Singkil Kota Ulama yang Terlupakan

Singkil Kota Ulama yang Terlupakan - Selamat datang di blog Sejarah Aceh, Info kali ini adalah tentang Singkil Kota Ulama yang Terlupakan !! Semoga tulisan singkat dengan kategori Aceh !! Ulama !! ini bermanfaat bagi anda yang membutuhkan. Dan untuk anda yang baru berkunjung kenal dengan blog sederhana ini, Jangan lupa ikut menyebarluaskan postingan bertema Singkil Kota Ulama yang Terlupakan ini ke social media anda, Semoga rezeki berlimpah ikut di permudahkan sang khalik yang maha kuasa, Selengkapnya lansung lihat infonya dibawah -->




Bagi sejarawan, sastrawan dan ilmuwan di dunia, khususnya yang mengkaji Islam di Asia Tenggara dan Aceh, akan menemui nama-nama seperti, Hamzah Fansuri, Abdul Jamal, Hasan Fansuri dan Abdurrauf bin Ali al-Jawi al-Fansuri, yang hidup dan menjadi orang penting di Kesultanan Aceh abad ke-16 dan 17 M.
Mayoritas gelar al-Fansuri diberikan oleh generasi setelahnya, sedangkan as-Singkili oleh para peneliti (researchers) pasca-kolonial, saat Belanda membagi Aceh menjadi empat (afdeeling). Dan kini, di masyarakat lebih umum menisbah ke tempat, Fansuri, sebab merujuk kepada karya-karyanya.
Hamzah Fansuri (dua muridnya Abdul Jamal dan Hasan Fansuri) dan Abdurrauf Fansuri merupakan tokoh-tokoh yang terekam jejaknya melalui catatan-catatan karyanya hingga kini.
Walaupun belum sempurna biografi sosok ulama tersebut, tetapi cukup memberikan informasi kepada kita bahwa nilai-nilai keislaman dan pengetahuan agama yang diperolehnya berasal dari di Fansur, salah satu wilayah Singkil saat itu.
Ali Hasjmy dan Aboebakar pun menyebut bahwa di daerah Singkil telah berdiri lembaga pendidikan dayah terbesar pada abad ke-16, tepat di era awal Kesultanan Aceh Darussalam.
Pantai-pantai indah dan mudah disinggahi kapal besar dan kecil menjadi pilihan utama para pelaut dan pedagang internasional. Interaksi ini memang hampir terjadi seluruh wilayah Kepulauan Melayu Nusantara, termasuk Singkil.
Perihal tersebut merujuk kepada beberapa dokumen Eropa awal, terutama Portugis, dan peninggalan nisan-nisan Islam tertua di wilayah Singkel yang sedikit banyak serupa (sejenis) dengan nisan-nisan di Lamuri Aceh Besar dan Pasai (Aceh Utara). Peninggalan tersebut menggambarkan bahwa Islam di pantai Barat Aceh mungkin saja berawal dari salah satunya wilayah Singkil.
Tidak banyak yang mencatat bahwa kolonial Belanda telah mengerogoti Aceh lebih awal dari pantai Barat-Selatan Aceh, jauh sebelum memerangi Aceh tahun 1873. Misalnya, pada tahun 1693/1694 M, Belanda ikut campur memaksakan kehendak untuk penghapusan sifat ganda kerajaan di Aceh.
Saat itu, Singkil, Barus dan Trumon dan sekitarnya merupakan kerajaan-kerajaan kecil di bawah otoritas Kesultanan Aceh Darussalam. Sistem sejenis monarki demokrasi-federasi ini agak menganggu bagi Belanda dalam menjalankan misinya.
Seiring waktu, Barus terus merosot ekonomi dan pelabuhannya daripada wilayah lainnya. Sisi lain, ikut andil Inggris yang membuka pangsa pelabuhan baru di wilayah Aceh (Meulaboh, Banda Aceh) dan Minang, membuat Barus semakin ditinggalkan.
Sudah kebiasaan orang Aceh meminta bantuan ke luar negeri, pada tahun 1820-an Barus meminta lagi bantuan dari Belanda, kali itu untuk melawan orang (kerajaan) Aceh dari kota Tapus.
Pasukan Belanda benar datang pada tahun 1839-1840, mengusir orang Aceh, dan memasukkan Barus ke dalam wilayah territorial Hindia Belanda, dengan akibat praktis menghentikan segala inisiatif dari raja-raja Barus serta peran politik mereka di tengah begitu banyak pihak yang bermusuhan. Suatu penyesalan dan kerugian besar bagi Barus saat itu.
Celakanya, kolonial Belanda membangun garsinun (benteng pertahanan) di wilayah tersebut sekaligus mencaplok wilayah Singkil, membangun perkantoran, sekolah dan perumahan Belanda secara permanen.
Siasat geo-politik (geografi-politik) adalah salah satu cara mengadu domba satu pihak dengan lainnya untuk terus berkecamuk dalam konflik. Oleh karena itu, Hindia Belanda mengeluarkan mengeluarkan Besluit (Surat Keputusan) membelah Aceh menjadi empat bagian (Afdeeling) (18 September 1899) (Aceh Besar, Aceh Barat, Aceh Timur, dan Aceh Utara) guna menghapus sistem pemerintahan kerajaan Aceh.
Sejak awal, kolonial Belanda menerapkan 19 hukum adat Belanda (et Adatrecht van Nederlandsch-Indiƫ), antaranya menyebarkan agama kepercayaannya di wilayahnya, membangun tempat peribadatan, dan menguasai perekonomian setempat dan mengangkat uleebalang (hulubalang) dan tokoh agama di Aceh yang pro-kebijakan Belanda.
Termasuk pada tahun 1852-1857 H.N van der Tuk saat tinggal di Barus menerjemahkan kitab Injil ke dalam bahasa Toba atas pesanan Masyarakat Alkitab Belanda. Naskah tersebut kini tersimpan di perpustakaan Universitas Leiden Belanda di koleksi van der Tuk (VdT).
Di sisi lain, Kerajaan Aceh, Singkil dan Trumon terus menggempur Belanda atas diskriminasi muslim di daerah tersebut dan mempertahankan wilayah-wilayah lain di Singkil dan perbatasan lainnya.

Gempa Dahsyat Singkil 1861
Peperangan berkepanjangan berhenti pada tahun 12 Februari 1861 (1 Syaban 1277 H) di di Singkil dan sekitarnya dilanda gempa tektonik yang dahsyat. Empat hari kemudian (16 Februari 1861), gempa berkekuatan besar 8.5 skala richter disertai dengan tsunami melanda barat Sumatra dan Aceh.
Bencana yang kedua lebih banyak direkam oleh para ilmuwan kebencanaan di dunia karena berada tepat di Sunda Megatrust, menurut laporan lebih dari 2000 orang meninggal, menghancurkan seluruh pesisir pantai Singkil, Barus, Mentawai, Sumbar dan sekitarnya..
Dalam catatan Belanda, akibat dua bencana tersebut, seluruh bangunan Belanda dan benteng pertahanan hancur, akhirnya Belanda pindah ke Medan. Singkil ditinggalkan.
Ini adalah salah satu faktor kenapa Belanda tiba-tiba menyerang Aceh tahun 1873 langsung ke sentral kerajaan Aceh, di Banda Aceh. Pada saat Aceh belum pulih dari bencana, dan banyak korban dari orang Aceh.
Ulama-ulama yang berkiprah di pendidikan banyak gugur di medan perang di wilayah Barat Aceh. Lembaga-lembaga pendidikan sudah hancur akibat bencana.
Kota Singkil sebagai salah satu kota masuknya Islam di wilayah Barat Aceh mulai ditinggalkan, masyarakat migrasi ke daerah-daerah lain yang lebih aman, terutama kota-kota besar, seperti Meulaboh, Medan, Pasai, Lhoksamow (Lhokseumawe) dan Banda Aceh.
Sayangnya, tanpa disadari akibat konflik dan perselisihan politik kekuasaan, banyak ulama lahir di wilayah ini tidak terekam dengan baik, sehingga khazanah ilmu dan peradaban musnah seiring terlupakan tokoh-tokoh penyebar agama.

Hal serupa juga terjadi di Pasai, kerajaan Islam yang megah berdiri lebih dua abad, tapi kini tidak banyak orang Aceh (generasi sekarang) tahu nama-nama ulama dari Pasai.

Resource: http://aceh.tribunnews.com/2015/10/16/singkil-kota-ulama-yang-terlupakan


Demikianlah Artikel Singkil Kota Ulama yang Terlupakan, Semoga dengan adanya artikel singkat seperti Informasi postingan Singkil Kota Ulama yang Terlupakan ini, Anda benar benar sudah menemukan artikel yang sedang anda butuhkan Sekarang. Jangan lupa untuk menyebarluaskan informasi Singkil Kota Ulama yang Terlupakan ini untuk orang orang terdekat anda, Bagikan infonya melalui fasilitas layanan Share Facebook maupun Twitter yang tersedia di situs ini.