islam di kawasan tersebut. Ulama-ulama Fathani menjadi salah satu tokoh penting dalam penyebaran awal Islam di Semenanjung Malaysia. 
Walaupun demikian, beberapa sumber primer ditemui bahwa Malaka (Malaysia) telah menjalin hubungan erat dengan Pasai (Aceh) sejak abad ke-13 masehi dengan mengirim delegasi dan kitab-kitab Arab tersebut untuk diterjemahkan ke dalam bahasa Jawi (Melayu)-Pasai.  Bahasa Melayu (dan Indonesia) yang sebagaimana yang dipraktekkan saat ini telah dirumuskan oleh Kesultanan Pasai. Pasai menjadi basecamp dan sentral perkembangan bahasa Melayu dengan aksara Jawi, hingga mengaplikasikan -khususnya- aksara Jawi di seluruh wilayah Melayu dan Nusantara sebagai simbol kesatuan negeri Jawi (nasionalisme) dan keagamaan (Islam), terutama di luar kawasan kekuasaan Kerajaan Majapahit- untuk mengurangi kekuasaan dan pengaruhnya.

Teks kitab Syarah al-Mubarak tertulis di kolofonnya
Tamat Sharh al-Mubarak bi’auni al-’adhim fi sanah 1228 H
fi Shahr Muharram [Januari 1813 M]  fi Zaman  Paduka 
Sri Sultan ‘Alauddin Jauhar Alam Syah.
Wa-shahibuhu wa katibuhu al-faqir al-haqir ar-raji ila-Allah
Al-qhani Ja’far “muallim” Haitam ibn Abdurrauf gampong
...  Fi maqam shaykhina wa-qudwatina al-’arif billah al-syaik
Abdusshamad Lambhuk ibn Yusuf ibn Abdullah al-Fathani...



Dapat dipastikan, pada abad ke-16 dan ke-17 M, Aceh mencapai puncak keselarasan di era Kesultanan Aceh. Pada saat itu Aceh menjadi pusat ilmu pengetahuan, perdagangan Internasional, dan puncak kemajuan sastra. Bukti ini dapat terlihat pada naskah-naskah klasik atau manuskrip yang ditulis oleh para ulama Aceh dan Melayu dengan berbagai disiplin ilmu. Namun demikian, hubungan antar wilayah Melayu Nusantara, antara Aceh dengan Fathani dan Semenanjung Melayu telah terjalin jauh sebelumnya, periode Kesultanan Pasai dan hingga periode Kolonialisme, akan tetapi, bukti-bukti konkret dan relevan sangat sedikit.
Antara Aceh dan Fathani memiliki kesamaan visi untuk memajukan intelektual masyarakat Melayu, tanpa menghiraukan identitas dirinya. Dan juga memperjuangkan agama dalam bidang keilmuan dan intelektual. Kesamaan visi ini terhubung oleh jaringan ulama antar keduanya saat berada di perantauan, khususnya di Haramain. Kesamaan visi dan misi itulah yang jelas terwujud pada abad ke-18 dan 19 masehi, sehingga antara ulama Fathani dan Aceh memiliki minimal tiga kesamaan pada era tersebut, membentuk keilmuan yang kredibel dengan tashih dan tahqiq kitab, menjalin hubungan tarekat antar Melayu-Nusantara, dan memajukan bahasa sastra Melayu. Ketiga hal tersebut sama-sama dimiliki oleh kedua daerah yang bergelar "Darussalam", walaupun secara geografis jarak keduanya berada di kepulauan yang jauh berbeda.

Ithaf Ad-Dhaki dan al-Mawahib al-Mustarsilah untuk At-Tuhfah al-Mursalah (Bagian 2)

Tulisan bagian kedua ini sebagian besarnya saya kutip dari buku Itḥāf al-Dhakī, Oman Fathurahman. Walaupun ada perbedaan transliterasi dan tambahan di beberapa bagian dari saya, sesuai dengan konteks pembahasan yang dimaksud.

Kitab Itḥāf al-Dhakī (Ithaf ad-Dhaki bi Sharh at-Tuhf ah al-Mursalah ila an-Nabi SallaAllahu ‘Alayhi wa-Sallama) (artinya: Sebuah Persembahan kepada Jiwa yang Suci: Penjelasan atas Kitab yang dipersembahkan kepada Nabi saw.) Kitab tersebut merupakan salah satu karya keagamaan di bidang tasawuf dan kalam yang ditulis oleh Ibrahim ibn Hasan al-Kurani as-Shahrazuri as-Shahrani al-Kurdi al-Madani as-Shafi’i (1616-1690), lebih dikenal Ibrahim al-Kurani. 

Seperti dimaksud oleh pengarang kitab, dalam judulnya, Itḥāf al-Dhakī merupakan sebuah komentar (sharh) atas kitab lain berjudul At-Tuhfah al-Mursalah ila an-Nabi Salla Allahu ‘Alayhi wa-Sallama (selanjutnya disebut at-Tuhfah al-Mursalah). Kitab yang disebut terakhir ini ditulis oleh Fadlullah al-Hindi al-Burhanpuri (w. 1619), pada tahun 1590, berkaitan dengan doktrin martabat tujuh yang sempat sangat populer di kalangan masyarakat Muslim di dunia Melayu-Indonesia. 

Meskipun awalnya ditulis untuk memenuhi permintaan sebagian dari Jamaah al-Jawiyyin tersebut, akan tetapi nyatanya Ithaf ad-Dhaki telah ‘memikat hati’ kalangan pembaca dari kawasan dunia Islam lain (Johns 1978: 481), dan dikutip misalnya dalam sebuah teks tasawuf berpengaruh asal Afrika Barat berjudul Kitab Rimah Hizb ar-Rahim, karangan al-Hajj ‘Umar (Bruinessen 1998: 92). 

Sebagaimana terdapat dalam oxordium (pembukaan) teks naskah yang sekaligus merupakan penjelasan atas latar belakang ditulisnya Itḥāf al-Dhakī. Syukurnya, al-Kurani menyebutkan secara spesifik Jama'ah al-Jawiyin serta dinamika sosial-keagamaan yang terjadi di dunia Melayu-Indonesia sebagai konteks ditulisnya Ithaf ad-Dhaki, karena saat ini catatan tersebut menjadi salah satu informasi penting dan langka berkaitan dengan keberadaan, aktifitas keilmuan, serta saling-silang hubungan komunitas Muslim Nusantara dengan guru-gurunya di Haramayn pada abad ke-17.

MS Arab. 250. Collected at Houghton Library, Harvard University, Cambridge
Terjemahan bebas dari bahasa Arab sebagai berikut:
"Amma ba'du, kami telah menerima kabar dari sekelompok orang Jawi (Jama‘at al-Jawiyin) bahwa di kalangan masyarakat ‘Jawah’ telah tersebar sebagian kitab tentang ilmu hakikat dan ilmu tasawuf, yang dipelajari dan  diajarkan oleh para pencinta ilmu, tapi tanpa memahami terlebih dahulu syariat Nabi yang terpilih, (Muhammad), saw; bahkan tanpa memahami ilmu hakikat yang diberikan kepada orang-orang yang menempuh jalan Allah Taala… Hal inilah yang menyebabkan sebagian dari mereka tergelincir dari jalan yang benar, menyesatkan akidah, bahkan terjerumus ke dalam perbuatan kafir (zindiq) dan sesat (ilhad)…"

"…beberapa dari jama‘at al-jawiyin meminta kepada diriku yang tak berilmu ini untuk menulis sebuah komentar (sharh}) atas kitab tersebut, agar dapat menjelaskan kesesuaian masalah-masalah (yang dibahas) didalamnya dengan prinsip-prinsip dasar agama, yang diperkuat dengan dalil-dalil dari Kitab yang mulia serta Sunnah (tuntunan) pemimpin para nabi… Permintaan ini diajukan beberapa kali dalam beberapa tahun oleh lebih dari satu orang dari kalangan jama‘at al-jawiyin tersebut……dan aku namai kitab ini Itḥāf al-Dhakī bi-Sharh at-Tuhfah al-Mursalah ila an-Nabi saw."

Hingga saat ini, jumlah salinan naskah Ithaf ad-Dhaki yang telah diketahui keberadaannya di berbagai perpustakaan di seluruh dunia adalah sebanyak 30 buah. di antaranya tersimpan paling banyak di Istambul Turki (9 naskah), kemudian di King Faisal Ccenter for Islamic Manuscript di Saudi Arabia (5 naskah), Dar Kutub Library Kairo dan Maroko (masing-masing 2 naskah), Perpustakaan Berlin, Harvard, Damaskus, India, Leiden, Libya, London, Pakistan, Birmingham, Cologne dan Tokyo (masing-masing 1 naskah). 

Penanggalan paling tua berkaitan dengan penulisan naskah Ithaf ad-Dhaki ini terdapat dalam salah satu salinan naskah bernomor MS 820 koleksi Fazil Ahmed Pasa, Perpustakaan Köprülü Istanbul, yang menyebutkan bahwa Ithaf al-Dhaki mulai ditulis pada hari Ahad 30 Rabi‘ al-Awwal 1076 H/20 September 1665 M, dan selesai pada awal Jumada al-Akhir pada tahun yang sama. Kalaupun angka tersebut bukan merupakan tahun penulisan oleh al-Kurani, melainkan tahun penyalinan oleh seorang penyalin, setidaknya patut diduga bahwa MS 820 ini adalah salinan terdekat dari naskah aslinya yang mungkin ditulis beberapa tahun sebelumnya.

Perlu dicatat bahwa Abdurrauf As-Singkili sudah berada di Aceh pada tahun 1661 M/1072 H, ia berkiprah dan mengembangkan pendidikan agama di Zawiyah Menara, di Kuala Aceh, Banda Aceh sejak awal kepulangannya. Dan beberapa saat itu, ia telah mengemban banyak tugas seperti menulis kitab Fiqh Mir'atul Thullab atas permintaan Sultanah Safiyatuddin Syah Tajul Alam.   

Ithaf ad-Dhaki memang bukan satu-satunya sumber Arab tertulis yang mengisyaratkan pernah terjadinya kontak intelektual dalam bentuk ‘tanya jawab’ antara jama‘ah al-jawiyin dengan para ulama terkemuka di Haramayn. Ibrahim Al-Kurani sendiri diketahui pernah menulis karya lainnya berjudul al-Jawabat al-Garawiyah ‘an al-Masa’il al-Jawiyah al-Jahriyah. Judul karya ini mengisyaratkan bahwa di dalamnya terdapat jawaban-jawaban al-Kurani terhadap berbagai masalah keagamaan yang diduga kuat ditanyakan oleh jama‘ah al-jawiyin. Sayangnya, sejauh ini belum ada informasi yang menyebutkan di mana salinan naskah karya tersebut berada.

Kontak intelektual antara Muslim Melayu-Nusantara melalui tradisi tanya jawab masalah keagamaan ini tidak dimulai pada masa Ibrahim al-Kurani beserta kolega atau muridnya. Setidaknya kitab berjudul al-Mawahib ar-Rabbaniyyah ‘an as-As’ilah al-Jawiyah mengindikasikan tentang wilayah Jawi yang dibahas di atas. Kitab ini diduga kuat ditulis lebih awal beberapa tahun oleh Muhammad ibn ‘Ali ibn ‘Allan as-Siddiqi (1588-1647) sebagai jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ‘titipan’ dari penguasa Kesultanan Banten, yakni Pangeran Ratu yang bergelar Sultan Abu al-Mafakhir Mahmud Abdul Qadir (1626-1651). Pertanyaan-pertanyaan ini dibawa oleh delegasi khusus Muslim Banten yang datang ke Makkah pada tahun 1638 M. Dalam al-Mawahib al-Rabbaniyyah tergambar bahwa Sultan Abdul Qadir meminta penjelasan dari Ibn ‘Allan berkaitan dengan karya al-Ghazali yang berjudul Nasihat al-Muluk.

Judul Al-Mawahib ar-Rabbaniyyah tentu mengingatkan kita pada kitab karya Abdurrauf Al-Fansuri berjudul Al-Mawahib Al-Murtarsilah (bagian 1) yang membahas tentang ontologis ketuhanan dan alam dalam pandangan sufistik (tarekat) dan syariat. Akan tetapi, kitab Abdurrauf al-Fansuri menunjukkan jelas terhadap syarah kitab at-Tuhfah al-Mursalah, sebagaimana kitab gurunya Ibrahim al-Kurani yang sama-sama menguraikan kitab at-Tuhfah al-Mursalah karya Fadlullah al-Hindi al-Burhanpuri. Walaupun dalam kenyataannya, Ithaf al-Dhaki lebih dari sekedar komentar terhadap al-Tuhfah al-Mursalah, karena pengantarnya sendiri, yang mengandung penjelasan Ibrahim al-Kurani tentang konseptualisasi tasawuf dan pengalaman para Sufi. 

Tidak tidak sulit untuk menyimpulkan bahwa kandungan karya Abdurrauf al-Fansuri merupakan transformasi pemikiran yang rekonsiliatif melalui pendekatan yang argumentatif terhadap berbagai isu utama dalam pemikiran teologis dan sufistis, yang dideskripsikan sesuai dengan konteks masyarakat setempat, oleh karena itu lahirnya kitab al-Mawahib al-Mustarsilah merupakan transformasi dari Ithaf ad-Dhaki untuk mendeskripsikan kitab at-Tuhfah al-Mursalah. Hal tersebut tampak pada kecenderungan Ibrahim al-Kurani untuk menampilkan gagasannya dengan tetap mendasarkan pada norma-norma keilmuan tradisional, pada gilirannya telah sangat membekas pada kecenderungan keilmuan sejumlah muridnya, termasuk Abdurrauf al-Fansuri.

Mushaf Al-Qur'an Milik Mesjid Raya Baiturrahman Aceh Ada di Leiden Belanda

Setiap orang Aceh pasti tahu jenderal Belanda yang tewas ditembak di depan Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh saat memimpin perang ke Aceh 1873.
Hampir semua buku merekamnya dan juga terdapat monumen mencatatnya yang terletak di sebelah Masjid Raya di bawah pohon Geulumpang besar. Orang mengenalnya “pohon kohler”.
Namun, jika sebaliknya ditanyai, siapa imam Masjid Raya Baiturrahman yang syahid saat agresi Belanda ke Aceh? Tentu banyak orang tidak tahu jawabannya, dan banyak buku tidak merekamnya.
Cukup sulit mencari sumber informasi tentang “pahlawan syahid Aceh” saat perang itu terjadi. Padahal semua orang tahu awal kisah bencana perang Aceh dengan Belanda pada tahun 1873.
Mushaf Alquran milik Masjid Raya Baiturrahman adalah bagian dari barang-barang pusaka dalam Masjid yang diambil dan terbang ke Belanda pasca meletusnya perang tersebut. (baca : Museum Mushaf Alquran Aceh)
Syukurnya, saya dapat mengakses Alquran resmi yang digunakan Imam Mesjid Raya yang didigital oleh Erlangen dari Jerman atas izin Leiden University sebagai pihak pengoleksi.

Kini warisan berharga tersebut disimpan di perpustakaan terbesar di Belanda dalam kategori “koleksi spesial”.
Dapat diartikan bahwa:  “Sampul kulit warna merah, memiliki dekorasi terjilid bundle, terikat dan dibordir. Ini hadiah Prof Michael Jan de Goeje (1836-1909), yang telah menerima MS [manuskrip] dari Kapten JHA IJssel de Schepper, yang menemukannya pada pada tubuh 'imam Aceh' yang syahid setelah penyerbuan Masjid Agung (Missigit) dari Kotaradja [Banda Aceh] dalam perang Aceh pertama. MS ini telah dikirim dari “Bivouac Zeestrand” Aceh ke Belanda pada 27 April 1874”.
Akhirnya kita tahu, bahwa Alquran tersebut ditemukan dalam dekapan sang imam Masjid Raya yang syahid pada perang pertama.
Ada beberapa sumber menyebutkan nama imam masjid raya pada periode awal perang tersebut, sebagian menyebut Tgk Imum Lam Krak, pendapat lainnya Teuku Rama. Namun demikian, kedua pendapat tersebut belum sahih seutuhnya.
Mushaf ini dimulai tulisannya dengan doa membaca Alquran, kemudian seuntai syair “syarat membaca Quran itu empat perkara, sekalian hokum tajwid engkau pelihara” disertai gambar muluklt dan kerongkongan tempat dalam keluarnya huruf hijaiyyah.
Halaman selanjutnya nama-nama Nabi dan Rasul, dan terakhir tatanan pembelajaran tajwid.
Penemuan mushaf Alaqran resmi Masjid Raya Baiturrahman tahun 1873 menjadi modal untuk mengembangkan kembali mushaf Alquran Masjid Raya Baiturrahman pada zaman sekarang.
Ini juga sekaligus modal untuk menghadirkan museum Mushaf Masjid Raya Baiturrahman yang memuat beragam informasi sejarah dan perkembangan masjid sebagai dambaan hati masyarakat Aceh dan mengenang peran masjid tersebut.

Ini Wasiat Abdurrauf Syiah Kuala Untuk Kita

Teks "Mawa'id al-Badi' (al-Badi'ah)" karya Syekh
Abdurrauf  al-Fansuri
ABDURRAUF BIN ALI AL JAWI AL FANSURI adalah salah seorang ulama besar di Aceh dan pengembang utama tarekat Syattariyah di Aceh dan Asia Tenggara.
Nama lengkapnya ialah Aminuddin Abdul Rauf bin Ali Al-Jawi Tsumal Fansuri As-Singkili. Selain penasihat empat Sultanah di Kerajaan Aceh, ia juga termasuk ulama yang paling aktif menulis kitab sepanjang abad di berbagai bidang ilmu berjumlah kurang lebih 38 judul kitab.
Ia menulis mulai bidang ubudiyah, muamalah, tauhid, tasawuf, tafsir Quran, etika dan lainnya di bidang sosial dan kearifan masyarakat Aceh khususnya, dan masyarakat Melayu umumnya.
Salah satu kitabnya berjudul Mawa’id al-Badi’ (al-Badi’ah) diartikan Pengajaran yang indah-indah (berguna) yang berisikan 50 wasiat pengajaran (poin) Syekh Abdurrauf kepada manusia.
 “Dan kunamai akan dia Mawa’id al-Badi’ artinya segala pengajaran yang indah-indah. Hai segala anak Adam laki-laki dan peremppuan, percayakan oleh kamu akan segala pengajaran ini, jangan engkau syak (ragu) akan dia, karena segala pengajaran ini setengahnya (sebagiannya) aku ambil dari perkataan Allah, dan dari Rasulullah, para Sahabat, Aulia Allah, hukama, dan ulama..”.
Pesan tersebut dimulai dengan sebuah anjuran supaya dikaji ulang pada setiap hari atau seminggu sekali atau sekurang-kurangnya sebulan sekali. Faidah membaca kitab ini menurut ulama pengarang kitab tafsir  berbahasa Melayu (Indonesia) pertama kali supaya hati manusia menjadi lembut.
Bahkan, barangsiapa yang telah membacanya dan tidak mengamalkan isinya akan termasuk orang yang merugi. Maka, maklum saja jika kitab ini diperoleh banyak sekali variannya.
Kitab ini disalin oleh banyak orang dalam beberapa tahun berikutnya hingga masa kemerdekaan.
Apabila dipersentasekan isi kitab ini, wasiat pengajaran Abdurrauf banyak membahas tentang etika dan karakter seorang muslim. Anjuran-anjuran di dalamnya mengutamakan sikap bersosial terhadap orang lain, sepuluh peringatan pertama seluruhnya menyebutkan tentang sikap manusia.
Pertama yang diungkapkan oleh Abdurrauf adalah kematian (maut) dan proses di hari kiamat. Epistemologi tersebut merupakan langkah utama bagi manusia yang dianggap baligh dan berakal sebagai tujuan akhir hidup ini.
Kemudian, pada peringatan kedua ia menegaskan tentang tauhid.
Pada wasiat ketiga disebut pentingnya mensyukuri apa yang ada dan menjauhkan sifat dengki pada orang lain. Dan pengajaran selanjutnya adalah sikap kerja keras dan berusaha mencari rezeki dunia dan beramal untuk akhirat.
Pengajaran kelima yang diwasiatkan oleh ulama asal Fansur itu tentang sifat munafik, seperti menyebut dirinya golongan orang shalih padahal ia tidak berbuat baik dan hanya ikut-ikutan orang lain, berangan-angan surga tanpa berbuat kebaikan, menyeru orang lain pada kebaikan padahal ia sendirinya tidak melakukannya, diam saat orang lain berbuat jahat padahal engkau mengetahuinya.
Abdurrauf mengingatkan akan azab bagi orang munafik sudah disiksa sejak dalam kubur oleh malaikat.
Abdurrauf menegaskan pada poin ke 15: “Sebaik-baik barang yang dikarunia pada hati itu yakin akan Tuhan. Dan sebaik-baik barang yang diri akan kamu itu ‘afiah pada badan, iman dan amal. Sejahat-jahat perkataan kamu itu dusta, dan sejahat-jahat nasehat itu naminah, mengadu-adu yakni lalat mirah..”
Bahkan Abdurrauf mengingatkan pada poin ke 24: “Hai anak Adam, tiada betullah agamamu hingga betullah lidahmu, dan tiada betul lidahmu hingga engkau malu daripada Tuhanmu”.
Tentu, pembentukan karakter dan akhlak lebih mulia daripada simbolitas keagamaan dalam bentuk kelompok, golongan ataupun sikap-sikap yang kurang bijak.
Kitab Abdurrauf memenuhi anjuran pada sikap berbuat baik kepada diri sendiri, orang tua, orang lain dan lingkungan, dan terutama kepada hak-hak Allah.
Kewajiban tersebut bukan hanya terletak pada perilaku semata, akan tetapi juga penting pada hati dan niat, sikap merelakan (ridha), sikap tidak saling menghujat dan menggunjing orang lain.
Sikap tersebutlah yang menumbuhkan kerukunan beragama pada periode Abdurrauf, termasuk ketentraman dalam masyarakat dan kestabilan politik pemerintahan.
Di penutup kitab ini, Abdurrauf mewaspadai
Hai anak Adam, jikalau engkau lihat akan orang yang alim pada ia sangat kasih (cinta) akan dunia pada zahir dan batin, atau memakai emas, atau perak, atau memakai sutra, atau berulang-ulang masuk pada pintu raja-raja, atau barang sebagianya daripada dosa besar dan kecil, atau segala pekerjaan ulama dunia dan ulama jabbarah seperti memakai kain kelam kiri, atau barang sebagainya daripada segala kain yang bertulisan atau melukiskan rumah, atau bandarasah (madrasah) atau barang sebagainya daripada segala perhiasan dunia yang membawa kepada takabbur (sombong) lagi melalaikan hati daripada berbuat ibadah dan zikir Allah”
Tanda-tanda seperti itu menurut Abdurrauf adalah:
“Maka ketahui olehmu bahwasanya orang alim itu sudah tergelinjir, maka jangan engkau ikuti akan dia, dan jangan engkau ambilkan akan agama (ajaran) daripadanya, dan jauhkan olehmu akan dirimu daripadanya”.


http://aceh.tribunnews.com/2015/06/22/ini-wasiat-syiah-kuala-untuk-kita?page=4

HERMANSYAH, MA.Hum, Adalah dosen Bidang Teks Klasik dan Kajian Naskah pada Prodi SKI Fakultas Adab dan Humaniora UIN Ar-Raniry, dan Peneliti Manuskrip

Disini Manuskrip Aceh Bersemayam

Pasca 2004, geliat inventarisasi naskah di Aceh semakin berkembang, termasuk di dalamnya penyusunan katalog buku dan website online, sehingga jumlah naskah mencapai 4000 buah naskah. Tumbuhnya kesadaran tersebut juga dialami di kalangan masyarakat Aceh dalam melestarikan warisannya, sebagaimana disinggung di atas terhadap tipe para kolektor di masyarakat yang mulai beralih fungsi. Beberapa lembaga penyimpan manuskrip Aceh terdiri dari lembaga pemerintahan, swasta dan koleksi personal, yaitu;
1.      Museum Negeri Aceh (MNA) yang didirikan pada tahun 1915, dan diresmikan sebagai MNA pada tanggal 1 September 1980. Identifikasi pertama kali dilakukan pada tahun 1982. Kegiatan tersebut menghasilkan identifikasi teks sebanyak 51 judul.  Tahun 1983 sebanyak 150 naskah, kemudian katalog Identifkasi 1985, 1987, 1988, 1989 1992, 1992 (6 katalog Identifikasi) mendaftarkan 362 judul teks naskah. Memasuki awal abad ke-21 hingga gempa-tsunami (2004), koleksi MNA bertambah menjadi 1200 naskah. Dan, selanjutnya pasca bencana tersebut, MNA menambah koleksinya, termasuk naskah hibah dari BRR, sehingga berjumlah ­+ 1800 naskah. Naskah tersebut terus bertambah jumlahnya seiring dengan program preservasi dan pembelian di masyarakat hingga tahun 2014.

2.      Zawiyah Tanoh Abee terletak di Seulimum Aceh Besar, sebagai salah satu pusat scriptorium dan museum manuskrip sejak abad ke-17 M hingga saat ini. Perkembangan dan peranan zawiyah ini diketahui dari silsilah tarekat Syattariyah yang berbeda afiliasi dengan Abdurrauf al-Fansuri (w. 1693) di Banda Aceh. Peranannya tersebut tidak hanya menjadi pengoleksi naskah, tetapi juga terlibat dalam penulisan, penyalinan, pembukuan dan restorasi naskah secara turun-temurun, dan menggapai puncaknya sejak masa  Syekh ‘Abd Al-Rahim kakek dari Syekh Abd al-Wahab (Tgk Tanoh Abee, w. 1894) hingga Tgk Abu M. Dahlan Al-Fairusy al-Baghdady (Abu Taboh Abee, 1943-2006).
Koleksi naskah Tanoh Abee menurut Wan Ali (1993) sekitar 6.000 naskah, terdiri dari 900 naskah berbahasa Melayu, dan selebihnya berbahasa Arab.
Penyusunan katalog naskah Tanoh Abee sudah ditempuh beberapa kali, Wamad Abdullah & Tgk. Abu M. Dahlan al-Fairusy (1980) telah menyusun Katalog Naskah Tanoh Abee sebanyak 400 naskah. Dalam kata pengantarnya, pustaka ini masih menyimpan lebih dari 900 buah manuskrip, edisi pertama berjumlah 400 naskah, dan selebihnya disebut dalam katalog yang diperikan oleh Zunaimar & M. Dahlan al-Fairusy (1993).
Terbaru, Katalog Naskah Dayah Tanoh Abee diluncurkan pada Juli 2010, dalam rangka rekonstruksi budaya Aceh pasca gempa dan tsunami tahun 2004, tergabung dalam tim yang disponsori oleh The Centre for Documentation; Area-Transcultural Studies (C-DATS) Tokyo University of Foreign Studies (TUFS), Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa), Pusat Kajian Pendidikan dan Masyarakat (PKPM) Aceh, dan Dayah Tanoh Abee sendiri, penelitian lapangan dan pengumpulan data telah berjalan sejak tahun 2006. Adapun jumlah naskah yang berhasil diperikan dalam katalog terbitan C-DATS Tokyo, sebanyak 280 bundel naskah yang terdiri dari 367 teks. Jumlah naskah dalam katalog ini  lebih sedikit dari susunan katalog sebelumnya, walaupun memiliki kelebihan dalam mendeskripsi naskah. Namun demikian, setiap katalog memiliki keunikan dan keunggulan masing-masing.



3.      Museum Yayasan Pendidikan Ali Hasjmy (YPAH) didirikan oleh Prof. Dr. Ali Hasjmy pada tanggal 15 Januari 1991, seorang intelektual Aceh, yang juga budayawan, negarawan, dan cedekiawan terkemuka pada masanya. Mantan Gubernur Aceh (1957-1974) telah menghasilkan sekitar 57 karya tulis dalam berbagai bidang (sejarah, sastra, agama, politik dan hukum). YPAH mengoleksi dokumen-dokumen penting dan barang berharga, di antara koleksi YPAH yang sangat berharga adalah naskah kuno (manuskrip).
Pada tahun 1992-1995, pengurus YPAH pernah melakukan inventarisasi pada sebagian koleksinya, namun penerbitan katalog hanya terbatas pada lingkungan internal, dan belum dipublikasikan secara meluas. Seiring dengan perkembangan peranan YPAH dalam mengumpulkan naskah-naskah kuno dari masyarakat, sehingga sebagian naskah belum tercantum. Usaha katalog berikutnya dilakukan pada tahun 2005-2007 atas kerjasama beberapa lembaga YPAH, PPIM, Manassa, TUFS, C-DATS dan PKPM. Dari hasil kegiatan tersebut diperoleh data YPAH menyimpan 232 bundel naskah dengan 314 teks (Oman & Munawir: 2007)

4.      Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh (PDIA) berdiri pada tahun 1976 dan diresmikan dua tahun kemudian, lembaga ini hasil kerjasama Pemda Aceh dengan Universitas Syiah Kuala dan Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (KITLV/ The Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies) yang ikut memberi sumbangan copyan buku-buku koleksi Belanda periode Kolonial, selain itu terdapat beberapa koleksi buku dan manuskrip dari internal PDIA sendiri.
Koleksi PDIA tahun 1988 tercatat ada 66 naskah agama dan 23 hikayat. Dan Ali menyertakan 70 naskah berbahasa Melayu, Aceh dan Arab (Ali: 1993).
Hingga 2004, seluruh koleksi di PDIA musnah akibat gempa-Tsunami, menurut Rusdi Sufi (red. Pimpinan PDIA) lebih dari ratusan manuskrip, arsip penting Belanda dan surat-surat bersejarah hilang. Namun dari list data yang diperoleh ada 82 naskah yang hancur.
Pasca bencana, Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR) Aceh-Nias membangun kembali gedung PDIA di lahan yang sama. Kini, beberapa dokumen dan file-file penting diperoleh dari sumbangan Stiching Peutjut Fond, Belanda, File dokumen dari KITLV, restorasi dokumen akibat tsunami kerjasama dengan Jepang.

5.      Koleksi Pribadi


  • Tarmizi A Hamid, Banda Aceh; mulai mengoleksi naskah sejak tahun 1996. Menurutnya, jumlah koleksinya sampai saat ini mencapai sekitar 482 teks naskah. Jumlah tersebut menunjukkan paling banyak koleksi pribadi dari beberapa kolektor lainnya. Namun, seluruh koleksinya belum dikatalogkan dan diinventarisir. Dan sejauh ini hanya pada tahap restorasi naskah sebanyak 102 naskah selama dua tahap (2010 dan 2011) yang dilakukan oleh PKPM bekerjasama dengan Pemda Aceh.
  • Harun Geuchik Leumik, Banda Aceh; sebagai pengoleksi benda kuno, ia juga mengoleksi manuskrip sebanyak 26 buah dan telah direstorasi, sebagian besar mushaf Al-Qur’an. Akan tetapi, semua koleksinya  belum diinventarisir dan belum disusun katalognya.
  • Samsul Anwar, Banda Aceh; Ia mengoleksi naskah sebanyak 180 naskah. Di antaranya hanya 63 naskah yang direstorasi, dan 20 di antaranya digitalisasikan. Seluruh kegiatan tersebut  juga dilaksanakan oleh PKPM.
  • Syahrial bin Zainun Idris (Alm) Aceh Besar; Selain keluarga Tanoh Abee yang memiliki koleksi terbanyak di wilayah Aceh Besar. Keluarga Syahrial bin Zainun Idris juga mengoleksi banyak naskah, Zainun Idris (w. 2007) telah mengoleksi 51 naskah. Setelah ia wafat, ia mewariskan kepada anaknya Syahrial, selain koleksinya yang diperoleh dari masyarakat sebanyak 180 naskah. Sehingga jumlah seluruhnya sebanyak 231 naskah, ia menginventarisir secara pribadi dan belum dikatalog dan direstorasi.
  • Tgk Adnan Hasyim, Lambirah, Aceh Besar; Memiliki 20 naskah yang telah direstorasi dan digitalisasi oleh PKPM.
  • Hasballah Teupin Raya, Pidie; Ia banyak mengoleksi manuskrip, walaupun dalam catatan PKPM hanya 30 naskah yang telah diperbaiki kerusakannya. Menurut data daftar Lektur Litbang Jakarta yang dilakukan oleh Fakhriati melebihi dari 100 naskah jumlahnya. Sampai saat ini belum terdata dengan akurat berapa jumlah naskah koleksinya.
  • Dayah Tgk Syik Awee Geutah, Bireuen; Koleksi di Dayah Awee Geutah dimulai sejak turun temurun dari keluarganya, dan dari masyarakat sekitar hingga berjumlah 52 naskah. Keseluruhannya telah direstorasi, namun belum ada katalog.
  • Masykur, kolektor muda bertempat tinggal di Pidie Jaya yang telah mengumpulkan manuskrip sekitar 400 naskah (2014).

Dari jumlah seluruh manuskrip tersebut, masih banyak di masyarakat yang tersimpan ala kadarnya, tanpa perawatan, tanpa penanganan khusus. Dan hampir seluruhnya belum teridentifikasi dan belum ada katalogisasi. Semoga ada banyak pihak, khususnya Pemerintah Aceh untuk melakukan preservasi manuskrip, ataupun lembaga asing, untuk keselamatan naskah. [Hermansyah dari berbagai sumber]