Repro Foto Cut Mutia: Sebuah Kekeliruan Sejarah (2)
Repro Foto Cut Mutia: Sebuah Kekeliruan Sejarah (2) - Selamat datang di blog Sejarah Aceh, Info kali ini adalah tentang Repro Foto Cut Mutia: Sebuah Kekeliruan Sejarah (2) !! Semoga tulisan singkat dengan kategori
Aceh !!
Atjeh !!
Manuscript !! ini bermanfaat bagi anda yang membutuhkan. Dan untuk anda yang baru berkunjung kenal dengan blog sederhana ini, Jangan lupa ikut menyebarluaskan postingan bertema Repro Foto Cut Mutia: Sebuah Kekeliruan Sejarah (2) ini ke social media anda, Semoga rezeki berlimpah ikut di permudahkan sang khalik yang maha kuasa, Selengkapnya lansung lihat infonya dibawah -->
Tulisan sebelumnya "Reproduksi Foto Pahlawan Aceh Cut Mutia" saya sebutkan bahwa gambar yang disebarkan dan dipercayai sebagai Cut Mutia pahlawan dari Aceh Utara bukanlah wajah yang sebenarnya. Kemudian saya akan menyebut "gambar palsu" Cut Mutia.
Ada baiknya terlebih dahulu, kita harus mengapresiasi Pemerintah yang telah menghargai pahlawan Aceh -walau dalam uang seribu-. Terlepas dari itu, kita harus maklumi banyaknya pahlawan-pahlawan kemerdekaan Indonesia yang mustahil dimuat semuanya dalam satu edisi, maka terpilihnya Cut Mutia merupakan apresiasi untuk pahlawan Aceh -sekali lagi, walau dalam uang seribu-. Ini akibat "aweuk ka bak jaroe gob".
Namun terkait originalitas gambar, tentu kita -sebagai masyarakat- yang beradab dapat memberi saran dan masukan untuk Pemerintah ke depan untuk tidak lagi menggunakan gambar palsu Cut Mutia tersebut, atas dasar data-data otentik dengan argumentasi yang cukup.
Alasan saya cukup singkat, Pertama; Cut Mutia berjuang di pedalaman hutan Aceh Utara sebelum tahun 1900 hingga syahid tahun 1910. Foto yang dijadikan sumber berasal dari jepretan Nieuwnshuis C.B tahun 1900 di dalam studia wilayah Banda Aceh. Pada tahun tersebut, wilayah-wilayah di luar Banda Aceh dan Aceh Besar masih terjadi perlawanan rakyat Aceh dan kondisi belum kondisif seutuhnya.
Kedua; Gambar palsu Cut Mutia di Rp. 1000 (rilis tahun 2016) adalah hasil seorang pelukis dalam menggapai imajinasinya, ia terpengaruh dengan "postcard" dengan judul "Perempuan Aceh". Kenapa jadi postcard, jawabannya ada di bawah. Kemudian, melalui tangan-tangan pelukis berimajinasi menggambar beberapa tokoh pahlawan Nasional (seperti Teuku Umar, Cut Nyak Dien, dan lainnya) termasuk Cut Mutia. Diantara Gambiranom Suhardi, Tgk Yoesoef dan lain, Lebih lanjut silahkan rujuk ke buku Hasjmy "Wanita Indonesia sebagai Negarawan dan Panglima Perang" dan Zenntgraaff "Atjeh".
Ketiga; Gambar yang dijadikan referensi bukanlah gambar realita di masyarakat Aceh, tetapi dilakonkan oleh beberapa orang Aceh untuk kepentingan tertentu oleh Belanda. Saya sebut "kepentingan tertentu" supaya lebih mudah dipahami dan tidak dimaknai negatif, boleh jadi itu untuk studi antropologi masyarakat saat itu, bisnis foto, atau dokumentasi yang harus dibuat oleh Belanda untuk laporannya ke Belanda, atau juga untuk kartu pos. Saya menyimpulkan foto yang dijadikan referensi gambar palsu Cut Mutia adalah untuk keperluan kartu pos (Prentbriefkaart/post card) Belanda tahun 1901-1905. Silahkan rujuk ke metadata Media KITLV library dengan kata kunci (keyword) Atjeh.
Dan terakhir; gambar di uang Rp. 1000 yang baru dirilis, buku pelajaran, poster (termasuk di rumah Cut Mutia Aceh Utara) tersebut adalah gambar palsu Cut Mutia, jadi tidak perlu dipersoalkan lagi almarhumah Cut Mutia berjilbab atau tidak. Apalagi timbul protes dan "mengklaim gambar asli Cut Mutia plus kerudung (atau "Ija Sawaker" istilah khas Reza Idria) juga tidak disertai sumber. Atau sebaliknya kelompok "pro-aurat" hingga membawa "pakaian nenek moyangnya" zaman doeloe ke era modern. Itu sama saja seperti dua "si buta" berdebat tentang bentuk gajah, dan kita adalah "si buta" sejarah tersebut. Sekali lagi, uang Rp. 1000 di dompet anda sekarang adalah gambar palsu Cut Mutia, sebagaimana bandingan foto-foto pada bagian tulisan pertama.
Nah, poin utama tulisan kali ini untuk membuktikan dan mempertanggung jawabkan data foto dan alasan di atas. Sebagai catatan, saya bukan pakar fotografi apalagi photoshop atau pakar telematika.
Tiga gambar di atas (1, 2, 3) menunjukkan posisi objek "model" ditempat yang sama dengan latar yang sama juga sesuai dengan lingkaran kuning. Peran yang sama dilakukan anak kecil (lingkaran gambar 2 dan 3).
Demikian juga pada gambar dibawah ini (4, 5 dan 6):
Gambar 4, 5, dan 6 diperankan oleh seorang perempuan (gadis) yang sama (lingkaran coklat) dengan tempat dan latar yang sama (lingkaran kuning) dengan gambar 1, 2 dan 3, hanya menggeser posisi para modeling. Bedanya dengan grup gambar sebelumnya adalah meja dan panyoet yang ditampilkan (lingkaran hijau) berbeda.
Uniknya di gambar 7 (sama dengan gambar 1), 8 dan 9 adalah gambar latar belakang disiasati supaya berbeda, gambar 7 ditutup latar yang bergambar pintu gerbang Eropa seperti gambar 8-9. Padahal gambar pohon dan daun nipah sama semua. Bahkan untuk menampilkan yang lebih berbeda pada foto 9 dengan menambahkan rumput dan bahan-bahan supaya tampak asli.
Merujuk sumber KITLV, maka semua foto diambil sekitar tahun 1900 di tempat yang sama, yaitu dalam ruangan atau studio foto. Dengan demikian telah terjawab alasan pertama. Untuk memperkuat itu adalah foto dalam studio di Banda Aceh, bukanlah Cut Mutia (seperti gambar 1 dan 7) maka tahun 1903 Sultan Muhammad Daudsyah telah berpose bersama dengan Belanda di tempat yang sama (Lihat latar dan alas).
Foto-foto di atas merupakan hasil fotografer bernama Christiaan Benjamin Nieuwenhuis salah seorang anggota dari Band Militer Belanda kemudian bekerja jadi fotografer mandiri di wilayah Hindia Belanda 1883 (clik lihat profilnya). Tujuan utamanya adalah bisnis, menjual foto-foto untuk pemerintah kolonial di Belanda. Salah satunya dengan cara jual postcard, sebagaimana foto-foto dibawah ini, mulai dari foto Jenderal, model-model di wilayah Nusantara hingga aktifitas masyarakat.
Gambar 11 a/d 13 adalah postcard (kartu pos) yang berlaku sekitar tahun 1901-1905. Gambar 12 yang tertulis "Voorname Atjehsche vrouw" atau "perempuan Aceh" yang menjadi landasan foto pahlawan Cut Mutia sebagaimana foto wajah di bawah. Sedangkan gambar nomor 14 dan 15 adalah postcard dari foto di Batavia tahun 1903. Gambar paling terakhir tampak dua wanita di Batavia menggunakan penutup kepala sejenis jilbab. Benarkah jilbab belum dikenal di Nusantara pada abad ke 20, padahal interaksi Islam Nusantara dengan Timur Tengah sudah berabad tahun sebelumnya.
Foto terakhir (no. 15) sengaja ditampilkan supaya tambah seru yang lagi panas pro dan anti "jilbaber". Dan demikian saya telah menjawab argumen bahwa foto tersebut untuk bisnis postcard bukan foto pahlawan, namun mengapa foto ditransfusi ke tokoh pahlawan?. Jawabannya karna pelukis pernah melihat postcard (kartu post) tersebut yang mempengaruhinya untuk melukis wajah pahlawan seperti foto Nieuwenhuis tahun 1900.
Apa hubungannya membuktikan gambar di atas dengan Cut Mutia. Saya awali langsung dengan kesimpulannya.
Dari "Foto Model" ke "Foto Pahlawan"
Saya agak berat mengatakan bahwa mereka "foto model" dalam dagelan foto-foto di atas, tetapi untuk memudahkan pemahaman sebut saja mereka seperti itu sedang memperagakan beragam busana (pakaian) di Aceh, sesuai dengan permintaan (kata halus dibayar) Belanda untuk pengambilan gambar. Tujuannya sudah jelas disebut di atas, yaitu "bisnis atau postcard" di tahun 1900-1901.
Lalu, dimana Cut Mutia asli di tahun itu?
Mari sekilas flashback sejarahnya. Jumhur sejarawan sepakat Cut Mutia lahir sekitar 1870, kemudian ia menikah dengan Teuku Tjut Muhammad dikenal Teuku Chik Tunong dan dianugerahi seorang anak bernama Teuku Ahmad atau Teuku Raja Sabil 1889 (Said, Aboebakar). Nama "Raja Sabil" terinspirasi dari perjuangan sabilillah suami-istri ini melawan Belanda. Walau Teuku Chik Tunong diangkat sebagai Uleebalang Keureutoe Pasee oleh Sultan dan rakyat Aceh, tapi Belanda memilih Teuku Syamsarif sebagai Uleebalang Keureutoe yang royal ke Belanda, yang tak lain adalah abang kandung Teuku Tjut Muhammad. Akibat politik Belanda ini, tidak sedikit para "hulubalang" menjadi dua kubu di seluruh Aceh.
Politik adu domba dan dalih kerjasama di bawah Pemerintah Belanda bukan hanya terjadi di Aceh Utara. Belanda pernah menerapkan ke seluruh wilayah di Aceh termasuk di Aceh Besar dan Pidie. Lihat surat "taslim" (damai) yang dikirim oleh Tuanku Mahmud dan Tuanku Raja Keumala dan Seri Muda Perkasa Teuku Panglima Polem di Aceh Besar ke Habib Abdurrahman Teupin Wan dan guru kami Teungku Mahyiddin dan Teungku di Buket anak Teungku Chik Ditiro atas permintaan Belanda (Klik: Melafaz Sarakata Wali Nanggroe). Belanda benar-benar menerapkan "politek plaih tring: siblah gilhô siblah tarék" (red. politik belah bambu: sebelah diinjak sebelah disanjung) (istilah yang lagi ngetrend sekarang di Aceh).
Jika disimpulkan Cut Mutia berperang mempertaruhkan nyawanya, memerdekakan bangsanya bersama suami dan anaknya di pedalaman Aceh Utara sejak 1890 sampai 1910. Maka di dalam tahun itu (1900-1901) proses gambar "foto model" dilakukan di Banda Aceh. Tentunya ini sangat mustahil Cut Mutia ikon "foto model". Ini tahun-tahun dahsyatnya perang Cut Mutia, suami dan pengkikutnya melawan Belanda, memblok jalur darat, jalur kereta api, peristiwa Meurandeh Paya, hingga suaminya Teuku Tjut Muhammad syahid tahun 1905, dan suaminya ketiga Pang Nanggroe juga syahid (26 September 1910).
Walaupun suami pertama dan kedua syahid, Cut Mutia tidak mau kompromi dan tidak "menjilat" kolonial Belanda. Karena sikapnya, bukan hanya Belanda yang geram, tetapi sebagian kerabat dan uleebalang pro-Belanda juga membencinya karena tidak menerima tawaran upeti dan kerjasama dengan Belanda. Perihal ini yang disebut oleh Syekh Abbas Kutarang di Aceh Besar dalam Tadhkirat ar-Rakidin, Belanda selain menghancurkan khazanah, nisan, struktur pemerintahan, juga ideologi dan sosial masyarakat. (Baca tentang Belanda, Nisan dan Aceh)
Cut Mutia syahid 25 Oktober 1910 bersama pasukannya di hutan belantara Pucok Krueng Peutoe. Bagi orang Aceh, syahid dalam perang kolonial suatu kemuliaan. Namun, tidak ada data valid siapa yang melihatnya terakhir, menguburkannya, apalagi memotretnya (lagi-lagi itu bukan zaman "selfi"). Bahkan, puluhan tahun makamnya terbengkalai tidak terawat dan "hampir" tidak diketahui jejaknya.
Bagi saya itu lebih memilukan dengan membaca buku Talsya (1982) bahwa Cut Mutia digelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional melalui Surat Kepres 107 RI Tahun 1964, tetapi makamnya belum diketahui. Hingga tanggal 27 Juli 1972 melalui Tim Pemkab Aceh Utara dan Camat Matangkuli menelusuri hutan dan menemukan makam Cut Mutia, dan 10 meter sebelah kanan ditemukan makam Teungku Seupôt Mata. (h. 146) Ia (Talsya) melengkapi dengan sumber Petikan dari Surat Camat Matangkuli kepada Ketua Pekan Kebudayaan Aceh II (5 Agustus 1972, No. 831/19). (Lihat laporan PKA II)
Kini, ditambah potret "memalukan dan memilukan" dengan polemik "pro-jilbab" foto sejarah dengan "pro-aurat" yang dua-duanya tidak mau membuka data-data primer dan otentik, hanya cukup dengan dalil "nenek moyang" melegalkan segala opini. Merepro foto Cut Mutia berjilbab -seperti sekarang- ataupun tidak berjilbab sama dengan "merekonstruksi rumah tanpa pondasi". Padahal, masih banyak pahlawan Aceh yang perlu diperjuangkan, termasuk para syuhada bersama Cut Mutia; Teungku Cut Muhammad, Pang Nanggroe, Teungku Syekh Paya Bakoeng atau Teungku Seupôt Mata, Teungku Mat Saleh dan lainnya. "Bek peugah droe hebat, menyo ata indatu mantong hanjeut tarawat"
Mungkin perlu jadi catatan, saat melihat "Aceh dulu" dalam konteks apapun tidak seperti Aceh hari ini kita hidup. Struktur pemerintahan sagi dan negeri, geografis, sosial-ekonomi, agama-sufistik, ilmu-bahasa, reusam-budaya dan kearifan lokal yang cukup beragam. Aceh penuh pesona dan punya warna. Maka, jangan musnah kekayaan khazanah Aceh karena kedangkalan ilmu kita, termasuk saya, sebab Aceh penuh dengan "Haluwa Rasa".
Ada baiknya terlebih dahulu, kita harus mengapresiasi Pemerintah yang telah menghargai pahlawan Aceh -walau dalam uang seribu-. Terlepas dari itu, kita harus maklumi banyaknya pahlawan-pahlawan kemerdekaan Indonesia yang mustahil dimuat semuanya dalam satu edisi, maka terpilihnya Cut Mutia merupakan apresiasi untuk pahlawan Aceh -sekali lagi, walau dalam uang seribu-. Ini akibat "aweuk ka bak jaroe gob".
Namun terkait originalitas gambar, tentu kita -sebagai masyarakat- yang beradab dapat memberi saran dan masukan untuk Pemerintah ke depan untuk tidak lagi menggunakan gambar palsu Cut Mutia tersebut, atas dasar data-data otentik dengan argumentasi yang cukup.
Alasan saya cukup singkat, Pertama; Cut Mutia berjuang di pedalaman hutan Aceh Utara sebelum tahun 1900 hingga syahid tahun 1910. Foto yang dijadikan sumber berasal dari jepretan Nieuwnshuis C.B tahun 1900 di dalam studia wilayah Banda Aceh. Pada tahun tersebut, wilayah-wilayah di luar Banda Aceh dan Aceh Besar masih terjadi perlawanan rakyat Aceh dan kondisi belum kondisif seutuhnya.
Kedua; Gambar palsu Cut Mutia di Rp. 1000 (rilis tahun 2016) adalah hasil seorang pelukis dalam menggapai imajinasinya, ia terpengaruh dengan "postcard" dengan judul "Perempuan Aceh". Kenapa jadi postcard, jawabannya ada di bawah. Kemudian, melalui tangan-tangan pelukis berimajinasi menggambar beberapa tokoh pahlawan Nasional (seperti Teuku Umar, Cut Nyak Dien, dan lainnya) termasuk Cut Mutia. Diantara Gambiranom Suhardi, Tgk Yoesoef dan lain, Lebih lanjut silahkan rujuk ke buku Hasjmy "Wanita Indonesia sebagai Negarawan dan Panglima Perang" dan Zenntgraaff "Atjeh".
Ketiga; Gambar yang dijadikan referensi bukanlah gambar realita di masyarakat Aceh, tetapi dilakonkan oleh beberapa orang Aceh untuk kepentingan tertentu oleh Belanda. Saya sebut "kepentingan tertentu" supaya lebih mudah dipahami dan tidak dimaknai negatif, boleh jadi itu untuk studi antropologi masyarakat saat itu, bisnis foto, atau dokumentasi yang harus dibuat oleh Belanda untuk laporannya ke Belanda, atau juga untuk kartu pos. Saya menyimpulkan foto yang dijadikan referensi gambar palsu Cut Mutia adalah untuk keperluan kartu pos (Prentbriefkaart/post card) Belanda tahun 1901-1905. Silahkan rujuk ke metadata Media KITLV library dengan kata kunci (keyword) Atjeh.
Dan terakhir; gambar di uang Rp. 1000 yang baru dirilis, buku pelajaran, poster (termasuk di rumah Cut Mutia Aceh Utara) tersebut adalah gambar palsu Cut Mutia, jadi tidak perlu dipersoalkan lagi almarhumah Cut Mutia berjilbab atau tidak. Apalagi timbul protes dan "mengklaim gambar asli Cut Mutia plus kerudung (atau "Ija Sawaker" istilah khas Reza Idria) juga tidak disertai sumber. Atau sebaliknya kelompok "pro-aurat" hingga membawa "pakaian nenek moyangnya" zaman doeloe ke era modern. Itu sama saja seperti dua "si buta" berdebat tentang bentuk gajah, dan kita adalah "si buta" sejarah tersebut. Sekali lagi, uang Rp. 1000 di dompet anda sekarang adalah gambar palsu Cut Mutia, sebagaimana bandingan foto-foto pada bagian tulisan pertama.
Nah, poin utama tulisan kali ini untuk membuktikan dan mempertanggung jawabkan data foto dan alasan di atas. Sebagai catatan, saya bukan pakar fotografi apalagi photoshop atau pakar telematika.
Tiga gambar di atas (1, 2, 3) menunjukkan posisi objek "model" ditempat yang sama dengan latar yang sama juga sesuai dengan lingkaran kuning. Peran yang sama dilakukan anak kecil (lingkaran gambar 2 dan 3).
Demikian juga pada gambar dibawah ini (4, 5 dan 6):
Gambar 4, 5, dan 6 diperankan oleh seorang perempuan (gadis) yang sama (lingkaran coklat) dengan tempat dan latar yang sama (lingkaran kuning) dengan gambar 1, 2 dan 3, hanya menggeser posisi para modeling. Bedanya dengan grup gambar sebelumnya adalah meja dan panyoet yang ditampilkan (lingkaran hijau) berbeda.
Uniknya di gambar 7 (sama dengan gambar 1), 8 dan 9 adalah gambar latar belakang disiasati supaya berbeda, gambar 7 ditutup latar yang bergambar pintu gerbang Eropa seperti gambar 8-9. Padahal gambar pohon dan daun nipah sama semua. Bahkan untuk menampilkan yang lebih berbeda pada foto 9 dengan menambahkan rumput dan bahan-bahan supaya tampak asli.
Merujuk sumber KITLV, maka semua foto diambil sekitar tahun 1900 di tempat yang sama, yaitu dalam ruangan atau studio foto. Dengan demikian telah terjawab alasan pertama. Untuk memperkuat itu adalah foto dalam studio di Banda Aceh, bukanlah Cut Mutia (seperti gambar 1 dan 7) maka tahun 1903 Sultan Muhammad Daudsyah telah berpose bersama dengan Belanda di tempat yang sama (Lihat latar dan alas).
Van links naar rechts: majoor K. van der Maaten, Teukoe Moehamat Dawot, pretendent-sultan van Atjeh, assistent-resident W.J.F. Vermeulen en controleur J.H. Morbeck. 1903 (KITLV. Code 6581) |
Foto-foto di atas merupakan hasil fotografer bernama Christiaan Benjamin Nieuwenhuis salah seorang anggota dari Band Militer Belanda kemudian bekerja jadi fotografer mandiri di wilayah Hindia Belanda 1883 (clik lihat profilnya). Tujuan utamanya adalah bisnis, menjual foto-foto untuk pemerintah kolonial di Belanda. Salah satunya dengan cara jual postcard, sebagaimana foto-foto dibawah ini, mulai dari foto Jenderal, model-model di wilayah Nusantara hingga aktifitas masyarakat.
Gambar 11 a/d 13 adalah postcard (kartu pos) yang berlaku sekitar tahun 1901-1905. Gambar 12 yang tertulis "Voorname Atjehsche vrouw" atau "perempuan Aceh" yang menjadi landasan foto pahlawan Cut Mutia sebagaimana foto wajah di bawah. Sedangkan gambar nomor 14 dan 15 adalah postcard dari foto di Batavia tahun 1903. Gambar paling terakhir tampak dua wanita di Batavia menggunakan penutup kepala sejenis jilbab. Benarkah jilbab belum dikenal di Nusantara pada abad ke 20, padahal interaksi Islam Nusantara dengan Timur Tengah sudah berabad tahun sebelumnya.
Foto terakhir (no. 15) sengaja ditampilkan supaya tambah seru yang lagi panas pro dan anti "jilbaber". Dan demikian saya telah menjawab argumen bahwa foto tersebut untuk bisnis postcard bukan foto pahlawan, namun mengapa foto ditransfusi ke tokoh pahlawan?. Jawabannya karna pelukis pernah melihat postcard (kartu post) tersebut yang mempengaruhinya untuk melukis wajah pahlawan seperti foto Nieuwenhuis tahun 1900.
Apa hubungannya membuktikan gambar di atas dengan Cut Mutia. Saya awali langsung dengan kesimpulannya.
Dari "Foto Model" ke "Foto Pahlawan"
Saya agak berat mengatakan bahwa mereka "foto model" dalam dagelan foto-foto di atas, tetapi untuk memudahkan pemahaman sebut saja mereka seperti itu sedang memperagakan beragam busana (pakaian) di Aceh, sesuai dengan permintaan (kata halus dibayar) Belanda untuk pengambilan gambar. Tujuannya sudah jelas disebut di atas, yaitu "bisnis atau postcard" di tahun 1900-1901.
Lalu, dimana Cut Mutia asli di tahun itu?
Mari sekilas flashback sejarahnya. Jumhur sejarawan sepakat Cut Mutia lahir sekitar 1870, kemudian ia menikah dengan Teuku Tjut Muhammad dikenal Teuku Chik Tunong dan dianugerahi seorang anak bernama Teuku Ahmad atau Teuku Raja Sabil 1889 (Said, Aboebakar). Nama "Raja Sabil" terinspirasi dari perjuangan sabilillah suami-istri ini melawan Belanda. Walau Teuku Chik Tunong diangkat sebagai Uleebalang Keureutoe Pasee oleh Sultan dan rakyat Aceh, tapi Belanda memilih Teuku Syamsarif sebagai Uleebalang Keureutoe yang royal ke Belanda, yang tak lain adalah abang kandung Teuku Tjut Muhammad. Akibat politik Belanda ini, tidak sedikit para "hulubalang" menjadi dua kubu di seluruh Aceh.
Politik adu domba dan dalih kerjasama di bawah Pemerintah Belanda bukan hanya terjadi di Aceh Utara. Belanda pernah menerapkan ke seluruh wilayah di Aceh termasuk di Aceh Besar dan Pidie. Lihat surat "taslim" (damai) yang dikirim oleh Tuanku Mahmud dan Tuanku Raja Keumala dan Seri Muda Perkasa Teuku Panglima Polem di Aceh Besar ke Habib Abdurrahman Teupin Wan dan guru kami Teungku Mahyiddin dan Teungku di Buket anak Teungku Chik Ditiro atas permintaan Belanda (Klik: Melafaz Sarakata Wali Nanggroe). Belanda benar-benar menerapkan "politek plaih tring: siblah gilhô siblah tarék" (red. politik belah bambu: sebelah diinjak sebelah disanjung) (istilah yang lagi ngetrend sekarang di Aceh).
Jika disimpulkan Cut Mutia berperang mempertaruhkan nyawanya, memerdekakan bangsanya bersama suami dan anaknya di pedalaman Aceh Utara sejak 1890 sampai 1910. Maka di dalam tahun itu (1900-1901) proses gambar "foto model" dilakukan di Banda Aceh. Tentunya ini sangat mustahil Cut Mutia ikon "foto model". Ini tahun-tahun dahsyatnya perang Cut Mutia, suami dan pengkikutnya melawan Belanda, memblok jalur darat, jalur kereta api, peristiwa Meurandeh Paya, hingga suaminya Teuku Tjut Muhammad syahid tahun 1905, dan suaminya ketiga Pang Nanggroe juga syahid (26 September 1910).
Walaupun suami pertama dan kedua syahid, Cut Mutia tidak mau kompromi dan tidak "menjilat" kolonial Belanda. Karena sikapnya, bukan hanya Belanda yang geram, tetapi sebagian kerabat dan uleebalang pro-Belanda juga membencinya karena tidak menerima tawaran upeti dan kerjasama dengan Belanda. Perihal ini yang disebut oleh Syekh Abbas Kutarang di Aceh Besar dalam Tadhkirat ar-Rakidin, Belanda selain menghancurkan khazanah, nisan, struktur pemerintahan, juga ideologi dan sosial masyarakat. (Baca tentang Belanda, Nisan dan Aceh)
Versi lainnya Cut Mutia dalam "Perang Kolonial Belanda di Aceh" (1977) Pelukis Gambiranom. (Zenntgraaff) |
Cut Mutia syahid 25 Oktober 1910 bersama pasukannya di hutan belantara Pucok Krueng Peutoe. Bagi orang Aceh, syahid dalam perang kolonial suatu kemuliaan. Namun, tidak ada data valid siapa yang melihatnya terakhir, menguburkannya, apalagi memotretnya (lagi-lagi itu bukan zaman "selfi"). Bahkan, puluhan tahun makamnya terbengkalai tidak terawat dan "hampir" tidak diketahui jejaknya.
Bagi saya itu lebih memilukan dengan membaca buku Talsya (1982) bahwa Cut Mutia digelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional melalui Surat Kepres 107 RI Tahun 1964, tetapi makamnya belum diketahui. Hingga tanggal 27 Juli 1972 melalui Tim Pemkab Aceh Utara dan Camat Matangkuli menelusuri hutan dan menemukan makam Cut Mutia, dan 10 meter sebelah kanan ditemukan makam Teungku Seupôt Mata. (h. 146) Ia (Talsya) melengkapi dengan sumber Petikan dari Surat Camat Matangkuli kepada Ketua Pekan Kebudayaan Aceh II (5 Agustus 1972, No. 831/19). (Lihat laporan PKA II)
Kini, ditambah potret "memalukan dan memilukan" dengan polemik "pro-jilbab" foto sejarah dengan "pro-aurat" yang dua-duanya tidak mau membuka data-data primer dan otentik, hanya cukup dengan dalil "nenek moyang" melegalkan segala opini. Merepro foto Cut Mutia berjilbab -seperti sekarang- ataupun tidak berjilbab sama dengan "merekonstruksi rumah tanpa pondasi". Padahal, masih banyak pahlawan Aceh yang perlu diperjuangkan, termasuk para syuhada bersama Cut Mutia; Teungku Cut Muhammad, Pang Nanggroe, Teungku Syekh Paya Bakoeng atau Teungku Seupôt Mata, Teungku Mat Saleh dan lainnya. "Bek peugah droe hebat, menyo ata indatu mantong hanjeut tarawat"
Mungkin perlu jadi catatan, saat melihat "Aceh dulu" dalam konteks apapun tidak seperti Aceh hari ini kita hidup. Struktur pemerintahan sagi dan negeri, geografis, sosial-ekonomi, agama-sufistik, ilmu-bahasa, reusam-budaya dan kearifan lokal yang cukup beragam. Aceh penuh pesona dan punya warna. Maka, jangan musnah kekayaan khazanah Aceh karena kedangkalan ilmu kita, termasuk saya, sebab Aceh penuh dengan "Haluwa Rasa".
Demikianlah Artikel Repro Foto Cut Mutia: Sebuah Kekeliruan Sejarah (2), Semoga dengan adanya artikel singkat seperti Informasi postingan Repro Foto Cut Mutia: Sebuah Kekeliruan Sejarah (2) ini, Anda benar benar sudah menemukan artikel yang sedang anda butuhkan Sekarang. Jangan lupa untuk menyebarluaskan informasi Repro Foto Cut Mutia: Sebuah Kekeliruan Sejarah (2) ini untuk orang orang terdekat anda, Bagikan infonya melalui fasilitas layanan Share Facebook maupun Twitter yang tersedia di situs ini.