Fatwa Rasulullah Tentang Puasa

Fatwa Rasulullah Tentang Puasa - Selamat datang di blog Sejarah Aceh, Info kali ini adalah tentang Fatwa Rasulullah Tentang Puasa !! Semoga tulisan singkat dengan kategori ini bermanfaat bagi anda yang membutuhkan. Dan untuk anda yang baru berkunjung kenal dengan blog sederhana ini, Jangan lupa ikut menyebarluaskan postingan bertema Fatwa Rasulullah Tentang Puasa ini ke social media anda, Semoga rezeki berlimpah ikut di permudahkan sang khalik yang maha kuasa, Selengkapnya lansung lihat infonya dibawah -->




Pertama: Tentang Hakikat Hikmah Puasa

Hal keadaan ini berdasarkan hadits Abi Hurairah yang telah diriwayatkan oleh Ibnu Majah sebagai berikut:

رُوِيَ عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ: لِكُلِّ شَيْئٍ زَكَاةٌ وَزَكَاةُ الْجَسَدِ الصَّوْمُ وَالصِّيَامُ نِصْفُ الصَّبْرِ.(رواه ابن ماجه)

Sahabat Abi Hurairah r.a. berkata, bahwa Rasulullah SAW telah bersabda: “Setiap sesuatu ada zakatnya. Sedang zakat bagi jasad (badan) adalah puasa, dan puasa adalah separuh dari sabar. (HR. Ibnu Majah).

Dalam Ihya Ulumuddin karangan Imam Ghazali r.a. menambah sebuah hadits yang lain yang kalimatnya:
الصبر نصف الإيمان
“Sabar itu setengah dari iman.”

Dengan demikian adalah puasa itu seperempat dari iman. Betapa tidak karena melaksanakan puasa adalah dasarnya sabar. Sedangkan pengertian sabar adalah melaksanakan sesuatu oleh karena kita mengetahui bahwa pelaksanaan itu di samping sebagai perintah Allah juga mendapatkan manfaat dan tidak akan mendatangkan mudharat. Maka mengerjakan sesuatu oleh karena kita meyakini sesuatu itu bermanfaat, itulah yang dikatakan dengan sabar. Demikian juga pengertian meninggalkan larangan Allah oleh karena larangan tersebut membawa kepada kemudharatan baik di dunia apalagi di akhirat. Dan dapat dipahami dari hadits di atas bahwa melaksanakan puasa Ramadhan berarti kita memberikan zakat buat tubuh kita, jasad kita, mata yang telah kita pakai manfaatnya, tangan, kaki, dan sebagainya Allah ta’ala telah memberikan manfaatnya buat kita; maka wajarlah puasa perintah Allah buat manusia agar kita bersyukur kepada-Nya dengan melakukan puasa.

Maka puasa pada hakikatnya adalah zakat yang kita lakukan dari batang tubuh kita dengan berbagai anggotanya. Barangsiapa yang tidak berpuasa berarti orang itu tidak tahu diri dan tidak bersyukur kepada Allah atas tubuhnya yang telah dia ambil manfaat dalam hidupnya.
Hadits kedua:

عَنْ اَبِى سَعِيْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ أَوْصَانِيْ خَلِيْلِى صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ: مَا مِنْ عِبَدٍ يَصُوْمُ يَوْمًا فِىْ سَبِيْلِ اللهِ تَعَالَى اِلاَّ بَاعَدَ اللهُ بِذَلِكَ الْيَوْمِ وَجْهَهُ عَنِ النَّارِ سَبْعِيْنَ خَرِيْفًا. (رواه البخارى ومسلم)

Sahabat Abi SA’id Al-Khudri r.a. telah berkata: Kekasih-ku Muhammad SAW telah berwasiat kepadaku: “Tidak ada seorangpun yang berpuasa satu hari di jalan Allah (sunat), kecuali Allah akan menjauhkan dirinya dari siksa neraka sejauh perjalanan tujuh puluh tahun pada hari itu.” (HR. Bukhari dan Muslim).

            Teranglah pemahaman dari hadits ini, apabila hati seseorang tidak mengakui bahwa puasa itu adalah syari’at Islam, baik puasa sunat apalagi puasa fardhu, orang itu tidak diselamatkan Allah ta’ala pada hari kiamat. Karena ia termasuk golongan PKI, artinya pengingkar kewajiban Islam, yaitu sama kualitasnya dengan orang-orang komunis yang menganggap agama adalah candu, di mana pemahaman ini sangat berbahaya. Menurut jumhur ulama diistilahkan dengan zindiq, yaitu lahiriahnya Islam, namun pada hakikatnya ia keluar dari Islam itu sendiri. Maka barang siapa yang meninggalkan puasa wajib baginya mengqadha puasanya, apabila ia meninggalkan puasa bukan karena sakit yang membawanya kepada maut. Dan apabila ia tidak sempat mengqadha puasanya itu maka wajiblah baginya mengeluarkan fidyah setiap hari satu mud beras atau dalam takaran kita 2,5 ons untuk seberapa lama ia meninggalkan puasanya. Dan jika telah dua tahun terlambat mengqadha puasanya sehingga datang dua Ramadhan, maka wajib atasnya dua mud tiap-tiap harinya dan demikianlah seterusnya. Tiga tahun dia berlalai tidak mengqadhanya maka wajib atasnya membayar 3 mud, dan puasanya yang tinggal itu mesti dibayarnya seberapa hari yang telah ditinggalkannya itu.

Pelanggaran Puasa

            Orang-orang yang bersetubuh di siang hari puasa dengan sengaja, baik dimasukkan kemaluannya ke kemaluan depan atau belakang dengan batas hilang kepala kemaluannya maka wajib atasnya dua kewajiban.

Pertama, mengqadha puasanya itu, dan yang

Kedua adalah:
a. Wajib membayar kifarat, yaitu memerdekakan seorang hamba yang Islam,
b. Jika tak sanggup hal tersebut atau tidak ada hamba yang dapat dibeli, maka wajiblah berpuasa 2 bulan berturut, tidak boleh seharipun batal,
c. Jika hal tersebut juga tak sanggup dilaksanakannya, maka wajiblah atasnya memberi sedekah makanan kepada 60 orang miskin 1 mud seorang,
d. Apabila ia tidak berkemampuan juga terhadap hal itu atau tidak adanya hamba sahaya muslim maka tetaplah ia berhutang selamanya hingga suatu ketika kelak bisa dilaksanakannya.

            Jika perlakuan di atas dilakukannya 2 hari, maka wajiblah atasnya dua kali lipat membayar kifarat itu. Akan tetapi apabila dalam satu hari dilakukannya beberapa kali , tiadalah berulang atau berlipat kifaratnya, hanya dikira satu kifarat sahaja.

            Berbicara tentang dosanya bukanlah urusan manusia karena melanggar perintah Allah ta’ala, maka Allah lah yang dapat mengampunkan dosanya, apabila ia bertaubat dan memohon keampunan Allah.

Kedua: Tentang Zakat Fitrah; Hakikat Hikmahnya

Rasulullah SAW telah bersabda dari Ibnu Abbas yang telah diriwayatkan oleh Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Hakim, sebagai berikut:

عَنْ اِبْنِ عَبَّاسَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: فَرَّضَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ صَدَقَةَ الْفِطْرِ طُهْرَةَ لِلصَّائِمِ مِنَ الَّلغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِيْنِ فَمَنْ اَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلاَةِ فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُوْلَةٌ وَمَنْ اَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلاَةِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَةِ. (رواه أبو داود وابن ماجه والحاكم وقال صحيح على شرط البخارى)

Sahabat Ibnu Abbas r.a. telah berkata: “Rasulullah SAW telah mewajibkan zakat fitrah sebagai pembersih bagi orang yang berpuasa dari perbuatan kotor dan tak berguna, dan sebagai penyantunan terhadap fakir miskin. Barang siapa membayar zakat sebelum pelaksanaan shalat ‘Id, maka itulah zakat yang makbul. Dan barang siapa membayar zakat sesudah pelaksanaan shalat ‘Id maka yang demikian adalah sedekah biasa (bukan zakat fitrah).” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Hakim. Dan Imam Hakim mengatakan bahwa hadits ini shahih, sejalan dengan riwayat Imam Bukhari).

Dari hadits di atas dapat kita pahami bahwa zakat fitrah adalah pembersihan atau penyucian bagi orang yang berpuasa, karena mungkin saja dalam puasanya itu ia melakukan perbuatan yang kotor dan tidak bermanfaat. Maka dengan membayar zakat fitrah Insya Allah bersihlah puasa kita dan merupakan ibadah yang suci sehingga Insya Allah tidak ada celanya.

Allah SWT telah mengaruniakan harta kepada orang-orang kaya, yakni hartawan di mana dengan kekayaannya itu ia dapat melancarkan penghidupannya dengan baik. Mereka mewah dengan bermacam-macam makanan dan pakaian. Maka untuk mensucikan nikmat atas pemberian Tuhan, itu pun termasuk hikmah kenapa diwajibkan kepada hartawan untuk mengeluarkan zakat termasuk zakat fitrah. Tetapi zakat fitrah mempunyai hikmahnya yang khusus yang dikaitkan dengan perintah Allah SWT melaksanakan puasa dengan baik, betul-betul karena Allah.

Ketahuilah bahwa wajibnya zakat fitrah itu dikarenakan oleh beberapa sebab:
a.     Islam
b.     Merdeka, bukan budak
c.     Terdapat kelebihan belanja buat keperluannya, anak dan istrinya serta tanggungan-tanggungannya buat malam hari raya dan siang harinya
d.     Dengan tenggelamnya matahari pada akhir Ramadhan

Penjelasan:

1.     Dengan syarat (b) di atas, yakni terdapat kelebihan belanja, andaikata orang meninggal dunia sebelum tenggelam matahari pada akhir Ramadhan maka tidak wajib atasnya zakat fitrah, begitu pula kalau seorang bayi lahir setelah tenggelam matahari pada malam hari raya, maka tidak wajib atasnya zakat fitrah. Hendaklah dapatnya dalam dua hari itu, yakni akhir Ramadhan, 1 Syawal atau malamnya.
2.     Boleh bagi barangsiapa yang wajib atasnya zakat fitrah bahwa dikeluarkan sejak mulai 1 Ramadhan dan sunat dikeluarkan sebelum sembahyang hari raya.
3.     Seorang wajiblah mengeluarkan zakat fitrah untuk dirinya, anaknya, dan orang-orang yang dalam tanggungannya yang menganut agama Islam.
4.     Zakat fitrah itu merupakan bahan makanan yang biasa di negeri itu seperti di negara kita ini adalah beras atau seperti di Irian Jaya adalah sagu yang kadarnya adalah 2,5 kg.
5.     Keadaan fitrah:
Hendaknya zakat itu yang bersih dari pada, umpamanya: tanah; hapak; berulat; barang yang sudah lama dan berubah rasa, warna, dan baunya. Perlu diketahui pula andaikata perbelanjaan kita sebagai yang tersebut pada syarat (c) diatas, hanya berselisih sedikit dari yang dihajati, maka hendaklah kelebihannya itu dikeluarkan untuk zakat dirinya, kemudian kalau lebih lagi maka untuk istrinya, jika masih lebih juga maka untuk anaknya yang paling kecil, kemudian jika berlebihan lagi maka untuk ayahnya, kemudian barulah untuk anaknya yang besar dan seterusnya sampai pada pembantu yang menjadi tanggungannya jika belanja tersebut masih ada lebihnya juga.

Catatan Penting:
1.     Apabila zakat fitrah itu diserahkan kepada amil zakat, baik sifatnya kepada pemerintah atau swasta, maka yang berhak menerima zakat itu adalah 8 macam mushtahiq:
·      FAKIR, yaitu mereka yang tidak mempunya harta dan tak dapat berusaha atau ada usaha tetapi tidak mempunyai harta dan tak cukup usahanya itu hanya tak sampai 50% untuk membelanjai rumah tangganya. Umpamanya seorang keperluanya Rp. 100,- sedang di dapatnya Rp. 30,- atau Rp. 40,-

·      MISKIN, yaitu orang yang mempunyai harta dan usahanya, tetapi usahanya tidak mencukupi baginya dan senantiasa kekurangan, umpamanya ada hartanya dan usahanya sedang itu hanya menghasilkan Rp. 70,- sehari, padahal pembelanjaanya semestinya menurut kebiasaan Rp.100,- perhari

·      ‘AMIL, yaitu mereka yang disuruh oleh kepala agama (raja) untuk mengumpulkan zakat yang akan di bagi-bagi kepada yang mustahaknya, syarat menjadi ‘amil itu hendaklah orang Islam, Merdeka, Mukallaf, Laki-laki adil, dapat melihat dan mendengar (jangan buta dan pekak).

·      MUALLAF, yaitu mereka yang baru masuk Islam, diberikan kepadanya zakat agar menarik perhatian dan menjinakkannya, hingga keislamannya bertambah kokoh dan imannya menjadi kuat.

·      HAMBA MUKATAB, ialah hamba yang dijanjikan akan dimerdekakan oleh tuannya jika membayar uang yang lain-lain kepadanya.

·      GHARIM, yakni orang yang berhutang yang tidak sanggup untuk membayarnya, atau berhutang kepada seseorang oleh karena keperluan masyarakat, dan lain-lainnya.

·      FISABILILLAH, li’ilai kalimatillah, berjuang dan berperang melawan orang kafir, guna untuk mempertahankan dan menegakkan agama Allah atau jalan untuk ketinggian agama Allah SWT.

·   IBNUSSABIL, yaitu mereka yang musafir yang bukan safar (perjalanan)  maksiat, kebetulan kehabisan perbelanjaan ditengah perjalanannya, sedangkan yang cukup belanjanya, maka kepada yang demikian tidak di berikan zakat.

2.     Memberikan zakat fitrah kepada satu orang saja.
Biasanya pada setiap Dayah atau Pesantren para murid memberikan zakatnya kepada ulama di pesantren tersebut, dan zakat fitrah itu adalah hak beliau dan tidak dibagi-bagikan lagi kepada salah satu snif yang delapan di atas. Apalagi pada semua snif. Ini bertentangan dengan mazhab Syafi’i, tetapi inilah kenyataan kejadian. Maka bolehkah hal demikian tersebut? Menurut mazhab Syafi’i tidak boleh, tetapi harus dibagi-bagikan kepada beberapa snif yang ada. Akan tetapi menurut pendapat Ibnu Ujail adalah boleh. Begitu tersebut dalam Kitab Fathul Mu’ain. Ibnu Ujail bukanlah seorang yang bodoh tentang apa yang dimaksudkan dalam kitab suci Al-Qur’an mengenai snif yang 8 di atas. Namun, dalam Kitab Mizan Sya’rani terdapat nash yang berbunyi:

وَمَنْ ذَلِكَ قَوْلُ أَبِى حَنِيْفَةَ إِلَى أَنْ قَالَ: وَوَجْهُ اْلأَوَّلِ أَنَّ الْمُرَادَ بِصِيْغَةِ جَمْعِ الْفُقَرَاءِ فِىْ آيَة "إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِيْنِ" الْجِنْسُ وَكُلُّ مَنْ كَانَ فَقِيْرًا اُعْطِيَ الزَّكَاةَ وَلَوْ كَانَ وَاحِدًا. (الميزن)
Menurut pendapat Abu Hanifah, pengertian yang pertama adalah bahwa yang dimaksud dengan pola jamak lafal al-fuqara’ pada surat at-Taubah ayat 60: “Sesungguhnya zakat itu bagi kaum fakir miskin”, adalah isim jenis (spesies). Karenanya maka setiap orang fakir berhak diberi zakat walaupun hanya satu orang saja.


Kesimpulan
Marilah kita umat Islam di mana saja kita berada dapat mencamkan rahasia-rahasia puasa dengan hikmah-hikmahnya menurut kemampuan kita. Marilah kita semua menyesali perbuatan kita dan tindak tanduk kita selama ini. Kita menggebu-gebu untuk keberhasilan pelaksanaan syariat Islam tetapi setelah berhasil menurut apa yang telah kita dapati maka mulailah sirna satu persatu, tekad-tekad kita dan cita-cita kita. Karena tekad dan cita-cita itulah kita bersungguh dan berjuang untuk memperolehnya dan berhasil di alam nyata. Akan tetapi setelah kita memperolehnya kita lupa sama sekali atas tekad kita itu dengan segala macam predikat yang kita ungkapkan. Apakah itu predikat pelaksanaan syariat Islam, apakah itu predikat agar Islam berdaulat di daerah umat Islam, tapi akhirnya semuanya adalah lacur belaka. Hendaklah kita menyadari, janganlah nilai-nilai yang jelek ini menjadi warisan kita kepada generasi anak cucu kita yang akan datang. Karena apabila Allah bertindak lagi kepada umat Islam ini, maka Islam dan umat Islam dengan segala kejayaannya akan hancur berantakan yang tidak bisa dan tidak mungkin secara adat ditumbuhkan lagi oleh generasi anak cucu kita, sehingga akan tinggallah semboyan belaka, “adat bak poe teumeuruhom, hukom bak syiah kuala”, dan sebagainya-sebagainya.

Inilah yang diperingatkan oleh Imam Syafi’i r.a. dalam masa hidupnya sekian abad dahulu
الاسلام محجوب بالمسلمين
Islam itu terdinding dengan umat Islam sendiri.

Kata mutiara Imam Syafi’i ini menjadi hikmah penting dan semboyan utama bagi Syeikh Muhammad Abduh Syaikhul Azhar dan Syaikh Jamaluddin Al Afghani, yaitu dua orang ulama Islam serta pejuang Islam yang telah berbuat untuk kejayaan Islam di Timur Tengah pada umumnya dan di Mesir pada khususnya. Sehingga sampai kedua pejuang ini berhijrah ke Prancis untuk memperjuangkan kemerdekaan negeri Islam dan umat Islam, dan oleh karena politik yang dikembangkan oleh penguasa-penguasa Islam di Arab merugikan Islam dan memundurkan Islam dan umat Islam itu sendiri. Maka Muhammad Abduh menafsirkan kata Imam Syafi’i dengan kalimat:

نَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ كَلِمَةِ السِّيَاسَةِ وَمِنْ مَعْنَ السِّيَاسَةِ وَمِنْ كُلِّ حَرْفٍ مِنْ حُرُوْفٍ السِّيَاسَةِ.
Kami berlindung kepada Allah dari kalimat politik, dari makna politik, dari setiap huruf dari huruf-hurufnya politik.

Itulah penafsiran Syeikh Muhammad Abduh seorang alim besar Ahlussunnah Wal Jamaah di Mesir yang bermazhab Hanafi, dan pernah menjadi Syaikhul Azhar dan mufti besar di Mesir.

Allah berfirman dalam Al-Qur’an Surat Yunus ayat 15:

Katakanlah: "Hai manusia, Sesungguhnya teIah datang kepadamu kebenaran (Al Quran) dari Tuhanmu, sebab itu barangsiapa yang mendapat petunjuk maka sesungguhnya (petunjuk itu) untuk kebaikan dirinya sendiri. dan barangsiapa yang sesat, maka sesungguhnya kesesatannya itu mencelakakan dirinya sendiri. dan Aku bukanlah seorang Penjaga terhadap dirimu".

Dalam surat Al-An’am ayat 90, Allah SWT berfirman:

Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka. Katakanlah: "Aku tidak meminta upah kepadamu dalam menyampaikan (Al-Quran)." Al-Quran itu tidak lain hanyalah peringatan untuk seluruh ummat.

Dalam Surat Al-Baqarah ayat 38, Allah berfirman:

Maka barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati".

وَدَعَا رسول الله صلى الله عليه وسلم: شَأْنِ وَقْعَةِ الطَّائِف اَللَّهُمَّ اهْدِ قَوْمِ فَإِنَّهُمْ لاَيَعْلَمُوْنَ.
“Yaa Allah tunjukilah kaumku karena sesungguhnya mereka masih belum mengetahuinya juga.”

Rasulullah SAW telah berdo’a berdasarkan wahyu yang diturunkan Allah kepada beliau di Mekkah: Tunjukilah kami jalan yang lurus. (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.


 Sumber : 
Abuya Prof. Dr. Tgk. H. Muhibbuddin Waly Al-Khalidy








Demikianlah Artikel Fatwa Rasulullah Tentang Puasa, Semoga dengan adanya artikel singkat seperti Informasi postingan Fatwa Rasulullah Tentang Puasa ini, Anda benar benar sudah menemukan artikel yang sedang anda butuhkan Sekarang. Jangan lupa untuk menyebarluaskan informasi Fatwa Rasulullah Tentang Puasa ini untuk orang orang terdekat anda, Bagikan infonya melalui fasilitas layanan Share Facebook maupun Twitter yang tersedia di situs ini.