Tampilkan postingan dengan label manuskrip. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label manuskrip. Tampilkan semua postingan

Manuskrip Incaran Ust. Abdus Somad (Final)

Selain manuskrip (naskah klasik) karya Nuruddin Ar-Raniry berjudul Shirat al-Mustaqim berkaitan dengan fiqih ibadah, seperti membahas persoalan thaharah (bersuci), shalat, puasa, zakat dan haji, dan segala persoalan yang terjadi di setiap bagian.

Karya lainnya -telah dikupas sebelumnya- adalah karya Abdurrauf al-Jawi al-Fansuri berjudul Tarjuman al-Mustafid sebagai kitab tafsir berbahasa Melayu (Indonesia) pertama di Dunia. Karya dan sumber penafsirannya  merujuk kepada beberapa kitab ulama tafsir mu'tabarah, seperti Tafsir al-Bawdhawi.

Adalah manuskrip tentang Hadist yang juga disinggung oleh Ust. Abdus Somad. Hal tersebut begitu penting sebagaimana disebut dalam ceramahnya di Banda Aceh. Kitab Hadist Arba'in (Hadist Empat Puluh) sebuah naskah yang dicari-cari oleh beliau. Hadist Arba'in adalah kitab hadist yang memuat  40 pilihan Hadist Nabi Muhammad, berkaitan dalam beragam hal dan persoalan. Temanya juga beragam.

Banyak riwayat menyebutkan keutamaan menghafal dan mempelajari kitab Hadist Arba'in. Dalam catatan para ulama, beberapa Hadist Nabi mengisyaratkan akan keutamaan Hadist Arba'in, walaupun riwayat-riwayat tersebut dikategorikan Hadist Dhaif, dan ada juga yang Hasan.  Imam al-Nawawi dalam mukaddimah kitabnya al-Arba'in al-Nawawi menyebutkan bahwa setiap orang yang menghapal 40 Hadist dari perkara agamanya, maka dia akan dikelompokkan ke golongan para fuqaha (ahli fiqih) dan para ulama.

Baca juga; Manuskrip Incaran Ust Abdus Somad (1)

Ternyata, hasil penelusuran saya tentang Hadist Arba'in di Aceh-Nusantara cukup beragam. Beberapa teks tersebut menunjukkan perbedaan konten Hadist, isi bahasan dan pendahuluannya. Variasi kandungan tersebut menunjukkan keluasan pengetahuan dan keberagaman pemahaman dalam penyampaian ilmu Hadist oleh ulama-ulama dan Ahli Hadist terdahulu.

Varian konten tersebut dapat diasumsikan sebagai sumber rujukan hadist dari ulama yang berbeda, dan juga diakibatkan kondisi dan situasi saat penulisan ataupun penyalinan teks. Tentu ada beberapa faktor lainnya yang melatar belakangi lahirnya teks yang berbeda tersebut.

Akan tetapi, Hadist Arba'in di Aceh -dan kemungkinan di Nusantara- paling banyak merujuk pada versi berikut ini.

Salah satu Hadist Arba'in yang menjadi kajian ulama Aceh dan Nusantara adalah manuskrip Hadist Arba'in koleksi Museum Aceh nomor 07.0578, yang ditulis atau disalin dalam bentuk terjemahan berbaris. Matan teks dalam bahasa Arab dan terjemahan miring dalam aksara Jawi berbahasa Melayu/Indonesia.
Gb. 01 Halaman awal teks Hadist Arba'in. Ms. 07.578 Koleksi Museum Aceh
Teks naskah Ms. 07.0578 dimulai bahasan Hadist pertama dengan "Ash-Shalat 'imād ad-dīn..." dengan terjemahan dibawahnya "Sembahyang itu tiang agama..." Sebagaimana Gb. 02 di bawah ini

Gb. 02 Halaman dua teks Hadist Arba'in. Ms. 07.578 Koleksi Museum Aceh.

Baca juga: Manuskrip Incaran Ust. Abdus Somad (2)

Hadist yang sama juga terdapat pada naskah lainnya koleksi masyarakat di Aceh Besar. Namun sayang, naskah ini telah dijual ke luar Aceh. Saya sempat mengabadikan beberapa halaman pada tahun 2016.

 Gb. 03. Halaman awal teks Hadist Arba'in. Ms Koleksi Pribadi Masyarakat.
Hadist Arba'in  ini juga koleksi Museum Aceh di Banda Aceh, nomor aktuil 07.1197. Sebagaimana teks di atas tentang sistem penulisan matan dan terjemahannya, maka pada teks ini juga ditemukan yang sama. Matan teks ditulis di baris atas dengan font lebih besar, sedangkan terjemahan ditulis di bawah teks mata dengan posisi miring.

Naskah lainnya di koleksi yang sama dengan nomor 07.1223 juga memiliki teks yang sama dengan versi  di atas. Walaupun teks ini disalin dengan kurang baik tetapi juga memiliki terjemahan berbaris.

Gb. 04. Halaman dua teks Hadist Arba'in. Ms. 07.1223 Koleksi Museum Aceh.

Masih banyak manuskrip Hadist Arba'in khususnya yang belum dikupas, di koleksi Museum Aceh saja tak kuran dari 10 naskah Hadist Arba'in. Hal tersebut tentu belum ditelusuri di koleksi masyarakat dan lembaga perseorangan, misalnya Yayasan Ali Hasjmy dan Zawiyah Tanoh Abee.

Sebalik itu, ilmu Hadist dan kajian Hadist masih kurang populer di Aceh bila dibandingkan dengan kajian ilmu fiqih dan tasawuf. Hal tersebut jelas terlihat dari jumlah kuantitas khazanah yang tersebar saat ini. Namun, hal tersebut bukan berarti kajian Hadist terabaikan, akan tetapi kadangkala terintegrasi dalam kajian-kajian lainnya. Sebab jika melihat tradisi terjemahan berbaris pada naskah-naskah di atas, maka tradisi penulisan (pengajaran) dan transmisi keilmuan Hadist pernah berkembang di Aceh. Wallahu a'lam.

Manuskrip Incaran Ust. Abdus Somad (2)

Manuskrip ataupun kitab kedua yang menjadi pembahasan Ust. Abdus Somad saat "Zikir International" di Banda Aceh adalah Shirat al-Mustaqim. Kitab fiqih 'ubudiyah pertama dalam bahasa Jawi adalah karya Shaykh Nuruddin bin Ali Hasanji Ar-Raniry. Sesuai dengan nisbahnya, ia berasal dari Ranir, India. Pada tahun 1637, ia tiba dan berkiprah di Kesultanan Aceh Darussalam.
Halaman Pertama Kitab Shirat al-Mustaqim karya Nuruddin Ar-Raniry (Koleksi Museum Aceh)
Beberapa penelitian menyebutkan kitab Shirat al-Mustaqim telah ditulis pada saat Nuruddin Ar-Raniry tiba di Aceh era Sultan Iskandar Tsani, namun baru diselesaikan pada Sultanah Safiyatuddin Syah Tajul Alam (1641-1675) sebelum Nuruddin Ar-Raniry kembali ke India.

Dalam salah satu teks Shirat al-Mustaqim menyebutkan  selesainya penulisan pada hari Selasa 19 Safar  1054 H bertepatan dengan 9 November 1644.

Judul Naskah "Shirat al-Mustaqim" merupakan bagian dari iftitah al-Quran. 
Itu artinya, tahun tersebut merupakan tahun terakhir Nuruddin Ar-Raniry di Aceh, karena di tahun yang sama, ia kembali ke India dan tak pernah kembali lagi ke Aceh, tanah yang menempatkannya di posisi srategis dan telah melahirkan banyak karya disini.

Memang, ulama asal India ini masih kontroversi. Namun demikian, karya-karyanya sangat bermanfaat dan masih menjadi referensi hingga hari ini. Termasuk Shirat al-Mustaqim yang menjadi salah satu rujukan bagi ulama-ulama di Nusantara. Bahkan kitab ini menjadi pedoman untuk kerajaan-kerajaan Islam di luar Nusantara (sekarang: Indonesia), seperti di Malaysia, Thailand Selatan, Filipina, Brunai Darussalam dan lainnya.

Dalam ceramah Ust. Abdus Somad, ia menyampaikan bahwa Kitab Shirat al-Mustaqim menjadi rujukan utama atas lahirnya kitab Sabil al-Muhtadin lit-Tafaqquh fi Amri ad-Din (Sabilal Muhtadin) yang menjadi bacaan wajib di dayah-dayah di Aceh. Kitab tersebut karya Shaykh Muhammad Arsyad al-Banjari seabad setelah meninggal Nuruddin Ar-Raniry di India.

Baca juga: Manuskrip Incaran Ust. Abdus Somad (1)

Shirat al-Mustaqim salah satu bagian sumber rujukan ataupun pedoman yang digunakan oleh Shaykh Arsyad al-Banjari dalam kitabnya. Di pembukaan kitabnya disebutkan:
Kitab Sabilal Muhtadin merujuk pada Kitab Shirat al-Mustaqim (Koleksi Museum Aceh)

"Adapun kemudian daripada itu, maka berkata seorang faqir yang sangat berkehendak kepada Tuhannya yang Maha Besar yang mengaku ia dengan dosa dan taqsir yaitu, Muhammad Arsyad anak Abdullah dalam daerah negeri Banjar. Mudah-mudahan kiranya mengampuni baginya dan bagi sekalian Islam Tuhannya yang menjadikan sekalian Alam. Bahwasanya kitab seorang alim yang lebih yaitu Shayk Nuruddin Ar-Raniry nama negerinya, yang dinamai ia Shirat al-Mustaqim pada ilmu fiqih atas madhab Imam Syafi'i radhiya Allah Ta'ala 'anhu, daripada sebaik-baik kitan yang dibahasakan dengan bahasa Jawi, karena bahwasanya segala masalahnya diambil ia dari beberapa kitab fiqih yang berbilang istimewa pula." (Sabil al-Muhtadin lit-Tafaqquh fi Amri ad-Din)

Kitab fiqih Shirat al-Mustaqim karya Nuruddin Ar-Raniry menjadi inspirasi untuk Shaykh Muhammad Arsyad al-Banjari dalam mengarang kitab Sabil al-Muhtadin yang juga menelaah tentang fiqih. Selain kekagumannya terhadap manfaat dari kitab Shirat al-Mustaqim pada periode Nuruddin ar-Raniry dan satu abad berikutnya di periode Muhammad Arsyad al-Banjari (1710-1812).
Judul Kitab Sabilal Muhtadin Lit-Tafaqquh fi Amr ad-Din karya Muhammad Arsyad al-Banjari


Selain itu, Muhammad Arsyad al-Banjari juga menyebutkan beberapa alasan lainnya terhadap  penulisan kitabnya. Dalam pandangan Shaykh Muhammad Arsyad al-Banjari bahwa tidak ada lagi naskah (kitab) orisinil karya tangan Nuruddin Ar-Raniry, sehingga mengakibatkan terjadi beberapa perbedaan pada kitab-kitab salinan.

Alasan lainnya, Kitab Shirat al-Mustaqim karya Nuruddin Ar-Raniry telah disisipi beberapa kosakata bahasa Aceh, sehingga tidak dapat dipahami oleh pelajar non-Aceh. Istilah-istilah tersebut semakin banyak ditemukan pada naskah-naskah salinan yang tersebar.
Salah satu halaman salinan naskah  "Shirat al-Mustaqim" yang dipenuhi catatan-catatan (hasyiah) (Koleksi Museum Aceh)

Parateks (salah satu bagian dari ilmu Filologi)  jadi catatan menarik dan penting bagi para peneliti naskah, sebab goresan tambahan tersebut sangat penting untuk memahami konteks dan situasi saat itu. Sering kali, teks yang sama judul dan pengarang belum tentu sama kualitas naskah diakibatkan beda penyalin. Kadang, satu naskah memiliki catatan-catatan pinggiran, sedangkan yang lain tidak sama sekali. Disinilah keunikan mengkaji naskah atau manuskrip. 

Jika ditinjau kandungannya, kitab ini membahas pokok-pokok ibadah yang terdapat dalam Rukun Islam, mulai shalat dan bahasan terkait lainnya (wudhu', tayammum, dan lainnya), juga mengkaji tentang puasa, zakat. dan haji. Walaupun pembahasannya dasar-dasar peribadatan dan keagamaan, namun ia merujuk kepada kitab-kitab muktabar dari para ulama-ulama besar di Jazirah Arab.  

Kitab Sirat al-Mustaqim merujuk kepada kitab-kitab berikut ini:
1. Kitab Minhaj al-Thalibin karya Imam Nawawi. Ulama tersohor ini bernama lahir di kampung Nawa, Syiri 631 H /1233 M dan meninggal  di wilayah yang sama tahun 676 H / 1277.

2. Kitab Manhaj al-Thullab karya Abi Zakariyya Anshari. Kitab penting dalam meninterpretasi (syarah) kitab tersebut di atas, Minhaj al-Talibin. Ulama ini bernama lengkap Zakariya ibn Muhammad ibn Abn ibn Zakariyya, lahir di Sanika- Mesir tahun 823 H/ 1420 M.

3. Kitab Fath al-Wahhab adalah kitab komentar terhadap Manhaj al-Thullab merupakan pengarang yang sama, Imam Abi Zakariyya Yahya Ansari.

4. Kitab Hidayat al-Muhtaj Sharh ila Mukhtasar Ibn Hajj karya Imam Shihab ad-Din Ahmad Shaykh Ibn Hajar Makki (909-974 H/ 1504-1567). Dia adalah salah seorang alim yang bermazhab Syafi'i di Mesir, dan kemudian wafat di Mekkah.

5. Kitab al-Anwar li-'Amal al-Abrar karya Imam Ardabili, Yusuf Ibrahim, Jamaluddin Ardabili dari Azerbaijan, meninggal 799 H/ 1397

6. Kitab 'Umdat as-Salik wa 'Uddat an-Nasik karya Imam Ahmad ibn an-Naqib al-Misri (meninggal 769 H/ 1368). Lahir di Kairo Mesir 702 H.

Kitab Sirat al-Mustaqim dapat disebut salah satu kitab terkenal dan menyebar secara luas di Asia Tenggara, terutama daerah-daerah yang memiliki kerajaan Islam. Hal tersebut tidak terlepas dari kebijakan Kesultanan Aceh (red. Pemerintah) dalam menyebarluaskan karyanya tersebut.

Dukungan Kerajaan Aceh, khususnya peran dari Sultanah Safiyatuddin Syah Tajul Alam yang memberikan dukungan penuh untuk penyelesaian kitab fiqih berbahasa Melayu perdanan di Melayu Nusantara telah menempatkan posisi Aceh di puncak keselarasan. Peran pemerintah dalam legalitas pemerintahan yang baik, memberikan dukungan dan fasilitas lainnya kepada ulama untuk melahirkan satu karya yang fenomenal.

Saat ini, kitab Shirat al-Mustaqim dapat dijumpai di banyak tempat koleksi manuskrip di Aceh, baik pribadi ataupun lembaga. Koleksi Museum Aceh dapat ditelusuri nomor Inv. 07.0219, No. 07.1199, No. 07.670, No. 07.878, No. 07.532, No. 07.953, No. 07.793 dan No. 929. Sedangkan di Ali Hasjmy No. 134/FK/6/YPAH/2005, 211/FK/5/YPAH/2005 dan 160/FK/4/YPAH/2005.

Sedangkan Kitab Sabilal Muhtadin juga dapat dijumpai di Museum Aceh berjumlah 4 manuskrip dengan Nomor Inv. 07.001, No. 07.463, No. 07.464 dan 07.905.

Selain kedua lembaga di atas, Zawiyah Tanoh Abee Aceh Besar juga banyak mengoleksi kedua kitab tersebut. Tentunya juga dikoleksi pribadi di masyarakat Aceh. Namun sayang, tidak ada data inventarisasi naskah-naskah di koleksi pribadi seluruhnya Aceh, termasuk di Pemerintah Aceh.




Referensi dari berbagai sumber jurnal, media cetak dan online serta manuskrip



Ar-Rahmah fi al-Tibb wa al-Hikmah: Manuskrip Perobatan Aceh-Melayu



Kitab Ar-Rahmah fi al-Tibb wa al-Hikmah merupakan karya Syaikh ‘Abbas Kutakarang, salah seorang ulama masyhur dan aktif dalam dunia intelektual dan transmisi keilmuan di Aceh (termasuk dunia Melayu) antara abad ke 18-19 Masehi. Keilmuannya tidak hanya fokus pada bidang agama saja, tetapi juga ikut serta berkonstribusi dalam dunia pendidikan, dakwah, astronomi, peperangan, perobatan dan sebagainya. Ia juga mennjadi penasehat Kerajaan Aceh dalam bidang keagamaan sekaligus pemimpin perang Aceh melawan kolonial Belanda hingga meninggal dunia. 

Karya Syaikh 'Abbas Kutakarang dalam bidang kedokteran dan medical (perobatan) dapat dianggap spesial dan intelektual. Terus terang,  kajian ini di Aceh -dulu dan sekarang- sangat minim sekali, bahkan hampir tidak terekam sama sekali. Walaupun memiliki tradisi pengobatan tradisional, sebagian masyarakat Aceh hanya tahu sekilas Kitab Tajul Muluk, sebagai salah satu kitab perobatan klasik. 

Pada dasarnya, Kitab Ar-Rahmah fil Tibb wal Hikmah salah satu kitab perobatan dan kedokteran paling lengkap di Aceh yang lahir sejak abad ke-19. Ia memiliki kandungan lengkap tentang teori dan praktik perobatan yang telah dikombinasikan dengan konteks Aceh dan Melayu, baik dari sisi material (bahan) obat-obatan, proses mekanisme dan sebagainya.  Kitab ini juga masih sangat relevan dengan kedokteran zaman kekinian (perobatan modern). 

Khusus dalam kitab perobatan ini, Syekh 'Abbas Kutakarang menyebutkan secara ringkas biografinya dalam pembukaan (oxordium) kitabnya;
“Adapun kemudian dari itu, maka berkata hamba Allah yang dinamai dengan ‘Abbās yang mengharap Tuhannya, Allah Ta‘ālā yang Tuhan sekalian manusia, Shāfi’i nama madhhabnya, Aceh nama negerinya, masjid al-Jami’ Ulee Susu tempatnya kediaman dan kejadiannya”.

Kitāb Ar-Raḥmah dibagi ke dalam 5 bab utama, antaranya:
1. Bab I tentang ilmu tabi’at dan karakteristik manusia.
2. Bab II tentang makanan baik dan sehat, mengandung khasiat, obat dan bermanfa’at.
3. Bab III tentang hal yang baik kesehatan badan.
4. Bab IV tentang perobatan untuk penyakit spesifik di tubuh.
5. Bab V tentang pengobatan secara umum dan bersifat temporer di badan.
Apabila menilik kitab Ar-Raḥmah fil Tibb wal Hikmah, maka dapat disebut Syaikh ‘Abbas Kutakarang termasuk ulama dan penulis aktif di Aceh periode ke-19-20 M. Kitab tersebut semakin menambah referensi bagi para ilmuwan untuk melihat Aceh dalam beragam perspektif dan multidisiplin ilmu. Terutama jaringan keilmuan Aceh-Melayu-Arab yang terus direkat pada akhir-akhir masa Kesultanan Aceh dan era kolonial Belanda-Inggris di dunia Melayu dan Nusantara. 

Kitab ini diterjemahkan dari kitab berbahasa Arab, dengan judul yang sama, dimulai penyalinan dan penerjemahan kitab ini mulai 2 Muharram 1266 H, hingga selesai kurang lebih 4 (empat) tahun lamanya. Itu bukan waktu yang singkat, kerja kerasnya tersebut bukan sebatas menyalin huruf perhuruf, tetapi ia juga menerjemahkan, mempelajari dan menganalisi resep-resep perobatan di dalam kitab tersebut, sehingga itu menunjukkan ia menguasai beberapa hal dalam bidang perobatan.

Saat ini, manuskrip Ar-Rahmah fil Tibb wal Hikmah adalah satu-satunya (codex unicus) koleksi Yayasan Pendidikan dan Museum Ali Hasjmy (YPMAH) di Banda Aceh, lembaga yang menyimpan beribu dokumen penting yang diprakarsai oleh (alm) Ali Hasjmy. Setelah membaca keseluruhan isinya, ternyata manuskrip koleksi YPMAH merupakan salinan dari kitab sebelumnya, itu artinya masih ada varian teks [manuksip] lainnya selain koleksi YPMAH di muka bumi ini, walaupun masih misterius atawa belum ditemukan.  

Melihat manuskrip yang langka dan pentingnya kandungan tersebut, maka buku ini merupakan transliterasi/transkripsi teks tersebut dalam aksara Latin disertai aksara Jawi (Arab-Aceh/Melayu). Kami berusaha semaksimal mungkin untuk menghadirkan teks manuskrip sedetail dan sebaik mungkin. Oleh karena itu, buku yang hadir dalam "wajah baru" itiu merupakan kolaborasi kajian teks-naskah (filologi) dan medical scientis.

Maka buku ini hadir dalam 5 (lima) bagian:
1.  Tentang naskah (sejarah, biografi penulis dan asbab kitab)
2.  Transliterasi/transkripsi teks ke dalam aksara Latin
3.  Glosari 
4.  Teks dalam aksara (huruf) Jawi.
5.  Bibliografi dan Index.


Buku ini dikaji oleh Dr. Affendi Shafri (pensyarah di IIUM Pahang Malaysia) dan Hermansyah (Dosen di UIN Ar-Raniry-Aceh) diterbitkan oleh Klasika Media Malaysia

Serah terima buku dari perwakilan Pengkaji dengan Penerbit

Sepucuk Surat Tgk Chik di Tiro

Sepucuk surat masih tersimpan rapi di laci meja kerja Belanda di Kutaradja (Banda Aceh). Surat tersebut dari Faqir Haji Syekh Saman di Tiro, begitulah nama di dalam Surat itu ditujukan kepada Residen Belanda van Langen, 1885. Surat-surat ini bukan kali pertama dikirim ke Belanda. Sebagai seorang terpelajar dan alim yang belajar di Haramain (terutama di Mekkah) sangat mengerti akan akibat perang yang telah terjadi, dan ia tidak ingin menambah keterpurukan tersebut.

Isi surat Tgk Chik di Tiro hanya dua poin utama, selain memintaf maaf kepada dunia telah menyerang Kesultanan Aceh sebagai negara yang berdaulat dan bangsa yang merdeka, yang masih terikat kerjasama -selain dengan kerajaan Islam di Melayu-Nusantara- dengan beberapa bangsa lainnya saat itu; Inggris, Amerika, Perancis dan Turki.

Antara tahun 1884-1889 Tgk Chik di Tiro bahkan berulang kali mengirim surat kepada pemerintahan di Kutaradja. Inti suratnya hampir sama, yaitu menyeru untuk masuk Islam;
Jika tuan-tuan dengar dan turut [masuk Islam] seperti nasihat kami ini dapat untung baik, dapat kemegahan, jadi tuan akan menjadi kepala kami dan dapat harta, seperti mereka yang telah lari ke pihak kami telah memperoleh harta dan hidup dengan senang dan berjalan tanpa mengikuti perintah orang lain, tenang tidur dan makan tanpa menghindari mereka atau menyalahkan mereka
Bebas sebagai burung di hutan dan ikan dalam air, dan mendapat sejumlah wanita yang baik-baik dan tidak bergaul dengan orang lain, semua menurut hukum-hukum Islam.

Permintaan sekaligus "kata dua" (dalam bahasa Aceh atau Melayu lama diartikan sebagai ultimatum) adalah; pertama Belanda yang ada di Aceh diharapkan masuk Islam. Dan pilihan kedua dari permintaannya; atau keluar dari Aceh secara baik-baik.

Kedua pilihan itu untuk mengakhiri invansi Belanda ke Aceh sejak Maret 1873 sampai tahun 1885 dikuasai tak lebih luas dari kawasan Keraton Sultan (Dalam) dan area Mesjid Raya, Ulee Lheu dan Neusu.  Singkatnya dapat dikatakan, Krueng Aceh menjadi pembatas wilayah kekuasaan Belanda dan wilayah "Mujahidin" di Banda Aceh. Walaupun zona perang lebih luas dari wilayah di atas, sebab Belanda memusatkan pangkalan-pangkalan perang di setiap kuala-kuala di Aceh untuk memutuskan hubungan diplomasi antara Aceh dengan pihak luar.


Surat tersebut baru dibalas pada tahun 1888, dengan menolak seruan Tgk Chik di Tiro. Sebuah keputusan yang melahirkan duka berkepanjangan bagi Belanda, sebab akibatnya harus banyak korban jiwa dan anggaran dana perang yang tak sedikit harus dicurahkan ke Aceh.

Bagi Belanda, Tgk Chik di Tiro tidak dapat diukur jiwa dan taktik perangnya dengan pemuka-pemuka Aceh lainnya, ia sendiri menolak jabatan dari Kerajaan Aceh dan apalagi Belanda, maka dalam suratnya hanya termaktub "yang khadam ureung muprang fi sabilillah di tanoh Aceh Darul Aman" sebuah kalimat yang tulus, ikhlas, tegas dan tawadhu'. Karenanya, ia menjadi orang paling berani di garis depan dalam melawan Belanda, dan orang paling disegani dalam tataran penguasa Aceh karena berani menyentil penguasa (uleebalang) yang membelot dan bekerjasama dengan Belanda.

Melalui nasehat Tgk Chik di Tiro jugalah Sultan Aceh Muhammad Daud Syah hijrah ke Keumala, Pidie Dalam. Ia dapat konsentrasi penuh di sana. Sebagai simbol negara, ia tidak dibenarkan untuk menyerah dan menjadi simbol sebuah bangsa. Tetapi, Tgk Chik di Tiro bukan bersama Sultan di Pedalaman Pidie, tetapi lebih memilih berjuang di kawasan Aceh Besar, mengambil barisan terdepan dan terdekat ke Koetaradja (Banda Aceh) untuk menyerang Aceh.

Dari bubuhan cap Tgk Chik di Tiro juga terlihat tidak ada jabatan yang ingin disandangnya, tidak ada kekuasaan yang diharapkannya.  ditengah tertulis "Syaikh Saman Tiro" dilingkari dengan bintang lima sudut dan tulisan "shahih".



 Dari ketiga surat di atas ditujukan kepada orang yang berbeda, terutama para Uleebalang di Banda Aceh. Demikian, cap Tgk Chik di Tiro juga sama dengan surat  yang diajukan ke Belanda, untuk memilih masuk Islam atau meninggalkan Aceh.

Surat-surat tersebut menjadi bukti bahwa ia mendahulukan diplomasi dan kemaslahatan umat lebih besar dan utama. Namun, sikap penjajahan Belanda dan disertai sebagian sikap uleebalang Aceh yang  menjadi "lamiet" Belanda, memaksanya untuk memilih pilihan terakhir.

Ia berperang hingga akhir hayatnya. Namun, menurut sejarawan, Tgk Chik di Tiro meninggal pada tahun 1891 bukan dalam medan perang. Belum ada data tepatnya tanggal dan bulan secara umum tidak menyebut kecuali Ismail Jakub (1960) yang menyertakan pada tanggal 10 Jumadil Akhir 1308 H disertai "bertepatan dengan bulan Januari 1891". Tanggal tersebut, apabila saya konversi bertepatan dengan Rabu 21 Januari 1891.

Sedangkan Alfian menyebut "Setelah Tgk. di Tiro meninggal dunia pada 25 Januari 1891
ulama mi digantikan oleh anaknya Tgk. Mat Amin sebagai Teungku Chik". (1987: 160)



Tidak didapati tanggal yang akurat karena Tgk Chik di Tiro meninggal di Miureu (Mureu) Aneuk Galong Indrapuri, di benteng utama pejuang Aceh. Di sini ia lama bermukim dalam peperangan. Awalnya, perihal kepulangannya ditutupi oleh Mujahidin Aceh untuk tidak diketahui oleh banyak orang, termasuk Belanda. Sebab, isu syahidnya Tgk Chik di Tiro tersebut sering dihembuskan militer Belanda setiap perang untuk melemahkan pejuang Aceh.

Demikian juga sebab meninggalnya, dapat dipastikan karena sakit terkena wabah penyakit, bukan karena diracuni oleh orang Aceh (Njak Ubit) atas suruhan Belanda, sebagaimana disebut Jakub. Itu sebuah cara Belanda untuk memecah belah masyarakat Aceh.

Sebab, belakangan diketahui wabah penyakit ini menjadi sebuah penelitian Profesor C.A. Pekelharing dan Dr. C.W. Winkler  mengenai penyakit itu yang mayoritas terkena pada orang Aceh Besar dan orang Belanda, terutama di Aceh. Dalam laporannya pada tahun 1888 mereka berpendapat bahwa wabah ini disebabkan oleh infeksi. Barulah dalam tahun 1896 seorang asistennya, Dr. C. Eijkman, yang kemudian menjadi guru besar dan mendapat hadiah Nobel, menemukan bahwa penyakit itu disebabkan oleh ketiadaan vitamin BI yang terdapat pada kulit ari-ari beras. (1977:39)

Impian Tgk Chik di Tiro selalu ingin syahid di tengah medan perang, sebagaimana dalam Hikayat Prang Sabi yang selalu didengungkannya;
Meungnyo maté di rumoh inong, hanpue tanyong meugriet han sabé
Sakét teu that geucok nyawong, nyang kon keunong sinjata kaphé
Bah lam shaf prang mubak teugageueng, bah seulinteueng sinan meugulé
Ta niet droe keu ie sikureueng, bah teugageueng bak tapöh kaphé
Wahé teungku cut adoe meutuah, bèk lé dahsyah ta duk sabé
Meungna hajat ridha Allah, beudöh langkah jak prang kaphé


Pentingnya Digitalisasi Naskah: Dari Kisah Nyata

Siapa sangka, manuskrip tulisan tangan karya leluhur tempo doeloe yang berumur ratusan tahun tidak dapat dibaca lagi saat ini. Bukan karena hilang, bukan rusak fisiknya dan bukan juga dilarang baca, akan tetapi karena isi kandungannya tidak dapat terbaca lagi.

Ini salah satu kondisi riil yang banyak orang -termasuk pemerintah- mengabaikannya. Naskah yang dianggap tampak dari luar bagus, tetapi tidak dapat dibaca lagi isinya. Teks-teks tulisan di dalamnya rusak akibat zat asam tinta, dimakan rayap, ataupun rusak secara alami, yang berakibat pada musnahnya kitab-kitab tersebut, tepat di era yang modern nan serba canggih.

Parahnya kerusakan tersebut digerogoti dari dalam lembaran naskah aus akibat tinta yang merambah ke halaman-halaman lainnya. Banyak yang menyangka, fisik naskah yang masih utuh, dibungkus rapi dan  sampulnya baik-baik saja, ternyata di dalamnya telah hancur melebur kehitaman dengan tinta. Hal inilah yang tidak banyak diketahui oleh para kolektor di masyarakat, bahkan termasuk koleksi-koleksi di lembaga pemerintahan sekalipun.

Walhasil, sang kolektor -personal atau lembaga- hanya menyimpan lembaran kosong nan rusak, tetapi isinya tidak dapat dibaca lagi sebagian atau bahkan seluruhnya.

Rusaknya manuskrip-manuskrip akibat tinta, suhu cuaca, ataupun tempat penyimpanan yang tidak baik (stabil) adalah faktor umum di Aceh. Namun demikian, dapat juga kadaluarsa zat-zat campuran dalam tinta tersebut sehingga berefek pada lembar-lembar naskah yang telah tergores oleh zat kimia tidak dapat menetralisir dan bertahan sebagaimana layaknya kertas di era modern.

Dalam kasus di atas, saya banyak temui naskah-naskah tersebut di Aceh, baik di koleksi perpustakaan pribadi masyarakat, ataupun koleksi Museum Aceh dan lembaga swasta seperti Yayasan Ali Hasjmy dan Zawiyah Tanoh Abee. Seluruh lembaga yang sebutkan di atas mengoleksi ratusan naskah yang sebagian besar belum banyak dibaca, belum pernah dikaji apalagi didigitalisasi.

Salah satu kasus yang saya temui- dan sangat terkejut-  pada saat saya publikasi foto naskah Maulid Nabi koleksi Yayasan Ali Hasjmy dalam blog saya "Indahnya Manuskrip Maulid Nabi di Aceh" Desember  2015, yang ternyata halaman yang sama pernah difoto oleh bu Annabel Teh Gallop tahun 1993.

Foto yang saya upload diambil sekitar tahun  2011, atau mungkin lebih awal sedikit, maka tampak naskah sebagaimana di bawah ini yang hangus akibat zat tinta.

Naskah Koleksi Yayasan Museum Ali Hasjmy, dokumen foto sekitar tahun 2011
Naskah Koleksi Yayasan Museum Ali Hasjmy, dokumen foto sekitar tahun 1993

Ternyata, naskah yang sama pernah difoto oleh Dr. Annabel Teh Gallop yang ternyata naskah sebelumnya sangat mengejutkan indahnya. Ia memotret naskah tersebut saat Ali Hasjmy (alm) masih hidup sekitar tahun 1993. Beliau juga terkejut dengan kondisi foto naskah di atas, kemudian Bu Annabel mengirim foto naskah di bawah (tahun 1993) ke saya dan beliau bersedia untuk dipublis di sini.

Tentunya lebih jauh untuk berdiskusi dan memikirkan langkah-langkah apa yang baik untuk penyelamatan naskah yang sangat menyedihkan dan prihatin  dengan kondisi naskah yang saya publis sebelumnya.

Naskah di atas yang difoto pada tahun 1993 masih tampak sangat indah dan lengkap dengan ukiran bunga, warna hijau yang dominan lebih menonjol dari warna merah, biru dan kuning. Naskah yang berisikan tentang bait-bait pujian kepada Nabi Muhammad semakin indah dan lengkap dengan hiasan bunga tersebut.

Tetapi, kondisinya sekarang ini sangat prihatin. Walaupun sampul masih bagus dan terlihat sempurna, tetapi kandungan teks (tulisan) telah rusak akibat katajaman tinta. Apabila kondisi naskah di bawah ini terjadi pada tahun 2011, maka sudah barang tentu kondisinya sekarang (tahun 2017) semakin parah.

Kerusakan manuskrip akibat ketajaman tinta ini belum dapat solusi ampuh, bahkan dalam beberapa kasus teks  sama sekali tidak dapat dibaca isinya dalam waktu relatif singkat,  hal itu diakibatkan faktor-faktor lain yang mendukung percepatan kerusakannya. Jika itu terjadi, maka satu-satunya sikap yang harus disegerakan adalah digitalisasi naskah, atau proses pemotretan isi naskah segera mungkin.

Contoh lainnya dengan kasus yang sama juga saya temui pada saat saya menginventarisir dan mendeksripsi naskah koleksi Bapak Tarmizi A Hamid (sekitar tahun 2012). Salah satu naskah fikih yang tampak baik-baik saja di luar, ternyata di dalamnya hancur akibat zat tinta.

Bahkan lembaran-lembarannya tidak dapat dibuka perlembar secara sempurna akibat kerusakan tersebut. Naskah di atas koleksi Bapak Tarmizi A Hamid dapat dilihat dua perbedaan. Matan teks (teks utama) di tengah masih untuk sempurna. Akan tetapi, teks disekelilingnya rusak total (hangus) dan sama sekali tidak dapat dibaca lagi.

Pada tahun 2017, entah bagaimana nasib naskah tersebut, kemungkinan besar bertambah hancur. Karena dari laporan empunya koleksi menuturkan tidak ada program-program restorasi dan preservasi naskah dari pemerintah ataupun lembaga lain hingga saat ini.

Kepedulian dan Keseriusan Pemerintah

Jika dipersentasekan jumlah naskah yang didigitalkan untuk penyelamatan dari keseluruhan naskah di Aceh, dapat saya katakan hanya 30%.  Contoh misalnya untuk program digital naskah koleksi Museum Aceh pasca rehab-rekon, hanya sekitar 600-800 naskah yang baru didigitalkan dari 1900 naskah koleksinya. Tapi bila dibandingkan dengan naskah-naskah lainnya, seperti Yayasan Museum Ali Hasjmy, Zawiyah Tanoh Abee, koleksi pribadi seluruh Aceh yang hampir 4 ribu naskah, hampir seluruhnya belum didigitalkan atau difoto.

Pada dasarnya ini menjadi dilema bagi seseorang kolektor ataupun pecinta manuskrip, mendigital naskah tentu akan mengurangi "sentuhan tangan" langsung dengan naskah, yang dalam ilmu filologi dianggap belum masuk ke ranah "kodikologi. Namun demikian, penyelamatan kandungan isi (teks) naskah juga lebih penting karena bagian utama kajian filologi pada masa sekarang dan masa mendatang.

Singkatnya, pemerintah setempat (Aceh) punya kewajiban untuk program penyelamatan naskah ini. Di tangan Pemerintah Aceh dan Kabupaten/Kota program ini akan cepat dan tepat, bekerjasama dengan para  kolektor di masyarakat. Cepat karena bertaruh dengan waktu dan kerusakan manuskrip itu, dan "tepat" sebab pemerintah-lah yang memiliki sumber daya manusia, dana dan fasilitas pendukung yang melebihi cukup. Sekarang, tinggal hanya "political will" alias kemauan dan kepedulian atau tidak.


Program digitalisasi naskah dapat dibarengi dengan program lainnya, misalnya pelatihan dan pengetahuan restorasi naskah kepada para kolektor. Selain itu, juga dapat dilakukan beragam program baik oleh pemerintah secara langsung ataupun masyarakat, misalnya pengelolaan data IT, sebab digitalisasi tidak mesti selamanya harus dipublikasi online. Misalnya, cukup disimpan di pemilik naskah, Data Center Manuscript Aceh (semoga ini terwujud) dan pihak yang terpercaya.

Apabila Pemerintah Aceh masih mengabaikan penyelamatan manuskrip di Aceh, fisik atau isinya, maka saya jamin banyak manuskrip, karya, ulama, peradaban, khazanah dan lainnya di Aceh akan dianggap hanya dongeng belaka. Wallahu a'lam.

Hikayat Deteksi Lokasi Gempa Aceh 1964

Hikayat salah satu literatur dan "tradisi populer" di masayarkat Aceh. Sebagaimana diketahui kata "hikayat" diambil dari kata Arab yang konotasinya cerita, dongeng, atau cerita panjang. Kata kerjanya "haka" yaitu menceritakan kepada orang lain. Dalam pengertian sastra Indonesia dan Melayu, hikayat dimaksud dalam bentuk prosa.

Berbeda dengan terminologi Aceh, hikayat bukan hanya sebuah cerita pemanis tidur. Hikayat dalam sastra Aceh juga bukan dalam bentuk prosa, akan tetapi hikayat di Aceh dalam bentuk puisi atau sanjak. Hikayat Aceh diciptakan dalam bentuk puisi, awalnya masyhur dalam tradisi lisan yang didendangkan atau dilantunkan di depan publik, termasuk dalam kesultanan. Sejauh ini, belum banyak penelitian dalam bidang "eksistensi dan tradisi hikayat di Aceh", bahkan belum ada pakar hikayat Aceh dan perguruan tinggi di Aceh yang membuka jurusan "sastra Aceh". Akan tetapi, hikayat-hikayat dalam sastra Aceh sangat terkenal yang memiliki beragam kandungan, pesan, multiguna, multigender, mulai dari kisah masa lalu hingga kejadian realita.

Salah satu hikayat dalam bentuk real adalah "Hikayat Geumpa di Atjeh" karya Syekh Rih Krueng Raja (sekarang disebut Krueng Raya) yang disusun tahun 1964, atau pada saat gempa terjadi di Aceh, epicenternya di Aceh Besar. Buku ini dalam bahasa Aceh beraksara Latin dengan ejaan belum disempurnakan. Syukurnya buku ini dapat didownload gratis di website Acehbook.

Syair ini menceritakan kisah nyata terjadi gempa pada Kamis 2 April 1964 di Aceh, tepatnya terjadi di kaki gunung Seulawah, beberapa daerah yang berada di pesisir pantai Aceh Besar hingga perbatasan Pidie. Dalam syair karya Syehk Rih berasal dari Krueng Raya tidak disebut kekuatan gempa, akan tetapi melalui beberapa catatan sejarah gempa diketahui magnitude-nya 6.5 SR. Sama kekuatannya dengan gempa yang baru terjadi di Pidie Jaya (07 Desember 2016) dengan magnitude 6,5 SR (BMKG).

Dalam hikayat Geumpa di Atjeh, Syekh Rih membuka syairnya (transliterasi dalam EYD):


Cémpala meusu ditjöng u dara
Aneuk nggang dama yang panyang gatéh
Bacut lön suson gampoeng Krueng Raya
Bak uroe geumpa bak beungôh Haméh
        
 Nibak buleun peuet bak tanggai duwa
Poh lapan kira bak lön disidéh
Bak thon nam ploeh peuet ka jeut takira
Uroe nyan geumpa é dum na waréh (h. 4)
Artinya:
Burung Cempala bersuara di atas
Burung Flaminggo panjang tungkai kakinya
Kususun sedikit (syair) di gampong Krueng Raya
Di hari gempa di pagi hari Kamis

          Bulan empat, tanggal dua
Sekitar jam delapan, saya disana
Pada tahun Enam Puluh Empat sudah diketahui
Hari itu terjadi gempa wahai saudara

Hikayat tersebut dengan jelas menyebutkan bahwa jam 8 pagi hari Kamis, 2 April 1964 gempa terjadi. Secara umum, sejauh ini gempa-gempa besar yang pernah terjadi di Aceh pada waktu pagi hari, akan tetapi bukan berarti tidak terjadi pada malam atau siang hari seperti gempa di Gayo 12 Juli 2013 dengan magnatude 6,1 SR.

Selanjutnya ia menyebutkan lokasi-lokasi gempa yang terjadi di seputaran gampong di wilayah Aceh Besar dan Banda Aceh.


Bah teuduek dilèe gampoeng Krueng Raya
Jino Lamteuba lön cuba kisah
Sidéh bak kawom keu lön troh haba
Sidéh syeedara pih lëe museunah (h. 13)
Artinya:
Saat dulu tinggal di gampong Krueng Raya
Sekarang saya ceritakan kisah di Lamteuba
Dari saudaraku kabar ini kuterima
Disana mereka pun jadi korban

Tutue Lamtamot pih get that rupa
Meunurot haba kiwing dum patah
Sampee geuritan han jeut jilata
Meunan keuh rupa haba gob peugah (h. 15)
Artinya:
Jembatan Lamtamot juga rusak parah
Menurut informasi bengkok dan patah
Sehingga kereta api tidak bisa berjalan
Begitulah kabarnya dari cerita orang

Di Padang Tiji wahee syeedara
Asrama teuntra dum habeh reubah
Reubah meupunjoot habeh roet rungka
Bukeuti nyata loen kalon leumah (h. 15)
Artinya:
Di Padang Tiji wahai saudara
Asrama tentara juga semua roboh
Roboh terjungkal semua kerangkanya
Itu bukti nyata saya lihat langsung

Di Darussalam kuta peulaja
Aneuk sikula bak jigrop patah
Patah bak jigrop tëuot ka rungga
Nyan dumkeuh bahla neubri lèe Allah (h. 16)
Artinya:
Di Darussalam kota pelajar
Anak sekolah patah saat lompat
Patah lututnya saat lompat
Begitulah bala yang Allah beri

Jalur atau daerah gempa yang disebut dalam Hikayat Geumpa di Atjeh, 1964

Setidaknya, dalam syair Syekh Rih diketahui beberapa daerah koordinat gempa atau wilayah yang berdampak gempa, mulai dari wilayah Darussalam (Banda Aceh), Lamteuba, Lamtamot hingga ke Padang Tiji (Pidie). Jalur ini yang kemudian disebut oleh BMKG "Sileumeum Fault" dan peneliti Tsunami and Disaster Mitigation Research Center (TDMRC) dan beberapa penelitian lainnya terhadap gempa di Aceh. Dengan temuan ini juga dapat digunakan untuk penelitian arkeologis dan paleoklimatologi di masa mendatang.


Maka tulisan ringan ini hanya menginformasi sedikit perihal gempa yang telah menghancurkan rumah, sekolah, asrama TNI dan membuat masyarakat mengungsi. Merujuk dan mengutip dari Hikayat Geumpa di Atjeh Syekh Rih Krueng Raya menyebut beberapa lokasi dampak terjadinya gempa dan menyertakan laporan bantuan Pemerintah kepada para korban. 

Lebih dari itu, saya menyimpulkan ini adalah sebuah tradisi (cara) kearifan lokal "mitigasi bencana" di Aceh melalui oral tradition (tradisi lisan) sebagaimana diwariskan tradisi smong (gempa tsunami) di Simeulue dan beberapa daerah lainnya dalam bentuk tutur atau hikayat. Hikayat merupakan satu-satunya media menyebarkan informasi kepada publik secara massif, atraktif dan produktif untuk pendengar. Semoga tradisi ini tumbuh kembali di masyarakat Aceh dengan media terkini dalam menangani dan menimalisir korban bencana. 

Dan, atas dasar itulah menjadi bukti bahwa gempa tahun 1964 merupakan jalur “Sileumeum fault” (Bukan Seumeulum Fault sebagaimana beberapa tulisan). Dari data sejarah gempa diperoleh besar magnatude 6.5 SR, hikayat menyebutkan bahwa gempa tersebut dirasakan dan terjadi kepanikan, walaupun dampak gempa ini belum diketahui lebih jauh, baik kerugian ril materil yang terjadi, ataupun korban jiwa dan pengungsian. 

Namun demikian, gempa yang kembali terjadi baru-baru ini (7 Desember 2016) meninggalkan banyak duka dan "tanda tanya" bagi para peneliti gempa dan Badan Kebencanaan di Aceh dan Indonesia untuk selalu siap menginput data, mengulas informasi, dan memberikan informasi sekaligus pengertian lebih banyak kepada masyarakat, sebab bagian-bagian Aceh berada di atas patahan "ring of fire" gempa. Dan gempa 7 Desember 2016, sampai saat ini belum terungkap jelas jalurnya, apakah ini jalur "Sileumeun Fault" atau "Samalanga-Sipopok Fault" oleh para pakar.


Sumber:
-  Syekh Rih Krueng Raya, Hikayat Geumpa di Atjeh. Banda Aceh. Anzib Lamnyong, 1964
- Badan Meterologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG)
- Media online (Serambi Indonesia, Republika, Kompas, Harian Aceh, dll)

Mencari Manuskrip Maulid Nabi versi Tgk. Chik di Tiro dan Tgk. Krueng Kalee

Di mana Muslim berada di dunia ini, disitulah perayaan Maulid Nabi dilaksanakan. Tidak menjadi soal ia mazhab apa, generasi ke berapa, dan strata miskin atau kaya.  Memang, memasuki bulan Rabiul Awal tahun Hijriyah selalu diperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW di seluruh negara muslim ataupun non-muslim.

Peringatan tersebut diadakan dalam beragam bentuk, sebagian menceritakan kembali sejarah kehidupan Nabi Muhammad, orang tua menceritakan kisah-kisah keteladanan Nabi, dan sebagian lainnya bersedekah dan beramal di hari kelahiran tersebut. Mayoritas acara-acara di atas dipadu dalam kegiatan keagamaan seperti membaca selawat dan barzanji. 

Demikian juga di Aceh (termasuk Melayu-Nusantara) sejak dulunya melakukan yang sama yang dapat dilihat dari beragam manuskrip tentang Maulid (Aceh: Maulot) Nabi Muhammad. Naskah-naskah tersebut cukup banyak sekali varian dan jumlahnya, yang kini menjadi bacaan “wajib” dalam perayaan maulid Nabi.

Salah satunya manuskrip paling banyak beredar yang digunakan adalah Dala’il al-Khairat karya Abu Abdillah Muhammad ibn Sulaiman Al-Jazuli, ulama terkenal berasal dari Maghrib (Maroko) (m. 870 H 1465 M). Dari kitab ini, masyarakat Aceh lebih menyebut “meudalae'e” yaitu kegiatan membaca kitab Dalail.

Khusus di Aceh, membaca “dalae'e” ataupun syair-syair pujian dalam bahasa Arab (Hizb) sejenisnya yang terkenal dilakukan sejak bulan Rabiul Awal dan seterusnya. Selain itu, masih ada tradisi nalam (Arab: nazham) juga dalam bentuk syair yang berisikan tentang pujian dan selawat kepada Rasulullah dalam bahasa Aceh.

Terdapat juga kitab Abu 'Abdallah Muhammad ibn Sa'id al-Busiri Ash-Syadhili (1211-1294) di Mesir mengarang puji-pujian selawat kepada Nabi berjudul “Qasidah al-Burdah” yang juga cukup terkenal di masyarakat Muslim Nusantara.

Salah seorang staff Belanda era kolonial, Damste, termasuk yang banyak mengumpulkan manuskrip Aceh dan membawa ke Belanda menamai bahwa teks-teks “Seulaweuet keu Nabi” sebagaimana kolofon teks menyebut “tamat seulaweuet Maulot Nabi”.

Menurut inventarisasi (alm) Teuku Iskandar, sarjana Filolog Aceh di Belanda terdapat naskah-naskah Likee Maulot, atau disebut juga Maulid Barzanji yang sebagian berbahasa Arab dan sebagian lagi berbahasa Aceh. Dalam edisi cetaknya kemudian dikenal “Maulid Syaraf al-Anam”.

Bahkan di Perpustakaan Nasional (PNRI) Jakarta (klik untuk akses manuskrip PNRI) terdapat koleksi kitab Maulot Nabi yang berstempel Tgk. Chik Saman Tiro dan Tgk M. Sa’id Krueng Kalee tahun 1315 H (1898 M), lebih tua naskahnya yang dikoleksi Snouck yang ditemukan tentara Belanda di Rumoh Aceh di Pasar Aceh Samalanga tahun 1916.

Paragraf terakhir inilah yang menjadi tanda tanya besar bagi saya, semoga juga bagi pembaca. Info tersebut diperoleh dari beberapa sumber, walaupun belum jelas apakah benar terdapat naskah "Maulot Nabi" yang berstempel Tgk Chik Saman Tiro dan Tgk M. Sa’id Krueng Kalee tahun 1315 H (1898 M). Kemungkinan besar memang ada, sebab dua tokoh yang sangat dihormati oleh masyarakat Aceh dan koloni Belanda. Keduanya memiliki pengaruh besar di Aceh, baik dalam tradisi keagamaan, kebangsaan dan politik di Aceh saat itu.

Jika kemudian hari para sarjana ataupun peneliti mencari naskah tersebut, maka inilah stempel Tgk Chik Saman Tiro yang diperoleh dalam lampiran-lampiran manuskrip koleksi Leiden
Stempel "Sheyk Saman Tiro" koleksi naskah di Perpustakaan Leiden, Belanda.

Semoga dengan temuan-temuan bukti filologis (manuskrip) tersebut semakin memperkaya khazanah keilmuan di negeri ini dan menambah keimanan kepada baginda Nabi Muhammad dengan mengikuti keteladanannya. Bahwa Kecintaan masyarakat Aceh dan Nusantara terdahulu mengarang nazam maulid Nabi, menyalin dan membacanya sebagai salah satu bentuk kecintaannya kepada baginda Rasulullah, sebagaimana dilakukan oleh mayoritas muslim di dunia. 

Baca juga:

Ini dia naskah Maulid Nabi di Aceh

Indahnya manuskrip Maulid Nabi di Aceh


Surat "Nafkah" untuk Adinda

Bagaimana masyarakat tempo dulu mengirim uang sebelum ada kantor pos? belum ada wesel, ATM, Money changer, atau transaksi canggih lainnya yang dinikmati di era modern seperti sekarang ini.

Secarik kertas kecil datang dari seberang, tanpa alamat. Surat rindu dan tanggung jawab seorang suami di pengasingan kepada istrinya di kampung halaman, Aceh. Dalam keadaan perang, ia berada di seberang pulau Sumatra. Tidak ada keterangan sebab musabab, akan tetapi kumpulan surat-surat di Bandung dalam peti rampasan Belanda dibawa sebrang Eropa untuk disimpan di Belanda. Kini, berada di perpustakaan Leiden. 

Surat ini menunjukkan seorang suami yang sedang berpisah dengan istri dan keluarganya akibat perang. Ia masih bertanggung jawab nafkah untuk keluarganya. Maka sepucuk surat yang dititip melalui Teuku Wahhab untuk disampaikan kepada "adinda" sang istri yang dicintai dengan beberapa amanah.

Selembar kertas tersebut dititip kepada melalui Teuku Wahhab disertai uang 10 riyal. Penggunaan riyal di Aceh sepatutnya dikaji ulang, sebab selain dinar, dirham, oeang Belanda, dan Rupiah Indonesia, Aceh juga pernah menggunakan riyal. Sebab, tidak tertutup kemungkinan pada masa sultan-sultan dari Arab berkuasa ingin menggunakan uang riyal. Akan tetapi ini masih asumsi kasar yang perlu dilakukan kajian secara komprehensif. 





Ini riyal ditangan Teuku Wahhab
sepuluh boh. Maka yang [de]lapan
riyal adinda unjuk pada Teuku Wahhab
suruh unjuk akan Teungku Syekh 
akan harga padi dua gunca. Dan
yang dua riyal akan belanja adinda.
Itulah hal adanya berbanyak-2 doa
akan kaya tip-2 ketika, jangan putus 
sekali-2.

Uang 10 riyal tidak seluruhnya diberikan kepada istrinya, tetapi 8 riyal untuk dibelanjakan padi, sisanya untuk keperluan sang adinda. Uang 8 riyal untuk membeli 2 gunca padi pada Teungku Syekh. Tentu sang suami sudah mengenal siapa saja yang menjual beras padi dengan harga yang baik dan terjangkau. Dengan demikian harga padi 1 gunca sama dengan 4 riyal. 

Gunca merupakan istilah yang digunakan oleh masyarakat Aceh dulu (sekarang kemungkinan hanya di perkampungan) sebagai ukuran untuk benda-benda kering, tidak ada bentuk fisiknya, tetapi disetarakan dengan 10 naléh atau 1/10 kunyan.  1 naléh sama dengan 16 arè atau 8 gantang.

Sebagai penutup, sang suami memohon untuk tidak pernah putus asa memohon doa semoga tercapai cita-cita menjadi kaya pada suatu hari nanti. 

Namun sayangnya, kemungkinan surat ini tidak sampai di tangan adinda (istri) karena surat-surat di Aceh dan sejenis ini sudah "diborgol" oleh tentara kolonial Belanda, dikumpulkan bersama surat-surat lainnya dan dikirim ke Belanda sejak tahun 1908.

Hewan Beristighfar untuk Manusia?


Ashabul Kahfi atau dikenal The Seven Sleepers atau cerita penghuni guha selama ratusan tahun, yang perna mati dan hidup kembali. Cerita ini mendunia, memiliki beberapa versi dan beragam aspek. Tidak hanya dalam Islam, sebelumnya agama damai ini datang, cerita penghuni guha tersebut juga telah disebut dalam Bible (Injil) yang asli. Kisah Ashabul Kahfi dengan seekor anjingnya dari Efesus in digolongkan ke dalam legenda mitologi Kristen. Versi yang paling terkenal dari cerita ini muncul dalam karya Jacobus de Voragine, Legenda Emas.

Pasca Nabi Isa diangkat ke langit ratusan tahun silam sebelum Islam, pengikut-pengikut Isa yang setia pada cerita AShabul Kahfi semakin berkembang, hingga datangnya nabi Muhammad membawa risalah Islam. Untuk menguji pengetahuan Umar (saat itu menjadi pemimpin), para pendeta kristen  menanyakan beberapa perihal histori masa lampau yang sangat terkenal di kalangan mereka, apabila bisa dijawab mereka akan masuk Islam. Umar dibantu Saydina Ali, mereka bertanya akan tentang perihal kebiasaan binatang dan cerita Ashabul Kahfi. Di sinilah perdebatan (tanya-jawab) terjadi yang membuat pendeta Yahudi tersebut mengakui kebenaran Islam.

Asal usul kronologi di atas berawal dari Hikayat Ashabul Kahfi (The Seven Sleepers), saat seorang pendeta bertemu dengan Ali dan menanyakan tentang sesuatu yang susah dijawab oleh masyarakat umumnya. Dalam sastra Aceh dikenal sebagai Hikayat Aulia Tujoh. Disebut demikian, karena mereka tujuh orang yang melarikan diri Raja zalim dan tinggal di guha. Dari tujuh orang tersebut; 6 orang adalah menteri kerajaan dulu, dan 1 orang adalah pengembala kambing. Si pengembala kambing akhirnya juga mengajak anjingnya ikut serta dalam pelarian tersebut. Hikayat Aulia Tujoh ini telah ditransliterasi untuk kesekian kalinya dan terakhir kali oleh Ramli Haron (1981).

Pada baris sebelumnya sang pendeta bertanya tentang suara kokok ayam dan suara kuda menyebut apa. Dalam Hikayat Ashabul Kahfi:
     Manok kuku' u' peu jipeugah?
     Meuhik-hik purih peukheun kuda?


Jawaban Saydina Ali  membuat pendeta tersebut masuk Islam:
         Manok kuku' u' teungoh malam
         Peu jikheun nyan hai maulana
         Udhkurullāh yā Ghāfilin
         Peuingat insan soe yang lupa

(Ayam berkokok tengah malam 
Apa yang disebutnya hai maulana
Berzikirlah wahai para pelupa
Pengingat bagi manusia yang lupa)

           Hik-hik kuda peu jikheun nyan 
           Jaweub janjongan neu calitra 
           Allahumma unshur ibādaka al-mu’minīn ‘alā
           al-Kāfirīn Doa keu mukmin barangjan masa

(Hik-hik kuda apa disebutnya
Jawab janjungan dengan cerita
Ya Allah bantulah hamba para Mukminin dari 
orang-orang kafir ∴ Doa ke mukmin sepanjang masa)

Dalam Hikayat Ashabul Kahfi, kisah penghuni gua selama 309 tahun bukan hanya sebuah cerita, tetapi juga pembelajaran dan manfaat dari hikayat tersebut yang disampaikan oleh penyair kepada pendengar. Cerita-cerita bermanfaat seperti ini, apalagi berdasarkan sumber al-Quran, yang kini jarang didengar dari oleh anak-anak kecil. []