Tampilkan postingan dengan label Manuscript. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Manuscript. Tampilkan semua postingan

Manuskrip Incaran Ust. Abdus Somad (Final)

Selain manuskrip (naskah klasik) karya Nuruddin Ar-Raniry berjudul Shirat al-Mustaqim berkaitan dengan fiqih ibadah, seperti membahas persoalan thaharah (bersuci), shalat, puasa, zakat dan haji, dan segala persoalan yang terjadi di setiap bagian.

Karya lainnya -telah dikupas sebelumnya- adalah karya Abdurrauf al-Jawi al-Fansuri berjudul Tarjuman al-Mustafid sebagai kitab tafsir berbahasa Melayu (Indonesia) pertama di Dunia. Karya dan sumber penafsirannya  merujuk kepada beberapa kitab ulama tafsir mu'tabarah, seperti Tafsir al-Bawdhawi.

Adalah manuskrip tentang Hadist yang juga disinggung oleh Ust. Abdus Somad. Hal tersebut begitu penting sebagaimana disebut dalam ceramahnya di Banda Aceh. Kitab Hadist Arba'in (Hadist Empat Puluh) sebuah naskah yang dicari-cari oleh beliau. Hadist Arba'in adalah kitab hadist yang memuat  40 pilihan Hadist Nabi Muhammad, berkaitan dalam beragam hal dan persoalan. Temanya juga beragam.

Banyak riwayat menyebutkan keutamaan menghafal dan mempelajari kitab Hadist Arba'in. Dalam catatan para ulama, beberapa Hadist Nabi mengisyaratkan akan keutamaan Hadist Arba'in, walaupun riwayat-riwayat tersebut dikategorikan Hadist Dhaif, dan ada juga yang Hasan.  Imam al-Nawawi dalam mukaddimah kitabnya al-Arba'in al-Nawawi menyebutkan bahwa setiap orang yang menghapal 40 Hadist dari perkara agamanya, maka dia akan dikelompokkan ke golongan para fuqaha (ahli fiqih) dan para ulama.

Baca juga; Manuskrip Incaran Ust Abdus Somad (1)

Ternyata, hasil penelusuran saya tentang Hadist Arba'in di Aceh-Nusantara cukup beragam. Beberapa teks tersebut menunjukkan perbedaan konten Hadist, isi bahasan dan pendahuluannya. Variasi kandungan tersebut menunjukkan keluasan pengetahuan dan keberagaman pemahaman dalam penyampaian ilmu Hadist oleh ulama-ulama dan Ahli Hadist terdahulu.

Varian konten tersebut dapat diasumsikan sebagai sumber rujukan hadist dari ulama yang berbeda, dan juga diakibatkan kondisi dan situasi saat penulisan ataupun penyalinan teks. Tentu ada beberapa faktor lainnya yang melatar belakangi lahirnya teks yang berbeda tersebut.

Akan tetapi, Hadist Arba'in di Aceh -dan kemungkinan di Nusantara- paling banyak merujuk pada versi berikut ini.

Salah satu Hadist Arba'in yang menjadi kajian ulama Aceh dan Nusantara adalah manuskrip Hadist Arba'in koleksi Museum Aceh nomor 07.0578, yang ditulis atau disalin dalam bentuk terjemahan berbaris. Matan teks dalam bahasa Arab dan terjemahan miring dalam aksara Jawi berbahasa Melayu/Indonesia.
Gb. 01 Halaman awal teks Hadist Arba'in. Ms. 07.578 Koleksi Museum Aceh
Teks naskah Ms. 07.0578 dimulai bahasan Hadist pertama dengan "Ash-Shalat 'imād ad-dīn..." dengan terjemahan dibawahnya "Sembahyang itu tiang agama..." Sebagaimana Gb. 02 di bawah ini

Gb. 02 Halaman dua teks Hadist Arba'in. Ms. 07.578 Koleksi Museum Aceh.

Baca juga: Manuskrip Incaran Ust. Abdus Somad (2)

Hadist yang sama juga terdapat pada naskah lainnya koleksi masyarakat di Aceh Besar. Namun sayang, naskah ini telah dijual ke luar Aceh. Saya sempat mengabadikan beberapa halaman pada tahun 2016.

 Gb. 03. Halaman awal teks Hadist Arba'in. Ms Koleksi Pribadi Masyarakat.
Hadist Arba'in  ini juga koleksi Museum Aceh di Banda Aceh, nomor aktuil 07.1197. Sebagaimana teks di atas tentang sistem penulisan matan dan terjemahannya, maka pada teks ini juga ditemukan yang sama. Matan teks ditulis di baris atas dengan font lebih besar, sedangkan terjemahan ditulis di bawah teks mata dengan posisi miring.

Naskah lainnya di koleksi yang sama dengan nomor 07.1223 juga memiliki teks yang sama dengan versi  di atas. Walaupun teks ini disalin dengan kurang baik tetapi juga memiliki terjemahan berbaris.

Gb. 04. Halaman dua teks Hadist Arba'in. Ms. 07.1223 Koleksi Museum Aceh.

Masih banyak manuskrip Hadist Arba'in khususnya yang belum dikupas, di koleksi Museum Aceh saja tak kuran dari 10 naskah Hadist Arba'in. Hal tersebut tentu belum ditelusuri di koleksi masyarakat dan lembaga perseorangan, misalnya Yayasan Ali Hasjmy dan Zawiyah Tanoh Abee.

Sebalik itu, ilmu Hadist dan kajian Hadist masih kurang populer di Aceh bila dibandingkan dengan kajian ilmu fiqih dan tasawuf. Hal tersebut jelas terlihat dari jumlah kuantitas khazanah yang tersebar saat ini. Namun, hal tersebut bukan berarti kajian Hadist terabaikan, akan tetapi kadangkala terintegrasi dalam kajian-kajian lainnya. Sebab jika melihat tradisi terjemahan berbaris pada naskah-naskah di atas, maka tradisi penulisan (pengajaran) dan transmisi keilmuan Hadist pernah berkembang di Aceh. Wallahu a'lam.

Manuskrip Incaran Ust. Abdus Somad (2)

Manuskrip ataupun kitab kedua yang menjadi pembahasan Ust. Abdus Somad saat "Zikir International" di Banda Aceh adalah Shirat al-Mustaqim. Kitab fiqih 'ubudiyah pertama dalam bahasa Jawi adalah karya Shaykh Nuruddin bin Ali Hasanji Ar-Raniry. Sesuai dengan nisbahnya, ia berasal dari Ranir, India. Pada tahun 1637, ia tiba dan berkiprah di Kesultanan Aceh Darussalam.
Halaman Pertama Kitab Shirat al-Mustaqim karya Nuruddin Ar-Raniry (Koleksi Museum Aceh)
Beberapa penelitian menyebutkan kitab Shirat al-Mustaqim telah ditulis pada saat Nuruddin Ar-Raniry tiba di Aceh era Sultan Iskandar Tsani, namun baru diselesaikan pada Sultanah Safiyatuddin Syah Tajul Alam (1641-1675) sebelum Nuruddin Ar-Raniry kembali ke India.

Dalam salah satu teks Shirat al-Mustaqim menyebutkan  selesainya penulisan pada hari Selasa 19 Safar  1054 H bertepatan dengan 9 November 1644.

Judul Naskah "Shirat al-Mustaqim" merupakan bagian dari iftitah al-Quran. 
Itu artinya, tahun tersebut merupakan tahun terakhir Nuruddin Ar-Raniry di Aceh, karena di tahun yang sama, ia kembali ke India dan tak pernah kembali lagi ke Aceh, tanah yang menempatkannya di posisi srategis dan telah melahirkan banyak karya disini.

Memang, ulama asal India ini masih kontroversi. Namun demikian, karya-karyanya sangat bermanfaat dan masih menjadi referensi hingga hari ini. Termasuk Shirat al-Mustaqim yang menjadi salah satu rujukan bagi ulama-ulama di Nusantara. Bahkan kitab ini menjadi pedoman untuk kerajaan-kerajaan Islam di luar Nusantara (sekarang: Indonesia), seperti di Malaysia, Thailand Selatan, Filipina, Brunai Darussalam dan lainnya.

Dalam ceramah Ust. Abdus Somad, ia menyampaikan bahwa Kitab Shirat al-Mustaqim menjadi rujukan utama atas lahirnya kitab Sabil al-Muhtadin lit-Tafaqquh fi Amri ad-Din (Sabilal Muhtadin) yang menjadi bacaan wajib di dayah-dayah di Aceh. Kitab tersebut karya Shaykh Muhammad Arsyad al-Banjari seabad setelah meninggal Nuruddin Ar-Raniry di India.

Baca juga: Manuskrip Incaran Ust. Abdus Somad (1)

Shirat al-Mustaqim salah satu bagian sumber rujukan ataupun pedoman yang digunakan oleh Shaykh Arsyad al-Banjari dalam kitabnya. Di pembukaan kitabnya disebutkan:
Kitab Sabilal Muhtadin merujuk pada Kitab Shirat al-Mustaqim (Koleksi Museum Aceh)

"Adapun kemudian daripada itu, maka berkata seorang faqir yang sangat berkehendak kepada Tuhannya yang Maha Besar yang mengaku ia dengan dosa dan taqsir yaitu, Muhammad Arsyad anak Abdullah dalam daerah negeri Banjar. Mudah-mudahan kiranya mengampuni baginya dan bagi sekalian Islam Tuhannya yang menjadikan sekalian Alam. Bahwasanya kitab seorang alim yang lebih yaitu Shayk Nuruddin Ar-Raniry nama negerinya, yang dinamai ia Shirat al-Mustaqim pada ilmu fiqih atas madhab Imam Syafi'i radhiya Allah Ta'ala 'anhu, daripada sebaik-baik kitan yang dibahasakan dengan bahasa Jawi, karena bahwasanya segala masalahnya diambil ia dari beberapa kitab fiqih yang berbilang istimewa pula." (Sabil al-Muhtadin lit-Tafaqquh fi Amri ad-Din)

Kitab fiqih Shirat al-Mustaqim karya Nuruddin Ar-Raniry menjadi inspirasi untuk Shaykh Muhammad Arsyad al-Banjari dalam mengarang kitab Sabil al-Muhtadin yang juga menelaah tentang fiqih. Selain kekagumannya terhadap manfaat dari kitab Shirat al-Mustaqim pada periode Nuruddin ar-Raniry dan satu abad berikutnya di periode Muhammad Arsyad al-Banjari (1710-1812).
Judul Kitab Sabilal Muhtadin Lit-Tafaqquh fi Amr ad-Din karya Muhammad Arsyad al-Banjari


Selain itu, Muhammad Arsyad al-Banjari juga menyebutkan beberapa alasan lainnya terhadap  penulisan kitabnya. Dalam pandangan Shaykh Muhammad Arsyad al-Banjari bahwa tidak ada lagi naskah (kitab) orisinil karya tangan Nuruddin Ar-Raniry, sehingga mengakibatkan terjadi beberapa perbedaan pada kitab-kitab salinan.

Alasan lainnya, Kitab Shirat al-Mustaqim karya Nuruddin Ar-Raniry telah disisipi beberapa kosakata bahasa Aceh, sehingga tidak dapat dipahami oleh pelajar non-Aceh. Istilah-istilah tersebut semakin banyak ditemukan pada naskah-naskah salinan yang tersebar.
Salah satu halaman salinan naskah  "Shirat al-Mustaqim" yang dipenuhi catatan-catatan (hasyiah) (Koleksi Museum Aceh)

Parateks (salah satu bagian dari ilmu Filologi)  jadi catatan menarik dan penting bagi para peneliti naskah, sebab goresan tambahan tersebut sangat penting untuk memahami konteks dan situasi saat itu. Sering kali, teks yang sama judul dan pengarang belum tentu sama kualitas naskah diakibatkan beda penyalin. Kadang, satu naskah memiliki catatan-catatan pinggiran, sedangkan yang lain tidak sama sekali. Disinilah keunikan mengkaji naskah atau manuskrip. 

Jika ditinjau kandungannya, kitab ini membahas pokok-pokok ibadah yang terdapat dalam Rukun Islam, mulai shalat dan bahasan terkait lainnya (wudhu', tayammum, dan lainnya), juga mengkaji tentang puasa, zakat. dan haji. Walaupun pembahasannya dasar-dasar peribadatan dan keagamaan, namun ia merujuk kepada kitab-kitab muktabar dari para ulama-ulama besar di Jazirah Arab.  

Kitab Sirat al-Mustaqim merujuk kepada kitab-kitab berikut ini:
1. Kitab Minhaj al-Thalibin karya Imam Nawawi. Ulama tersohor ini bernama lahir di kampung Nawa, Syiri 631 H /1233 M dan meninggal  di wilayah yang sama tahun 676 H / 1277.

2. Kitab Manhaj al-Thullab karya Abi Zakariyya Anshari. Kitab penting dalam meninterpretasi (syarah) kitab tersebut di atas, Minhaj al-Talibin. Ulama ini bernama lengkap Zakariya ibn Muhammad ibn Abn ibn Zakariyya, lahir di Sanika- Mesir tahun 823 H/ 1420 M.

3. Kitab Fath al-Wahhab adalah kitab komentar terhadap Manhaj al-Thullab merupakan pengarang yang sama, Imam Abi Zakariyya Yahya Ansari.

4. Kitab Hidayat al-Muhtaj Sharh ila Mukhtasar Ibn Hajj karya Imam Shihab ad-Din Ahmad Shaykh Ibn Hajar Makki (909-974 H/ 1504-1567). Dia adalah salah seorang alim yang bermazhab Syafi'i di Mesir, dan kemudian wafat di Mekkah.

5. Kitab al-Anwar li-'Amal al-Abrar karya Imam Ardabili, Yusuf Ibrahim, Jamaluddin Ardabili dari Azerbaijan, meninggal 799 H/ 1397

6. Kitab 'Umdat as-Salik wa 'Uddat an-Nasik karya Imam Ahmad ibn an-Naqib al-Misri (meninggal 769 H/ 1368). Lahir di Kairo Mesir 702 H.

Kitab Sirat al-Mustaqim dapat disebut salah satu kitab terkenal dan menyebar secara luas di Asia Tenggara, terutama daerah-daerah yang memiliki kerajaan Islam. Hal tersebut tidak terlepas dari kebijakan Kesultanan Aceh (red. Pemerintah) dalam menyebarluaskan karyanya tersebut.

Dukungan Kerajaan Aceh, khususnya peran dari Sultanah Safiyatuddin Syah Tajul Alam yang memberikan dukungan penuh untuk penyelesaian kitab fiqih berbahasa Melayu perdanan di Melayu Nusantara telah menempatkan posisi Aceh di puncak keselarasan. Peran pemerintah dalam legalitas pemerintahan yang baik, memberikan dukungan dan fasilitas lainnya kepada ulama untuk melahirkan satu karya yang fenomenal.

Saat ini, kitab Shirat al-Mustaqim dapat dijumpai di banyak tempat koleksi manuskrip di Aceh, baik pribadi ataupun lembaga. Koleksi Museum Aceh dapat ditelusuri nomor Inv. 07.0219, No. 07.1199, No. 07.670, No. 07.878, No. 07.532, No. 07.953, No. 07.793 dan No. 929. Sedangkan di Ali Hasjmy No. 134/FK/6/YPAH/2005, 211/FK/5/YPAH/2005 dan 160/FK/4/YPAH/2005.

Sedangkan Kitab Sabilal Muhtadin juga dapat dijumpai di Museum Aceh berjumlah 4 manuskrip dengan Nomor Inv. 07.001, No. 07.463, No. 07.464 dan 07.905.

Selain kedua lembaga di atas, Zawiyah Tanoh Abee Aceh Besar juga banyak mengoleksi kedua kitab tersebut. Tentunya juga dikoleksi pribadi di masyarakat Aceh. Namun sayang, tidak ada data inventarisasi naskah-naskah di koleksi pribadi seluruhnya Aceh, termasuk di Pemerintah Aceh.




Referensi dari berbagai sumber jurnal, media cetak dan online serta manuskrip



Manuskrip Incaran Ust. Abdus Somad (1)

Selasa, 26 Desember 2017 merupakan hari bersejarah bagi Aceh dan bagi Ust. Abdus Somad. Pada hari tersebut tokoh fenomenal alumni Mesir dan Maroko tersebut hadir ke Aceh untuk menyampaikan tausiyah pada acara “Zikir Internasional” dalam rangka memperingati 13 tahun gempa-tsunami Aceh 2004. Acara tersebut dihadiri puluhan ribu jamaah.

Selain itu, momen yang tidak terlupakan juga bagi Ust. Abdus Somad, adalah sehari sebelumnya ia dideportasi oleh otoritas imigrasi Hongkong. Karena itulah, hikmah dan obat hati dari kejadian tersebutlah membawanya ke negeri Serambi Mekkah  di ujung Pulau Sumatera, wilayah yang menjadi salah satu sumber ilmu dan inspirasi baginya.

Ust. Abdus Somad menyampaikan tausiyah lebih dari satu jam, bahasannya berbagai topik, antaranya persoalan ummat di zaman sekarang, Syariat Islam, ukhuwah Islamiyyah, antisipasi LGBT, etika bermazhab, hingga khazanah keilmuan ulama-ulama di Aceh.

Khazanah keilmuan yang ia sebutkan terkait ulama Aceh yang produktif mengarang atau menulis kitab. Peran para ulama Aceh telah mencerdaskan masyarakat tidak hanya di Aceh, tapi juga Melayu-Nusantara hingga sekarang. Para ulama-ulama ini telah berhasil membangunkan khazanah keilmuan dengan karyanya yang menjadi rujukan berabad-abad.

Memang, kekaguman Ust. Abdus Somad terhadap karya ulama Aceh tersebut sering disampaikan dalam beberapa ceramahnya dalam konten bahasan tentang Aceh. Bahkan ia pun penasaran dengan beberapa manuskrip yang belum dijumpainya dan dilihat isinya. Namun demikian, pengetahuan tentang ulama-ulama Aceh dan karya-karyanya, dalam pandangan saya, cukup mumpuni dan sangat baik. Sebab, jarang tokoh dan alim terkenal di Indonesia yang menyampaikan rujukan-rujukan kitab ulama sendiri.

Dan, syukurlah manuskrip-manuskrip yang disebutkan masih tersimpan di beberapa koleksi pribadi dan lembaga di Aceh, salah satunya di koleksi Museum Negeri Aceh Banda Aceh.

Antara tokoh dan kitab yang disebutkan oleh Ust. Abdus Somad adalah: Pertama, Syaikh Abdurrauf al-Jawi al-Fansuri yang mengarang kitab tafsir pertama dalam Bahasa Jawi/Melayu, Tarjuman al-Mustafid.

Biografi Singkat ‘Abdurrauf al-Fansuri 
Nama lengkap pengarang kitab Tarjuman al-Mustafid adalah ‘Abdurrauf bin ‘Ali al-Jawi al-Fansuri, sebagaimana sering ia sebutkan dalam kitab-kitabnya, tanpa as-Singkili.  Tidak ada sumber yang secara jelas menyebutkan tanggal kelahirannya, namun menurut DA. Rinkes5 sebagaimana yang dikutip oleh Azyumardi Azra, ‘Abdurrauf dilahirkan sekitar tahun 1024 H/1615 M. Ia meninggal dunia pada tahun 1105 H/1693 M, dengan usia 78 tahun dan dimakamkan di gampong Kuala Aceh, Lamdingin, di Banda Aceh.

‘Abdurrauf menuntut ilmu di Jazirah Arab selama 19 tahun, ia kembali ke Aceh sekitar tahun 1661 M. Ia aktif mengembangkan ajaran tarekat tasawuf Syattariyah dan menulis atau mengarang kitab multidisiplin ilmu. Hingga saat ini telah teridentifikasi karya mencapai 40 judul kitab. Termasuk kitab Tafsir yang dikarangnya pada masa Sultanah Safiyatuddin Syah (berkuasa 1644-23 Oktober 1675 M).


Kitab Tafsir Melayu Pertama 
Tafsir Tarjuman Al-Mustafid merupakan tafsir pertama berbahasa Melayu yang ditulis lengkap tiga puluh juz. Bahasa Melayu dan aksara Jawi sangat identik dengan Islam karena memang hubungan Melayu dengan Islam sudah terjadi sejak eksis kerajaan Pasee di Aceh menyebar ke wilayah Melayu Nusantara. Kerajaan Samudera Pasee adalah kerajaan pertama yang melegalkan dan mengasas aksara Jawi yang didasari pada tulisan Arab.

Selama lebih daripada tiga abad ia dikenali sebagai terjemahan Tafsir al-Baydhawi. Kitab ini tersebar di pelosok negeri Melayu-Nusantara (Indonesia) sebagai Terjemahan Tafsir al-Baydhawi. Beberapa cetakan yang ada turut menggunakan judul tersebut "at-Tarjamah al-Jawiyyah Lit-Tafsir al-Musamma Anwar al-Tanzil wa Asrar at-Ta'wil lil-Imam al-Qadi al-Baydhawi" atau dikenal dengan istilah "Tafsir al-Baydhawi" dalam bahasa Melayu.
Kitab Cetakan "Tarjuman al-Mustafid" yang menyebutkan terjemahan dari Tafsir "al-Baydhawi"
Cetakan Mustafa al-Bab al-Halabi, Mesir 1370 H/1951 M.

Namun demikian, beberapa peneliti menyebutkan bahwa Kitab Tarjuman al-Mustafid melebihi atau terdapat unsur dan teknik yang berbeda dalam Tafsir Baidhawi, sehingga tidak dapat disebut ia kutipan lansung seluruhnya dari al-Baydhawi.

Kitab Tarjuman al-Mustafid tidak hanya dikenal di tanah Melayu Nusantara, akan tetapi juga dikenal hingga ke Turki, Mesir, Mekah, dan beberapa negara lainnya. Persebaran “santri” yang menuntut ilmu di berbagai wilayah menjadikan kitab tersebut sebagai salah satu rujukannya. Bahkan, ia terus menjadi rujukan hingga ke hari ini, khususnya bagi peneliti dan para al-mufassirin. Dengan demikian, kitab ini menjadi tafsir al-Quran yang lengkap digunakan hampir tiga abad sebelum lahirnya kitab-kitab tafsir yang lain.

Beberapa catatan peneliti menyebutkan bahwa cetakan pertama Kitab Tarjuman al-Mustafid saat Syeikh Muhammad Zain al-Fatani membawa manuskrip Tarjuman al-Mustafid ke Turki dan ditunjukkan kepada sultan Turki. Sang Sultan tertarik dengan karya besar dan penting tersebut, hingga akhirnya dicetak di Istanbul. Ini merupakan cetakan pertama oleh Matba’ah al-Utmaniyyah pada tahun 1302H/1884M dan 1324H/1906M.

Kemudian Kitab Tarjuman al-Mustafid  dicetak di Qahirah oleh Matba’ah Sulayman al-Maraghi, Maktabah al-Amiriyyah di Mekah, Bombay (India), Singapura, Jakarta dan Pulau Pinang. Edisi terakhir ialah cetakan Jakarta pada tahun 1981.

Saat ini, beberapa manuskrip atau tulisan tangan kitab Tarjuman al-Mustafid masih dapat dijumpai dibeberapa koleksi di Aceh, terutama di Museum Aceh dengan nomor inventarisir 07.0269, 07.351, 07.420, dan 07.441.  Selain itu, koleksi Museum Ali Hasjmy Banda Aceh dengan nomor 1/TF/5/YPAH/2005.


Bersambung: Manuskrip Incaran Ust. Abdus Somad (2)


Dikutip dari berbagai sumber.

Espanto del Mundo: Kapal Mahkota Alam Kesultanan Aceh

Sultan Iskandar Muda yang berkuasa pada 1607-1636, adalah sultan termashyur dan termegah selama Kesultanan Aceh berdaulat (1496 – 1903).

Namanya terukir hingga ke Eropa, melampaui zamannya.

Di wilayah Asia dan Timur Tengah, periode Sultan Iskandar Muda dikenal sebagai penguasa Selat Malaka dan laut sekitarnya.

Ia melanjutkan agresor ayah dan kakeknya dalam mempertahankan eksistensi Kesultanan Islam di Melayu-Nusantara dari tangan-tangan penjajah Eropa.

Pada saat itu, Portugis adalah salah satu musuh besar bagi Kerajaan Aceh.

Sejak 5 April 1607, Iskandar Muda resmi memangku posisi sebagai Sultan menggantikan saudaranya Sultan Ali yang meninggal sehari sebelumnya.

Keterlibatannya dalam Kesultanan Aceh bukan pertama kali.

Pada tahun 1606 ia sudah terlibat langsung dalam perang menyerang Portugis di Selat Malaka, karenanya kemudian ia terkenal Perkasa Alam dengan kapal laut terkenalnya.

Pengalamannya di laut Aceh dan semenanjung Melayu telah menjadi pelajaran penting dalam menangkal berbagai serangan asing, yang terjadi selama beliau menjabat sebagai Sultan Kerajaan Aceh.

Terutama penempatan pasukan militer laut, kapal-kapal perang, strategi perang, dan jaringan hubungan internasional.

Kapal laut satu-satunya alat media perang paling canggih yang dilengkapi beragam meriam, sebab pada saat itu belum tersedia tank ataupun pesawat tempur.


Hikayat Malem Dagang

Hikayat Malem Dagang, sebagian berpendapat sama dengan Hikayat Meukuta Alam, adalah sebuah hikayat yang berisi catatan perjalanan Sultan Iskandar Muda, merebut kembali Malaka dari Portugis.

Hikayat Malem Dagang ini ditulis oleh Tgk Chik Pante Geulima, untuk membangkitkan semangat orang Aceh dalam berperang melawan Belanda.

Dalam hikayat ini, Tgk Chik Pante Geulima menulis tentang beberapa kapal perang yang dimiliki Kerajaan Aceh di bawah pimpinan Sultan Iskandar Muda.

Sebagaimana tradisi hikayat-hikayat Aceh lainnya, bahwa hikayat merupakan salah satu tradisi lisan atau tradisi tutur yang hidup dan kental di masyarakat. Para "penghikayat" yang cukup handal dan mampu menghapal alur cerita akan tampil dengan baik dalam berhikayat, baik alur cerita, irama, hingga intonasi dalam hikayat.

Kapal-kapal ini digunakan untuk tujuan pelayaran, perdagangan, perang, diplomasi, dan keperluan investasi.

Dari beberapa kapal laut yang dimiliki Kerajaan Aceh, yang paling sering digunakan oleh Sultan Iskandar Muda adalah kapal bernama Cakra Donya.

Kapal Cakra Donya ini memiliki catatan khusus dalam memori para prajurit angkatan laut Portugis.

Espando del Munto 

Sejarawan Spanyol, Manuel Faria Y Sousa (1590 – 1649) dalam bukunya “Asia Portuguesa” yang diterbitkan di Lisboa (1666-1675) menulis, setiap kali melihat kapal ini, para prajurit angkatan laut Portugis berteriak “Espanto del Mundo” (teror dunia).

Manuel Faria Y Sousa juga mendeskripsikan kehebatan kapal perang milik Kerajaan Aceh ini.

Menurutnya, kapal ini memiliki panjang hingga 200 jengkal (kira-kira 100 meter), mempunyai tiga tiang, dan dilengkapi 100 meriam di sisi kanan dan kiri.

Faria Y Sousa pun menggambarkan rasa takjubnya, “tidak sia-sialah kapal itu diberi nama ‘teror dunia’. Betapa hebatnya, betapa kuatnya, betapa indahnya, betapa kayanya. Meskipun mata lelah karena sering terheran melihat benda-benda indah, kami semua terbelalak melihat yang ini (Kapal Cakra Donya-pen)”.

Catatan Manuel Faria Y Sousa tentang Kapal Cakra Donya ini ditulis kembali oleh Sejarawan Prancis, Denys Lombard dalam buku berjudul “Kerajaan Aceh” yang diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia tahun 1986.

Kembali ke Hikayat Malem Dagang, kapal Cakra Donya ini membawa tiga lonceng besar hadiah dari Dinasti Ming (sekitar 1469) kepada Kerajaan Pasai pada tahun keempat zaman Cheng Hua.

Salah satu dari tiga lonceng ini, kini dipajang di Komplek Museum Aceh, di Banda Aceh.

Memang, hubungan Pasai dengan beberapa kerajaan di luar “negeri bawah angin” cukup baik, termasuk Eropa, Turki, dan Arab.

Selain kapal Cakra Donya dengan kapasitas 800 orang dan dilengkapi beragam ukuran meriam, terdapat beberapa kapal lainnya yang digunakan untuk mengawal kapal induk, seperti Cakra Alam, Rijalul ‘Asyiqin, Nurul ‘Isyqi, Cari Lawan, dan Naga Kentara. (Profil kapal-kapal ini akan ditulis terpisah)

Kapal-kapal tersebut masih digunakan setelah Sultan Iskandar Muda mangkat tanggal 27 Desember 1636 di Kutaraja (sekarang Banda Aceh), terutama untuk menjaga kedaulatan Kerajaan Aceh dan Islam Melayu.

Hikayat Meukuta Alam tidak mendeskripsikan detail bentuk kapal, namun kehebatannya dalam menangani Portugis cukup menunjukkan besar dan hebatnya kapal tersebut.


Tulisan ini telah dipublish di Serambi Indonesia

Sepucuk Surat Tgk Chik di Tiro

Sepucuk surat masih tersimpan rapi di laci meja kerja Belanda di Kutaradja (Banda Aceh). Surat tersebut dari Faqir Haji Syekh Saman di Tiro, begitulah nama di dalam Surat itu ditujukan kepada Residen Belanda van Langen, 1885. Surat-surat ini bukan kali pertama dikirim ke Belanda. Sebagai seorang terpelajar dan alim yang belajar di Haramain (terutama di Mekkah) sangat mengerti akan akibat perang yang telah terjadi, dan ia tidak ingin menambah keterpurukan tersebut.

Isi surat Tgk Chik di Tiro hanya dua poin utama, selain memintaf maaf kepada dunia telah menyerang Kesultanan Aceh sebagai negara yang berdaulat dan bangsa yang merdeka, yang masih terikat kerjasama -selain dengan kerajaan Islam di Melayu-Nusantara- dengan beberapa bangsa lainnya saat itu; Inggris, Amerika, Perancis dan Turki.

Antara tahun 1884-1889 Tgk Chik di Tiro bahkan berulang kali mengirim surat kepada pemerintahan di Kutaradja. Inti suratnya hampir sama, yaitu menyeru untuk masuk Islam;
Jika tuan-tuan dengar dan turut [masuk Islam] seperti nasihat kami ini dapat untung baik, dapat kemegahan, jadi tuan akan menjadi kepala kami dan dapat harta, seperti mereka yang telah lari ke pihak kami telah memperoleh harta dan hidup dengan senang dan berjalan tanpa mengikuti perintah orang lain, tenang tidur dan makan tanpa menghindari mereka atau menyalahkan mereka
Bebas sebagai burung di hutan dan ikan dalam air, dan mendapat sejumlah wanita yang baik-baik dan tidak bergaul dengan orang lain, semua menurut hukum-hukum Islam.

Permintaan sekaligus "kata dua" (dalam bahasa Aceh atau Melayu lama diartikan sebagai ultimatum) adalah; pertama Belanda yang ada di Aceh diharapkan masuk Islam. Dan pilihan kedua dari permintaannya; atau keluar dari Aceh secara baik-baik.

Kedua pilihan itu untuk mengakhiri invansi Belanda ke Aceh sejak Maret 1873 sampai tahun 1885 dikuasai tak lebih luas dari kawasan Keraton Sultan (Dalam) dan area Mesjid Raya, Ulee Lheu dan Neusu.  Singkatnya dapat dikatakan, Krueng Aceh menjadi pembatas wilayah kekuasaan Belanda dan wilayah "Mujahidin" di Banda Aceh. Walaupun zona perang lebih luas dari wilayah di atas, sebab Belanda memusatkan pangkalan-pangkalan perang di setiap kuala-kuala di Aceh untuk memutuskan hubungan diplomasi antara Aceh dengan pihak luar.


Surat tersebut baru dibalas pada tahun 1888, dengan menolak seruan Tgk Chik di Tiro. Sebuah keputusan yang melahirkan duka berkepanjangan bagi Belanda, sebab akibatnya harus banyak korban jiwa dan anggaran dana perang yang tak sedikit harus dicurahkan ke Aceh.

Bagi Belanda, Tgk Chik di Tiro tidak dapat diukur jiwa dan taktik perangnya dengan pemuka-pemuka Aceh lainnya, ia sendiri menolak jabatan dari Kerajaan Aceh dan apalagi Belanda, maka dalam suratnya hanya termaktub "yang khadam ureung muprang fi sabilillah di tanoh Aceh Darul Aman" sebuah kalimat yang tulus, ikhlas, tegas dan tawadhu'. Karenanya, ia menjadi orang paling berani di garis depan dalam melawan Belanda, dan orang paling disegani dalam tataran penguasa Aceh karena berani menyentil penguasa (uleebalang) yang membelot dan bekerjasama dengan Belanda.

Melalui nasehat Tgk Chik di Tiro jugalah Sultan Aceh Muhammad Daud Syah hijrah ke Keumala, Pidie Dalam. Ia dapat konsentrasi penuh di sana. Sebagai simbol negara, ia tidak dibenarkan untuk menyerah dan menjadi simbol sebuah bangsa. Tetapi, Tgk Chik di Tiro bukan bersama Sultan di Pedalaman Pidie, tetapi lebih memilih berjuang di kawasan Aceh Besar, mengambil barisan terdepan dan terdekat ke Koetaradja (Banda Aceh) untuk menyerang Aceh.

Dari bubuhan cap Tgk Chik di Tiro juga terlihat tidak ada jabatan yang ingin disandangnya, tidak ada kekuasaan yang diharapkannya.  ditengah tertulis "Syaikh Saman Tiro" dilingkari dengan bintang lima sudut dan tulisan "shahih".



 Dari ketiga surat di atas ditujukan kepada orang yang berbeda, terutama para Uleebalang di Banda Aceh. Demikian, cap Tgk Chik di Tiro juga sama dengan surat  yang diajukan ke Belanda, untuk memilih masuk Islam atau meninggalkan Aceh.

Surat-surat tersebut menjadi bukti bahwa ia mendahulukan diplomasi dan kemaslahatan umat lebih besar dan utama. Namun, sikap penjajahan Belanda dan disertai sebagian sikap uleebalang Aceh yang  menjadi "lamiet" Belanda, memaksanya untuk memilih pilihan terakhir.

Ia berperang hingga akhir hayatnya. Namun, menurut sejarawan, Tgk Chik di Tiro meninggal pada tahun 1891 bukan dalam medan perang. Belum ada data tepatnya tanggal dan bulan secara umum tidak menyebut kecuali Ismail Jakub (1960) yang menyertakan pada tanggal 10 Jumadil Akhir 1308 H disertai "bertepatan dengan bulan Januari 1891". Tanggal tersebut, apabila saya konversi bertepatan dengan Rabu 21 Januari 1891.

Sedangkan Alfian menyebut "Setelah Tgk. di Tiro meninggal dunia pada 25 Januari 1891
ulama mi digantikan oleh anaknya Tgk. Mat Amin sebagai Teungku Chik". (1987: 160)



Tidak didapati tanggal yang akurat karena Tgk Chik di Tiro meninggal di Miureu (Mureu) Aneuk Galong Indrapuri, di benteng utama pejuang Aceh. Di sini ia lama bermukim dalam peperangan. Awalnya, perihal kepulangannya ditutupi oleh Mujahidin Aceh untuk tidak diketahui oleh banyak orang, termasuk Belanda. Sebab, isu syahidnya Tgk Chik di Tiro tersebut sering dihembuskan militer Belanda setiap perang untuk melemahkan pejuang Aceh.

Demikian juga sebab meninggalnya, dapat dipastikan karena sakit terkena wabah penyakit, bukan karena diracuni oleh orang Aceh (Njak Ubit) atas suruhan Belanda, sebagaimana disebut Jakub. Itu sebuah cara Belanda untuk memecah belah masyarakat Aceh.

Sebab, belakangan diketahui wabah penyakit ini menjadi sebuah penelitian Profesor C.A. Pekelharing dan Dr. C.W. Winkler  mengenai penyakit itu yang mayoritas terkena pada orang Aceh Besar dan orang Belanda, terutama di Aceh. Dalam laporannya pada tahun 1888 mereka berpendapat bahwa wabah ini disebabkan oleh infeksi. Barulah dalam tahun 1896 seorang asistennya, Dr. C. Eijkman, yang kemudian menjadi guru besar dan mendapat hadiah Nobel, menemukan bahwa penyakit itu disebabkan oleh ketiadaan vitamin BI yang terdapat pada kulit ari-ari beras. (1977:39)

Impian Tgk Chik di Tiro selalu ingin syahid di tengah medan perang, sebagaimana dalam Hikayat Prang Sabi yang selalu didengungkannya;
Meungnyo maté di rumoh inong, hanpue tanyong meugriet han sabé
Sakét teu that geucok nyawong, nyang kon keunong sinjata kaphé
Bah lam shaf prang mubak teugageueng, bah seulinteueng sinan meugulé
Ta niet droe keu ie sikureueng, bah teugageueng bak tapöh kaphé
Wahé teungku cut adoe meutuah, bèk lé dahsyah ta duk sabé
Meungna hajat ridha Allah, beudöh langkah jak prang kaphé


Pentingnya Digitalisasi Naskah: Dari Kisah Nyata

Siapa sangka, manuskrip tulisan tangan karya leluhur tempo doeloe yang berumur ratusan tahun tidak dapat dibaca lagi saat ini. Bukan karena hilang, bukan rusak fisiknya dan bukan juga dilarang baca, akan tetapi karena isi kandungannya tidak dapat terbaca lagi.

Ini salah satu kondisi riil yang banyak orang -termasuk pemerintah- mengabaikannya. Naskah yang dianggap tampak dari luar bagus, tetapi tidak dapat dibaca lagi isinya. Teks-teks tulisan di dalamnya rusak akibat zat asam tinta, dimakan rayap, ataupun rusak secara alami, yang berakibat pada musnahnya kitab-kitab tersebut, tepat di era yang modern nan serba canggih.

Parahnya kerusakan tersebut digerogoti dari dalam lembaran naskah aus akibat tinta yang merambah ke halaman-halaman lainnya. Banyak yang menyangka, fisik naskah yang masih utuh, dibungkus rapi dan  sampulnya baik-baik saja, ternyata di dalamnya telah hancur melebur kehitaman dengan tinta. Hal inilah yang tidak banyak diketahui oleh para kolektor di masyarakat, bahkan termasuk koleksi-koleksi di lembaga pemerintahan sekalipun.

Walhasil, sang kolektor -personal atau lembaga- hanya menyimpan lembaran kosong nan rusak, tetapi isinya tidak dapat dibaca lagi sebagian atau bahkan seluruhnya.

Rusaknya manuskrip-manuskrip akibat tinta, suhu cuaca, ataupun tempat penyimpanan yang tidak baik (stabil) adalah faktor umum di Aceh. Namun demikian, dapat juga kadaluarsa zat-zat campuran dalam tinta tersebut sehingga berefek pada lembar-lembar naskah yang telah tergores oleh zat kimia tidak dapat menetralisir dan bertahan sebagaimana layaknya kertas di era modern.

Dalam kasus di atas, saya banyak temui naskah-naskah tersebut di Aceh, baik di koleksi perpustakaan pribadi masyarakat, ataupun koleksi Museum Aceh dan lembaga swasta seperti Yayasan Ali Hasjmy dan Zawiyah Tanoh Abee. Seluruh lembaga yang sebutkan di atas mengoleksi ratusan naskah yang sebagian besar belum banyak dibaca, belum pernah dikaji apalagi didigitalisasi.

Salah satu kasus yang saya temui- dan sangat terkejut-  pada saat saya publikasi foto naskah Maulid Nabi koleksi Yayasan Ali Hasjmy dalam blog saya "Indahnya Manuskrip Maulid Nabi di Aceh" Desember  2015, yang ternyata halaman yang sama pernah difoto oleh bu Annabel Teh Gallop tahun 1993.

Foto yang saya upload diambil sekitar tahun  2011, atau mungkin lebih awal sedikit, maka tampak naskah sebagaimana di bawah ini yang hangus akibat zat tinta.

Naskah Koleksi Yayasan Museum Ali Hasjmy, dokumen foto sekitar tahun 2011
Naskah Koleksi Yayasan Museum Ali Hasjmy, dokumen foto sekitar tahun 1993

Ternyata, naskah yang sama pernah difoto oleh Dr. Annabel Teh Gallop yang ternyata naskah sebelumnya sangat mengejutkan indahnya. Ia memotret naskah tersebut saat Ali Hasjmy (alm) masih hidup sekitar tahun 1993. Beliau juga terkejut dengan kondisi foto naskah di atas, kemudian Bu Annabel mengirim foto naskah di bawah (tahun 1993) ke saya dan beliau bersedia untuk dipublis di sini.

Tentunya lebih jauh untuk berdiskusi dan memikirkan langkah-langkah apa yang baik untuk penyelamatan naskah yang sangat menyedihkan dan prihatin  dengan kondisi naskah yang saya publis sebelumnya.

Naskah di atas yang difoto pada tahun 1993 masih tampak sangat indah dan lengkap dengan ukiran bunga, warna hijau yang dominan lebih menonjol dari warna merah, biru dan kuning. Naskah yang berisikan tentang bait-bait pujian kepada Nabi Muhammad semakin indah dan lengkap dengan hiasan bunga tersebut.

Tetapi, kondisinya sekarang ini sangat prihatin. Walaupun sampul masih bagus dan terlihat sempurna, tetapi kandungan teks (tulisan) telah rusak akibat katajaman tinta. Apabila kondisi naskah di bawah ini terjadi pada tahun 2011, maka sudah barang tentu kondisinya sekarang (tahun 2017) semakin parah.

Kerusakan manuskrip akibat ketajaman tinta ini belum dapat solusi ampuh, bahkan dalam beberapa kasus teks  sama sekali tidak dapat dibaca isinya dalam waktu relatif singkat,  hal itu diakibatkan faktor-faktor lain yang mendukung percepatan kerusakannya. Jika itu terjadi, maka satu-satunya sikap yang harus disegerakan adalah digitalisasi naskah, atau proses pemotretan isi naskah segera mungkin.

Contoh lainnya dengan kasus yang sama juga saya temui pada saat saya menginventarisir dan mendeksripsi naskah koleksi Bapak Tarmizi A Hamid (sekitar tahun 2012). Salah satu naskah fikih yang tampak baik-baik saja di luar, ternyata di dalamnya hancur akibat zat tinta.

Bahkan lembaran-lembarannya tidak dapat dibuka perlembar secara sempurna akibat kerusakan tersebut. Naskah di atas koleksi Bapak Tarmizi A Hamid dapat dilihat dua perbedaan. Matan teks (teks utama) di tengah masih untuk sempurna. Akan tetapi, teks disekelilingnya rusak total (hangus) dan sama sekali tidak dapat dibaca lagi.

Pada tahun 2017, entah bagaimana nasib naskah tersebut, kemungkinan besar bertambah hancur. Karena dari laporan empunya koleksi menuturkan tidak ada program-program restorasi dan preservasi naskah dari pemerintah ataupun lembaga lain hingga saat ini.

Kepedulian dan Keseriusan Pemerintah

Jika dipersentasekan jumlah naskah yang didigitalkan untuk penyelamatan dari keseluruhan naskah di Aceh, dapat saya katakan hanya 30%.  Contoh misalnya untuk program digital naskah koleksi Museum Aceh pasca rehab-rekon, hanya sekitar 600-800 naskah yang baru didigitalkan dari 1900 naskah koleksinya. Tapi bila dibandingkan dengan naskah-naskah lainnya, seperti Yayasan Museum Ali Hasjmy, Zawiyah Tanoh Abee, koleksi pribadi seluruh Aceh yang hampir 4 ribu naskah, hampir seluruhnya belum didigitalkan atau difoto.

Pada dasarnya ini menjadi dilema bagi seseorang kolektor ataupun pecinta manuskrip, mendigital naskah tentu akan mengurangi "sentuhan tangan" langsung dengan naskah, yang dalam ilmu filologi dianggap belum masuk ke ranah "kodikologi. Namun demikian, penyelamatan kandungan isi (teks) naskah juga lebih penting karena bagian utama kajian filologi pada masa sekarang dan masa mendatang.

Singkatnya, pemerintah setempat (Aceh) punya kewajiban untuk program penyelamatan naskah ini. Di tangan Pemerintah Aceh dan Kabupaten/Kota program ini akan cepat dan tepat, bekerjasama dengan para  kolektor di masyarakat. Cepat karena bertaruh dengan waktu dan kerusakan manuskrip itu, dan "tepat" sebab pemerintah-lah yang memiliki sumber daya manusia, dana dan fasilitas pendukung yang melebihi cukup. Sekarang, tinggal hanya "political will" alias kemauan dan kepedulian atau tidak.


Program digitalisasi naskah dapat dibarengi dengan program lainnya, misalnya pelatihan dan pengetahuan restorasi naskah kepada para kolektor. Selain itu, juga dapat dilakukan beragam program baik oleh pemerintah secara langsung ataupun masyarakat, misalnya pengelolaan data IT, sebab digitalisasi tidak mesti selamanya harus dipublikasi online. Misalnya, cukup disimpan di pemilik naskah, Data Center Manuscript Aceh (semoga ini terwujud) dan pihak yang terpercaya.

Apabila Pemerintah Aceh masih mengabaikan penyelamatan manuskrip di Aceh, fisik atau isinya, maka saya jamin banyak manuskrip, karya, ulama, peradaban, khazanah dan lainnya di Aceh akan dianggap hanya dongeng belaka. Wallahu a'lam.

Sejarah Asal Gambar Cut Mutia di Uang Rp. 1000

TULISAN ini hadir bukan untuk memperumit persoalan yang terjadi di Aceh terkait uang yang baru diluncurkan oleh Bank Indonesia (Pemerintah Indonesia) pada nominal Rp. 1000 bergambar Cut Mutia.

Namun sebaliknya setelah melihat semakin hari “bola liar” semakin tidak terkontrol dan melahirkan dua kubu; pro dan kontra terhadap foto tersebut, mulai dari sejarawan, budayawan, akademisi, politisi hingga keturunan Cut Mutia.

Kedua pihak menginterpretasi , bahkan meligitimasi, lebih jauh terhadap kehidupan masyarakat Aceh, khususnya pakaian (busana).

Padahal, pokok permasalahan dari mana sumber utama Cut Mutia? Tulisan ini akan berusaha menelaah sumber awal foto itu muncul.

Langkah ini ditempuh untuk dapat menjadi “instropeksi” kepada kedua kelompok untuk melihat Aceh secara komprehensif, menghentikan segala imajinasi (kemungkinan) apalagi prasangka terhadap tokoh yang telah memperjuangkan agama dan bangsa ini dari kolonial Belanda.

Sebagai orang Aceh, kita harus mengapresiasi Pemerintah yang telah memilih pahlawan Aceh dalam lembaran uang Nasional.

Tentunya, pemilihan dan keputusan tersebut telah dilakukan proporsional dan seselektif mungkin dari seluruh pahlawan-pahlawan yang ada di Nusantara.

Maka terpilihnya Cut Mutia merupakan apresiasi untuk pahlawan Aceh, walaupun terdapat kekeliruan pemilihan gambar tokoh.

Sejauh penelusuran saya, foto paling awal ini muncul dari buku H.M Zainuddin “Srikandi Atjeh” (Gambar 17) penerbit Pustaka Iskandar Medan (1966: hal. 86).

Untungnya, Zainuddin menyebut sedikit informasi muasal gambar ini diperoleh yaitu dari arsip Kapten Colyn dalam tahun 1905 yang tersimpan oleh Teuku Radja Muluk Athas. Akan tetapi tidak ada informasi lebih lanjut siapa Kapten Colyn dan Teuku Radja Muluk Athas.

Melalui sumber itu, saya melacak buku-buku Belanda, Zenntgraaff “Atjeh”, Kreemer “Atjèh” (1923) dan  buku yang resmi diterbitkan oleh Belanda-Indonesia “Perang Kolonial Belanda di Aceh” (1977) untuk mengenang duka dan luka perang yang berkepanjangan di Aceh.

Dari sinilah diperoleh nama Colyn yang sebenarnya Hendrik Colijn (1869-1944) sebagai tentara kolonial Belanda berpangkat Letnan Dua di Aceh. Saat ia di Aceh, pernah bertugas di Lhokseumawe (Lho’seumawe) tahun 1902-1904.

Sedangkan nama Teuku Raja Muluk Athas belum ditemui dalam sumber-sumber Belanda dan (Zenntgraaff, Kreemer, Snouck) juga sumber-sumber lokal kajian terhadap Cut Mutia (Zainuddin: 1661, Talsya: 1982, Hasjmy: 1977).

Namun demikian, catatan Zainuddin yang menyebut diperoleh foto Cut Mutia tahun 1905 sudah lebih dari cukup untuk sinkroninasi sumber berikutnya.

Dua tahun lebih awal dari buku Zainuddin, melalui Surat Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 107 tahun 1964 memberikan anugerah Pahlawan Nasional kepada Cut Mutia.

Kemudian, pada tahun 1969 dikeluarkan prangko RI bergambar Tjoet Nja’ Meuthia (1870-1910) yang sama dengan versi Zainuddin (1966).


Pada tahun ini atau lebih awal, para pelukis menjadikan sumber foto Cut Mutia versi Colijn dan Teuku Raja Muluk Athas sebagai sumber utama wajah pahlawan dari Aceh Utara. Melalui beberapa “tangan-tangan pelukis” yang berimajinasi kepada foto tanpa “ija sawak” tersebut.

Buku Hasjmy (1977), Yakub (1979) ataupun Talsya (1982) dan beberapa buku nasional juga berpandu kepada sumber tersebut, hal itu dapat diidentifikasi dengan objek seperti rambut, sanggul, atau skema dan posisi gambar yang sama, termasuk gambar yang digunakan dalam uang seribu rupiah tahun 2016.

Kecuali buku "Perang Kolonial Belanda di Aceh" (1977) yang menyertakan gambar sama dan menyebut “Wanita-wanita remaja Aceh” bukan Cut Mutia.


Manipulasi Sumber Cut Mutia

Point utama yang disepakati adalah tidak ada gambar atau foto asli Cut Mutia, karena dari mulai ia dewasa, menikah dan syahid sudah berkelana dalam “perang sabilillah” di pedalaman Aceh Utara. Ia juga salah seorang yang sama sekali tidak berkompromi dengan Belanda. Perjuangannya beriringan dan berlanjut pasca suaminya syahid Teuku Cut Muhammad (Teuku Chik Tunong) dan Pang Nanggroe.

Sedangkan gambar Cut Mutia di uang Rp. 1000 yang digunakan sekarang oleh BI merujuk kepada sumber dan konsultasi dengan keluarga (Serambi Indonesia, 22-23 Desember 2016).

Namun, sebenarnya sumber utama dari foto tersebut dari hasil fotografer bernama Christiaan Benjamin Nieuwenhuis tahun 1900 dalam studio di Banda Aceh.

Di tahun dan tempat yang sama, beberapa “model” lainnya juga diambil foto dengan beragam busana dan perhiasan khas Aceh. Foto-foto ini dijadikan sebagai media bisnis oleh Nieuwenhuis dan sebagai laporan ke pemerintah kolonial di Batavia (Jakarta) dan Belanda.

Nieuwenhuis awalnya seorang anggota militer Belanda, kemudian bekerja jadi fotografer mandiri di wilayah Hindia Belanda 1883. Perjalanannya paling jauh sampai Samalanga, kemudian ia pindah ke Padang (Sumatera Barat) dan meninggal di sana.

Pada tahun berikutnya (1901), beberapa foto jepretannya dijadikan postcard (kartu pos), termasuk gambar yang sangat identik dengan foto Cut Mutia dalam prangko dan uang seribu rupiah.
Foto koleksi KITLV tersebut berjudul “Vrouw in Atjeh” (artinya: Perempuan di Atjeh) dengan nomor kode 1400103.

Dalam postcard tersebut tertulis "Voorname Atjehsche vrouw" atau "perempuan muda Aceh" bukan nama Cut Mutia.

Foto-foto model versi Belanda tentu tidak dapat dijadikan representatif dalam pakaian dan reusam masyarakat secara keseluruhan di Aceh yang sangat beragam.

Semua bandingan foto-foto tersebut dapat diakses online di KITLV (The Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde) dan beberapa buku peneliti Belanda.

Dari sanalah terbongkar bahwa sumber “Cut Mutia palsu” berasal dari postcard (kartu pos) tersebut yang masih digunakan sampai tahun 1905.

Periode tersebut, postcard dijadikan sebagai hadiah, kekhassan, pesan atau kiriman dari seseorang kepada orang lain, termasuk kepada para petinggi Belanda.

Jika ditilik lebih dalam, wajah dan potret dalam foto tersebut sama dengan tokoh Cut Mutia yang dipercayai saat ini.

Demikian juga dengan penanggalan tahun tersebut sama dengan penyebutan Zainuddin. Dapat dipastikan Colijn yang bertugas mendapatkan foto ini saat berada di Banda Aceh sebelum ditugaskan ke Lhokseumawe.

Maka dapat disimpulkan itu bukanlah foto Cut Mutia, sebab di tahun yang sama Cut Mutia sedang berperang mempertaruhkan nyawa dan memerdekakan bangsanya bersama suami dan anaknya di pedalaman Aceh Utara sejak 1890 sampai 1910.

Pada tahun itu (1900-1901) proses gambar "foto model" dilakukan di Banda Aceh. Tentunya ini sangat mustahil Cut Mutia menjadi ikon "foto model". Sebab ini tahun-tahun dahsyatnya perang. Di mana Cut Mutia, suami, dan pengikutnya melawan Belanda, memblok jalur darat, merusak jalur kereta api, tragedi Meurandeh Paya, hingga suaminya Teuku Tjut Muhammad syahid 1905, dan berikutnya Pang Nanggroe syahid (26 September 1910).

Sedangkan Cut Mutia syahid 25 Oktober 1910 bersama Teungku Syekh Paya Bakoeng atau Teungku Seupôt Mata, Teungku Mat Saleh, dan beberapa orang pasukannya di hutan belantara Pucok Krueng Peutoe.

Bagi orang Aceh, syahid dalam perang kolonial suatu kemuliaan. Namun, tidak ada data valid siapa yang melihatnya terakhir, menguburkannya, apalagi memotretnya.

Sumber-sumber otentik tersebut telah menjawab bahwa gambar Cut Mutia yang selama ini beredar tidak asli, bahkan duplikasi dari foto lainnya.

Temuan tersebut sudah cukup menepis segala prasangka yang ditujukan kepada Cut Mutia secara khusus, dan kaum hawa di Aceh tempo dulu, secara menyeluruh.

Sebagai langkah bijak, sebaiknya pemerintah dapat mengkaji dan mengambil sikap, selanjutnya merevisi gambar Cut Mutia yang kini telah bertebaran dari sumber yang tidak valid, sehingga tidak ada pengaburan sejarah di Aceh secara luas.

Lebih lanjut, dua kubu “pro dan kontra” dapat mereview kepada sumber-sumber primer yang ada, merujuk pada literatur barat dan lokal, sehingga tidak melegalisasi hukum atas kedangkalan pengetahuan dan keterbatasan wawasan kita saat ini.

Sebab, Aceh tidak dapat dilukis sepenuhnya seperti Arab, dan tidak pula seperti budaya barat.
Ke depan, dengan kasus ini Pemerintah Aceh dan masyarakat bisa intropeksi diri untuk “melawan lupa” sejarah, dan tetap fokus untuk terus memperkenalkan pahlawan-pahlawan Aceh lainnya ke tingkat Nasional ataupun internasional, tanpa menanggalkan sumber-sumber primer yang masih tersebar di dalam dan luar negeri.


Sudah dipublish di Serambi Indonesia: Dari Mana Gambar Cut Mutia di Uang Rp. 1000? Ini Sejarahnya

Hikayat Deteksi Lokasi Gempa Aceh 1964

Hikayat salah satu literatur dan "tradisi populer" di masayarkat Aceh. Sebagaimana diketahui kata "hikayat" diambil dari kata Arab yang konotasinya cerita, dongeng, atau cerita panjang. Kata kerjanya "haka" yaitu menceritakan kepada orang lain. Dalam pengertian sastra Indonesia dan Melayu, hikayat dimaksud dalam bentuk prosa.

Berbeda dengan terminologi Aceh, hikayat bukan hanya sebuah cerita pemanis tidur. Hikayat dalam sastra Aceh juga bukan dalam bentuk prosa, akan tetapi hikayat di Aceh dalam bentuk puisi atau sanjak. Hikayat Aceh diciptakan dalam bentuk puisi, awalnya masyhur dalam tradisi lisan yang didendangkan atau dilantunkan di depan publik, termasuk dalam kesultanan. Sejauh ini, belum banyak penelitian dalam bidang "eksistensi dan tradisi hikayat di Aceh", bahkan belum ada pakar hikayat Aceh dan perguruan tinggi di Aceh yang membuka jurusan "sastra Aceh". Akan tetapi, hikayat-hikayat dalam sastra Aceh sangat terkenal yang memiliki beragam kandungan, pesan, multiguna, multigender, mulai dari kisah masa lalu hingga kejadian realita.

Salah satu hikayat dalam bentuk real adalah "Hikayat Geumpa di Atjeh" karya Syekh Rih Krueng Raja (sekarang disebut Krueng Raya) yang disusun tahun 1964, atau pada saat gempa terjadi di Aceh, epicenternya di Aceh Besar. Buku ini dalam bahasa Aceh beraksara Latin dengan ejaan belum disempurnakan. Syukurnya buku ini dapat didownload gratis di website Acehbook.

Syair ini menceritakan kisah nyata terjadi gempa pada Kamis 2 April 1964 di Aceh, tepatnya terjadi di kaki gunung Seulawah, beberapa daerah yang berada di pesisir pantai Aceh Besar hingga perbatasan Pidie. Dalam syair karya Syehk Rih berasal dari Krueng Raya tidak disebut kekuatan gempa, akan tetapi melalui beberapa catatan sejarah gempa diketahui magnitude-nya 6.5 SR. Sama kekuatannya dengan gempa yang baru terjadi di Pidie Jaya (07 Desember 2016) dengan magnitude 6,5 SR (BMKG).

Dalam hikayat Geumpa di Atjeh, Syekh Rih membuka syairnya (transliterasi dalam EYD):


Cémpala meusu ditjöng u dara
Aneuk nggang dama yang panyang gatéh
Bacut lön suson gampoeng Krueng Raya
Bak uroe geumpa bak beungôh Haméh
        
 Nibak buleun peuet bak tanggai duwa
Poh lapan kira bak lön disidéh
Bak thon nam ploeh peuet ka jeut takira
Uroe nyan geumpa é dum na waréh (h. 4)
Artinya:
Burung Cempala bersuara di atas
Burung Flaminggo panjang tungkai kakinya
Kususun sedikit (syair) di gampong Krueng Raya
Di hari gempa di pagi hari Kamis

          Bulan empat, tanggal dua
Sekitar jam delapan, saya disana
Pada tahun Enam Puluh Empat sudah diketahui
Hari itu terjadi gempa wahai saudara

Hikayat tersebut dengan jelas menyebutkan bahwa jam 8 pagi hari Kamis, 2 April 1964 gempa terjadi. Secara umum, sejauh ini gempa-gempa besar yang pernah terjadi di Aceh pada waktu pagi hari, akan tetapi bukan berarti tidak terjadi pada malam atau siang hari seperti gempa di Gayo 12 Juli 2013 dengan magnatude 6,1 SR.

Selanjutnya ia menyebutkan lokasi-lokasi gempa yang terjadi di seputaran gampong di wilayah Aceh Besar dan Banda Aceh.


Bah teuduek dilèe gampoeng Krueng Raya
Jino Lamteuba lön cuba kisah
Sidéh bak kawom keu lön troh haba
Sidéh syeedara pih lëe museunah (h. 13)
Artinya:
Saat dulu tinggal di gampong Krueng Raya
Sekarang saya ceritakan kisah di Lamteuba
Dari saudaraku kabar ini kuterima
Disana mereka pun jadi korban

Tutue Lamtamot pih get that rupa
Meunurot haba kiwing dum patah
Sampee geuritan han jeut jilata
Meunan keuh rupa haba gob peugah (h. 15)
Artinya:
Jembatan Lamtamot juga rusak parah
Menurut informasi bengkok dan patah
Sehingga kereta api tidak bisa berjalan
Begitulah kabarnya dari cerita orang

Di Padang Tiji wahee syeedara
Asrama teuntra dum habeh reubah
Reubah meupunjoot habeh roet rungka
Bukeuti nyata loen kalon leumah (h. 15)
Artinya:
Di Padang Tiji wahai saudara
Asrama tentara juga semua roboh
Roboh terjungkal semua kerangkanya
Itu bukti nyata saya lihat langsung

Di Darussalam kuta peulaja
Aneuk sikula bak jigrop patah
Patah bak jigrop tëuot ka rungga
Nyan dumkeuh bahla neubri lèe Allah (h. 16)
Artinya:
Di Darussalam kota pelajar
Anak sekolah patah saat lompat
Patah lututnya saat lompat
Begitulah bala yang Allah beri

Jalur atau daerah gempa yang disebut dalam Hikayat Geumpa di Atjeh, 1964

Setidaknya, dalam syair Syekh Rih diketahui beberapa daerah koordinat gempa atau wilayah yang berdampak gempa, mulai dari wilayah Darussalam (Banda Aceh), Lamteuba, Lamtamot hingga ke Padang Tiji (Pidie). Jalur ini yang kemudian disebut oleh BMKG "Sileumeum Fault" dan peneliti Tsunami and Disaster Mitigation Research Center (TDMRC) dan beberapa penelitian lainnya terhadap gempa di Aceh. Dengan temuan ini juga dapat digunakan untuk penelitian arkeologis dan paleoklimatologi di masa mendatang.


Maka tulisan ringan ini hanya menginformasi sedikit perihal gempa yang telah menghancurkan rumah, sekolah, asrama TNI dan membuat masyarakat mengungsi. Merujuk dan mengutip dari Hikayat Geumpa di Atjeh Syekh Rih Krueng Raya menyebut beberapa lokasi dampak terjadinya gempa dan menyertakan laporan bantuan Pemerintah kepada para korban. 

Lebih dari itu, saya menyimpulkan ini adalah sebuah tradisi (cara) kearifan lokal "mitigasi bencana" di Aceh melalui oral tradition (tradisi lisan) sebagaimana diwariskan tradisi smong (gempa tsunami) di Simeulue dan beberapa daerah lainnya dalam bentuk tutur atau hikayat. Hikayat merupakan satu-satunya media menyebarkan informasi kepada publik secara massif, atraktif dan produktif untuk pendengar. Semoga tradisi ini tumbuh kembali di masyarakat Aceh dengan media terkini dalam menangani dan menimalisir korban bencana. 

Dan, atas dasar itulah menjadi bukti bahwa gempa tahun 1964 merupakan jalur “Sileumeum fault” (Bukan Seumeulum Fault sebagaimana beberapa tulisan). Dari data sejarah gempa diperoleh besar magnatude 6.5 SR, hikayat menyebutkan bahwa gempa tersebut dirasakan dan terjadi kepanikan, walaupun dampak gempa ini belum diketahui lebih jauh, baik kerugian ril materil yang terjadi, ataupun korban jiwa dan pengungsian. 

Namun demikian, gempa yang kembali terjadi baru-baru ini (7 Desember 2016) meninggalkan banyak duka dan "tanda tanya" bagi para peneliti gempa dan Badan Kebencanaan di Aceh dan Indonesia untuk selalu siap menginput data, mengulas informasi, dan memberikan informasi sekaligus pengertian lebih banyak kepada masyarakat, sebab bagian-bagian Aceh berada di atas patahan "ring of fire" gempa. Dan gempa 7 Desember 2016, sampai saat ini belum terungkap jelas jalurnya, apakah ini jalur "Sileumeun Fault" atau "Samalanga-Sipopok Fault" oleh para pakar.


Sumber:
-  Syekh Rih Krueng Raya, Hikayat Geumpa di Atjeh. Banda Aceh. Anzib Lamnyong, 1964
- Badan Meterologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG)
- Media online (Serambi Indonesia, Republika, Kompas, Harian Aceh, dll)

Repro Foto Cut Mutia: Sebuah Kekeliruan Sejarah (2)

Tulisan sebelumnya "Reproduksi Foto Pahlawan Aceh Cut Mutia" saya sebutkan bahwa gambar yang disebarkan dan dipercayai sebagai Cut Mutia pahlawan dari Aceh Utara bukanlah wajah yang sebenarnya. Kemudian saya akan menyebut "gambar palsu" Cut Mutia.

Ada baiknya terlebih dahulu, kita harus mengapresiasi Pemerintah yang telah menghargai pahlawan Aceh -walau dalam uang seribu-. Terlepas dari itu, kita harus maklumi banyaknya pahlawan-pahlawan kemerdekaan Indonesia yang mustahil dimuat semuanya dalam satu edisi, maka terpilihnya Cut Mutia merupakan apresiasi untuk pahlawan Aceh -sekali lagi, walau dalam uang seribu-. Ini akibat "aweuk ka bak jaroe gob".

Namun terkait originalitas gambar, tentu kita -sebagai masyarakat- yang beradab dapat memberi saran dan masukan  untuk Pemerintah ke depan untuk tidak lagi menggunakan gambar palsu Cut Mutia tersebut, atas dasar data-data otentik dengan argumentasi yang cukup.

Alasan saya cukup singkat, Pertama; Cut Mutia berjuang di pedalaman hutan Aceh Utara sebelum tahun 1900 hingga syahid tahun 1910. Foto yang dijadikan sumber berasal dari jepretan Nieuwnshuis C.B tahun 1900 di dalam studia wilayah Banda Aceh. Pada tahun tersebut, wilayah-wilayah di luar Banda Aceh dan Aceh Besar masih terjadi perlawanan rakyat Aceh dan kondisi belum kondisif seutuhnya.

Kedua;  Gambar palsu Cut Mutia di Rp. 1000 (rilis tahun 2016)  adalah hasil seorang pelukis dalam menggapai imajinasinya, ia terpengaruh dengan "postcard" dengan judul "Perempuan Aceh". Kenapa jadi postcard, jawabannya ada di bawah. Kemudian, melalui tangan-tangan pelukis berimajinasi menggambar beberapa tokoh pahlawan Nasional (seperti Teuku Umar, Cut Nyak Dien, dan lainnya) termasuk Cut Mutia. Diantara Gambiranom Suhardi, Tgk Yoesoef dan lain, Lebih lanjut silahkan rujuk ke buku Hasjmy "Wanita Indonesia sebagai Negarawan dan Panglima Perang" dan Zenntgraaff "Atjeh".

Ketiga; Gambar yang dijadikan referensi bukanlah gambar realita di masyarakat Aceh, tetapi dilakonkan oleh beberapa orang Aceh untuk kepentingan tertentu oleh Belanda. Saya sebut "kepentingan tertentu" supaya lebih mudah dipahami dan tidak dimaknai negatif, boleh jadi itu untuk studi antropologi masyarakat saat itu, bisnis foto, atau dokumentasi yang harus dibuat oleh Belanda untuk laporannya ke Belanda, atau juga untuk kartu pos. Saya menyimpulkan foto yang dijadikan referensi gambar palsu Cut Mutia adalah untuk keperluan kartu pos (Prentbriefkaart/post card) Belanda tahun 1901-1905. Silahkan rujuk ke metadata Media KITLV library dengan kata kunci (keyword) Atjeh.

Dan terakhir; gambar di uang Rp. 1000 yang baru dirilis, buku pelajaran, poster (termasuk di rumah Cut Mutia Aceh Utara) tersebut adalah gambar palsu Cut Mutia, jadi tidak perlu dipersoalkan lagi almarhumah Cut Mutia berjilbab atau tidak. Apalagi timbul protes dan "mengklaim gambar asli Cut Mutia plus kerudung (atau "Ija Sawaker" istilah khas Reza Idria) juga tidak disertai sumber. Atau sebaliknya kelompok "pro-aurat" hingga membawa "pakaian nenek moyangnya" zaman doeloe ke era modern. Itu sama saja seperti dua "si buta" berdebat tentang bentuk gajah, dan kita adalah "si buta" sejarah tersebut. Sekali lagi, uang Rp. 1000 di dompet anda sekarang adalah gambar palsu Cut Mutia, sebagaimana bandingan foto-foto pada bagian tulisan pertama.

Nah, poin utama tulisan kali ini untuk membuktikan dan mempertanggung jawabkan data foto dan alasan di atas. Sebagai catatan, saya bukan pakar fotografi apalagi photoshop atau pakar telematika.



Tiga gambar di atas (1, 2, 3) menunjukkan posisi objek "model" ditempat yang sama dengan latar yang sama juga sesuai dengan lingkaran kuning. Peran yang sama dilakukan anak kecil (lingkaran gambar 2 dan 3).

Demikian juga pada gambar dibawah ini (4, 5 dan 6):

Gambar 4, 5, dan 6 diperankan oleh seorang perempuan (gadis) yang sama (lingkaran coklat) dengan tempat dan latar yang sama (lingkaran kuning) dengan gambar 1, 2 dan 3, hanya menggeser posisi para modeling. Bedanya dengan grup gambar sebelumnya adalah meja dan panyoet yang ditampilkan (lingkaran hijau) berbeda.
Uniknya di gambar 7 (sama dengan gambar 1), 8 dan 9 adalah gambar latar belakang disiasati supaya berbeda, gambar 7 ditutup latar yang bergambar pintu gerbang Eropa seperti gambar 8-9. Padahal gambar pohon dan daun nipah sama semua. Bahkan untuk menampilkan yang lebih berbeda pada foto 9 dengan menambahkan rumput dan bahan-bahan supaya tampak asli.

Merujuk sumber KITLV, maka semua foto diambil sekitar tahun 1900 di tempat yang sama, yaitu dalam ruangan atau studio foto. Dengan demikian telah terjawab alasan pertama. Untuk memperkuat itu adalah foto dalam studio di Banda Aceh, bukanlah Cut Mutia (seperti gambar 1 dan 7) maka tahun 1903 Sultan Muhammad Daudsyah telah berpose bersama dengan Belanda di tempat yang sama (Lihat latar dan alas).
Van links naar rechts: majoor K. van der Maaten, Teukoe Moehamat Dawot, pretendent-sultan van Atjeh, assistent-resident W.J.F. Vermeulen en controleur J.H. Morbeck. 1903 (KITLV. Code 6581)

Foto-foto di atas merupakan hasil fotografer bernama Christiaan Benjamin Nieuwenhuis salah seorang anggota dari Band Militer Belanda kemudian bekerja jadi fotografer mandiri di wilayah Hindia Belanda 1883 (clik lihat profilnya). Tujuan utamanya adalah bisnis, menjual foto-foto untuk pemerintah kolonial di Belanda. Salah satunya dengan cara jual postcard, sebagaimana foto-foto dibawah ini, mulai dari foto Jenderal, model-model di wilayah Nusantara hingga aktifitas masyarakat.


Gambar 11 a/d 13 adalah postcard (kartu pos) yang berlaku sekitar tahun 1901-1905. Gambar 12 yang tertulis "Voorname Atjehsche vrouw" atau "perempuan Aceh" yang menjadi landasan foto pahlawan Cut Mutia sebagaimana foto wajah di bawah. Sedangkan gambar nomor 14 dan 15 adalah postcard dari foto di Batavia tahun 1903. Gambar paling terakhir tampak dua wanita di Batavia menggunakan penutup kepala sejenis jilbab. Benarkah jilbab belum dikenal di Nusantara pada abad ke 20, padahal interaksi Islam Nusantara dengan Timur Tengah sudah berabad tahun sebelumnya.

Foto terakhir (no. 15) sengaja ditampilkan supaya tambah seru yang lagi panas pro dan anti "jilbaber".  Dan demikian saya telah menjawab argumen bahwa foto tersebut untuk bisnis postcard bukan foto pahlawan, namun mengapa foto ditransfusi ke tokoh pahlawan?. Jawabannya karna pelukis pernah melihat postcard (kartu post) tersebut yang mempengaruhinya untuk melukis wajah pahlawan seperti foto Nieuwenhuis tahun 1900.

Apa hubungannya membuktikan gambar di atas dengan Cut Mutia. Saya awali langsung dengan kesimpulannya.

Dari "Foto Model" ke "Foto Pahlawan"
Saya agak berat mengatakan bahwa mereka "foto model" dalam dagelan foto-foto di atas, tetapi untuk memudahkan pemahaman sebut saja mereka seperti itu sedang memperagakan beragam busana (pakaian) di Aceh, sesuai dengan permintaan (kata halus dibayar) Belanda untuk pengambilan gambar. Tujuannya sudah jelas disebut di atas, yaitu "bisnis atau postcard" di tahun 1900-1901.

Lalu, dimana Cut Mutia asli di tahun itu?
Mari sekilas flashback sejarahnya.  Jumhur sejarawan sepakat Cut Mutia lahir sekitar 1870, kemudian ia menikah dengan Teuku Tjut Muhammad dikenal Teuku Chik Tunong dan dianugerahi seorang anak bernama Teuku Ahmad atau Teuku Raja Sabil 1889 (Said, Aboebakar). Nama "Raja Sabil" terinspirasi dari perjuangan sabilillah suami-istri ini melawan Belanda.  Walau Teuku Chik Tunong diangkat sebagai Uleebalang Keureutoe Pasee oleh Sultan dan rakyat Aceh, tapi Belanda memilih Teuku Syamsarif sebagai Uleebalang Keureutoe yang royal ke Belanda, yang tak lain adalah abang kandung Teuku Tjut Muhammad. Akibat politik Belanda ini, tidak sedikit para "hulubalang" menjadi dua kubu di seluruh Aceh.

Politik adu domba dan dalih kerjasama di bawah Pemerintah Belanda bukan hanya terjadi di Aceh Utara. Belanda pernah menerapkan ke seluruh wilayah di Aceh termasuk di Aceh Besar dan Pidie. Lihat surat "taslim" (damai) yang dikirim oleh Tuanku Mahmud dan Tuanku Raja Keumala dan Seri Muda Perkasa Teuku Panglima Polem di Aceh Besar ke Habib Abdurrahman Teupin Wan dan guru kami Teungku Mahyiddin dan Teungku di Buket anak Teungku Chik Ditiro atas permintaan Belanda (Klik: Melafaz Sarakata Wali Nanggroe). Belanda benar-benar menerapkan "politek plaih tring: siblah gilhô siblah tarék" (red. politik belah bambu: sebelah diinjak sebelah disanjung) (istilah yang lagi ngetrend sekarang di Aceh).

Jika disimpulkan Cut Mutia berperang mempertaruhkan nyawanya, memerdekakan bangsanya bersama suami dan anaknya di pedalaman Aceh Utara sejak 1890 sampai 1910. Maka di dalam tahun itu (1900-1901) proses gambar "foto model" dilakukan di Banda Aceh. Tentunya ini sangat mustahil Cut Mutia ikon "foto model". Ini tahun-tahun dahsyatnya perang Cut Mutia, suami dan pengkikutnya melawan Belanda, memblok jalur darat, jalur kereta api, peristiwa Meurandeh Paya, hingga suaminya Teuku Tjut Muhammad syahid tahun 1905, dan suaminya ketiga Pang Nanggroe juga syahid (26 September 1910).

Walaupun suami pertama dan kedua syahid, Cut Mutia tidak mau kompromi dan tidak "menjilat" kolonial Belanda. Karena sikapnya, bukan hanya Belanda yang geram, tetapi sebagian kerabat dan uleebalang pro-Belanda juga membencinya karena tidak menerima tawaran upeti dan kerjasama dengan Belanda. Perihal ini yang disebut oleh Syekh Abbas Kutarang di Aceh Besar dalam Tadhkirat ar-Rakidin, Belanda selain menghancurkan khazanah, nisan, struktur pemerintahan, juga ideologi dan sosial masyarakat. (Baca tentang Belanda, Nisan dan Aceh)
Versi lainnya Cut Mutia dalam "Perang Kolonial Belanda di Aceh" (1977) Pelukis Gambiranom. (Zenntgraaff)

Cut Mutia syahid 25 Oktober 1910 bersama pasukannya di hutan belantara Pucok Krueng Peutoe. Bagi orang Aceh, syahid dalam perang kolonial suatu kemuliaan. Namun, tidak ada data valid siapa yang melihatnya terakhir, menguburkannya, apalagi memotretnya (lagi-lagi itu bukan zaman "selfi"). Bahkan, puluhan tahun makamnya terbengkalai tidak terawat dan "hampir" tidak diketahui jejaknya.

Bagi saya itu lebih memilukan dengan membaca buku Talsya (1982) bahwa Cut Mutia digelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional melalui Surat Kepres 107 RI Tahun 1964, tetapi makamnya belum diketahui. Hingga tanggal 27 Juli 1972 melalui Tim Pemkab Aceh Utara dan Camat Matangkuli menelusuri hutan dan menemukan makam Cut Mutia, dan 10 meter sebelah kanan ditemukan makam Teungku Seupôt Mata. (h. 146) Ia (Talsya) melengkapi dengan sumber Petikan dari Surat Camat Matangkuli kepada Ketua Pekan Kebudayaan Aceh II (5 Agustus 1972, No. 831/19). (Lihat laporan PKA II)

Kini, ditambah potret "memalukan dan memilukan" dengan polemik "pro-jilbab" foto sejarah dengan "pro-aurat" yang dua-duanya tidak mau membuka data-data primer dan otentik, hanya cukup dengan dalil "nenek moyang" melegalkan segala opini. Merepro foto Cut Mutia berjilbab -seperti sekarang- ataupun tidak berjilbab sama dengan "merekonstruksi rumah tanpa pondasi". Padahal, masih banyak pahlawan Aceh yang perlu diperjuangkan, termasuk para syuhada bersama Cut Mutia; Teungku Cut Muhammad, Pang Nanggroe, Teungku Syekh Paya Bakoeng atau Teungku Seupôt Mata, Teungku Mat Saleh dan lainnya. "Bek peugah droe hebat, menyo ata indatu mantong hanjeut tarawat"

Mungkin perlu jadi catatan, saat melihat "Aceh dulu" dalam konteks apapun tidak seperti Aceh hari ini kita hidup. Struktur pemerintahan sagi dan negeri,  geografis, sosial-ekonomi, agama-sufistik, ilmu-bahasa, reusam-budaya dan kearifan lokal yang cukup beragam. Aceh penuh pesona dan punya warna. Maka, jangan musnah kekayaan khazanah Aceh karena kedangkalan ilmu kita, termasuk saya, sebab Aceh penuh dengan "Haluwa Rasa".