Tampilkan postingan dengan label filologi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label filologi. Tampilkan semua postingan

Manuskrip Incaran Ust. Abdus Somad (Final)

Selain manuskrip (naskah klasik) karya Nuruddin Ar-Raniry berjudul Shirat al-Mustaqim berkaitan dengan fiqih ibadah, seperti membahas persoalan thaharah (bersuci), shalat, puasa, zakat dan haji, dan segala persoalan yang terjadi di setiap bagian.

Karya lainnya -telah dikupas sebelumnya- adalah karya Abdurrauf al-Jawi al-Fansuri berjudul Tarjuman al-Mustafid sebagai kitab tafsir berbahasa Melayu (Indonesia) pertama di Dunia. Karya dan sumber penafsirannya  merujuk kepada beberapa kitab ulama tafsir mu'tabarah, seperti Tafsir al-Bawdhawi.

Adalah manuskrip tentang Hadist yang juga disinggung oleh Ust. Abdus Somad. Hal tersebut begitu penting sebagaimana disebut dalam ceramahnya di Banda Aceh. Kitab Hadist Arba'in (Hadist Empat Puluh) sebuah naskah yang dicari-cari oleh beliau. Hadist Arba'in adalah kitab hadist yang memuat  40 pilihan Hadist Nabi Muhammad, berkaitan dalam beragam hal dan persoalan. Temanya juga beragam.

Banyak riwayat menyebutkan keutamaan menghafal dan mempelajari kitab Hadist Arba'in. Dalam catatan para ulama, beberapa Hadist Nabi mengisyaratkan akan keutamaan Hadist Arba'in, walaupun riwayat-riwayat tersebut dikategorikan Hadist Dhaif, dan ada juga yang Hasan.  Imam al-Nawawi dalam mukaddimah kitabnya al-Arba'in al-Nawawi menyebutkan bahwa setiap orang yang menghapal 40 Hadist dari perkara agamanya, maka dia akan dikelompokkan ke golongan para fuqaha (ahli fiqih) dan para ulama.

Baca juga; Manuskrip Incaran Ust Abdus Somad (1)

Ternyata, hasil penelusuran saya tentang Hadist Arba'in di Aceh-Nusantara cukup beragam. Beberapa teks tersebut menunjukkan perbedaan konten Hadist, isi bahasan dan pendahuluannya. Variasi kandungan tersebut menunjukkan keluasan pengetahuan dan keberagaman pemahaman dalam penyampaian ilmu Hadist oleh ulama-ulama dan Ahli Hadist terdahulu.

Varian konten tersebut dapat diasumsikan sebagai sumber rujukan hadist dari ulama yang berbeda, dan juga diakibatkan kondisi dan situasi saat penulisan ataupun penyalinan teks. Tentu ada beberapa faktor lainnya yang melatar belakangi lahirnya teks yang berbeda tersebut.

Akan tetapi, Hadist Arba'in di Aceh -dan kemungkinan di Nusantara- paling banyak merujuk pada versi berikut ini.

Salah satu Hadist Arba'in yang menjadi kajian ulama Aceh dan Nusantara adalah manuskrip Hadist Arba'in koleksi Museum Aceh nomor 07.0578, yang ditulis atau disalin dalam bentuk terjemahan berbaris. Matan teks dalam bahasa Arab dan terjemahan miring dalam aksara Jawi berbahasa Melayu/Indonesia.
Gb. 01 Halaman awal teks Hadist Arba'in. Ms. 07.578 Koleksi Museum Aceh
Teks naskah Ms. 07.0578 dimulai bahasan Hadist pertama dengan "Ash-Shalat 'imād ad-dīn..." dengan terjemahan dibawahnya "Sembahyang itu tiang agama..." Sebagaimana Gb. 02 di bawah ini

Gb. 02 Halaman dua teks Hadist Arba'in. Ms. 07.578 Koleksi Museum Aceh.

Baca juga: Manuskrip Incaran Ust. Abdus Somad (2)

Hadist yang sama juga terdapat pada naskah lainnya koleksi masyarakat di Aceh Besar. Namun sayang, naskah ini telah dijual ke luar Aceh. Saya sempat mengabadikan beberapa halaman pada tahun 2016.

 Gb. 03. Halaman awal teks Hadist Arba'in. Ms Koleksi Pribadi Masyarakat.
Hadist Arba'in  ini juga koleksi Museum Aceh di Banda Aceh, nomor aktuil 07.1197. Sebagaimana teks di atas tentang sistem penulisan matan dan terjemahannya, maka pada teks ini juga ditemukan yang sama. Matan teks ditulis di baris atas dengan font lebih besar, sedangkan terjemahan ditulis di bawah teks mata dengan posisi miring.

Naskah lainnya di koleksi yang sama dengan nomor 07.1223 juga memiliki teks yang sama dengan versi  di atas. Walaupun teks ini disalin dengan kurang baik tetapi juga memiliki terjemahan berbaris.

Gb. 04. Halaman dua teks Hadist Arba'in. Ms. 07.1223 Koleksi Museum Aceh.

Masih banyak manuskrip Hadist Arba'in khususnya yang belum dikupas, di koleksi Museum Aceh saja tak kuran dari 10 naskah Hadist Arba'in. Hal tersebut tentu belum ditelusuri di koleksi masyarakat dan lembaga perseorangan, misalnya Yayasan Ali Hasjmy dan Zawiyah Tanoh Abee.

Sebalik itu, ilmu Hadist dan kajian Hadist masih kurang populer di Aceh bila dibandingkan dengan kajian ilmu fiqih dan tasawuf. Hal tersebut jelas terlihat dari jumlah kuantitas khazanah yang tersebar saat ini. Namun, hal tersebut bukan berarti kajian Hadist terabaikan, akan tetapi kadangkala terintegrasi dalam kajian-kajian lainnya. Sebab jika melihat tradisi terjemahan berbaris pada naskah-naskah di atas, maka tradisi penulisan (pengajaran) dan transmisi keilmuan Hadist pernah berkembang di Aceh. Wallahu a'lam.

Museum UIN Ar-Raniry Gelar Seminar Menguak Khazanah Masa Lalu

BANDA ACEH – Museum Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry bekerja sama dengan CfAS dan HMJ Sejarah dan Kebudayaan Islam (SKI) Fakultas Adab dan Humaniora (FAH) UIN Ar-Raniry mengadakan Seminar Daurah Sejarah di Auala Fakultas Adab dan Humaniora, Selasa 29 Maret 2016.

Acara yang mengangkat tema “Menguak Khazanah Masa Lalu, Membangun Masa Depan” ini turut dihadiri Wakil Walikota Banda Aceh, Zainal Arifin, Perwakilan Disbudpar Provinsi Aceh, Disbudpar Kota Banda Aceh, Majelis Adat Aceh (MAA), Pemerhati Sejarah, Dosen serta Mahasiswa dari berbagai Perguruan tinggi di Banda Aceh.

Seminar yang dipandu langsung oleh Dr. Nurkhalis tersebut menghadirkan pemateri, Hermansyah.

Dalam seminar tersebut, Hermansyah memaparkan sejumlah temuan-temuan perkembangan naskah kuno di Aceh, terutama naskah-naskah perang Aceh melawan Belanda.

“Penelusuran naskah-naskah Perang Aceh merupakan salah satu bagian dari kegiatan dalam memperingati perlawanan Aceh melawan Belanda sejak 143 tahun silam. Belanda mendeklarasikan pada dunia (Eropa) berperang dengan bangsa Aceh sejak 26 Maret 1873,” kata Hermansyah.

Hingga saat ini, Hermansyah mengaku telah mengidentifikasi sedikitnya 83 manuskrip atau naskah baik prosa atau pun syair (hikayat), seperti Hikayat Prang Sabi. Dari jumlah tersebut, beberapa manuskrip ada di Aceh, dan selebihnya di luar negeri, terutama Leiden.
“Kita sudah identifikasi 83 Naskah, 71 bentuk syair atau hikayat dan sisanya bentuk prosa, itu naskah tentang perang Aceh periode Belanda,” ucapnya.

Sementara itu, Ketua HMJ Prodi Sejarah dan Kebudayaan Islam (SKI) UIN Ar-Raniry, Fouzal Fahmi sangat mengapresiasi terselanggaranya seminar ini sebagai upaya dalam meningkatkan kesadaran mahasiswa terhadap manuskrip Aceh bahwa manuskrip itu adalah harga mati masyarakat Aceh.
“Alhamdulillah dengan ada acara yang mengangkat tipologi naskah naskah perang Aceh, mahasiswa semakin peduli terhadap manuskrip,” sebut Fouzal.

Untuk diketahui, Hermansyah merupakan salah seorang pengkaji manuskrip dan naskah-naskah klasik di Aceh sekaligus dosen Fakultas Adab dan Humaniora UIN Ar-Raniry, saat ini Hermansyah tercatat sebagai mahasiswa program Doktoral di Universitas Hamburg, Jerman.

Source: http://klikkabar.com/2016/03/29/museum-uin-ar-raniry-gelar-seminar-menguak-khazanah-masa-lalu/

Kolaborasi Filologi dan Ilmu Budaya



Saat ini, ilmu filologi (philology) tidak lagi sebatas aspek kesusasteraan dan bahasa. Ilmu filologi sudah menjadi bagian integral dari ilmu-ilmu sosial lainnya, seperti sejarah dan budaya, termasuk antropologi dan sosiologi. Walaupun filologi dan ilmu humaniora lainnya, misalnya kebudayaan, memiliki istilah yang dalam cabang-cabang ilmu kerangka (objek-subjek) dari kajiannya secara tersendiri. Tetapi substansi dari apa yang dibicarakan oleh filologi dan kebudayaan sebagai ilmu, pada hakikatnya tidak terpisahkan, sama seperti apa yang dibahas dalam antropologi dan sosiologi.


Demikian tujuan dalam penelitian kajian naskah atau manuskrip (ilmu filologi), tidak lagi pada pencapaian terhadap geneologi teks dan naskah, terutama keaslian teks dan naskah. Lebih dari itu, kini dokumen-dokumen tertulis itu adalah bagian dari sumber kajian dan budaya masyarakat tertentu dengan "kebudayaan" tertentu pula. Maka teks ataupun manuskrip merupakan bagian dari kebudayaan dan pola hidup manusia (masyarakat) tertentu. Maka kedua ilmu ini senearnya tidak dapat dipisahkan, dan dalam konteks ini, persamaan keduanya (ilmu filologi dan ilmu kebudayaan) adalah memahami hasil kebudayaan masyarakat pada masa dan ruang tertentu.

Oleh karena itu, seorang pengkaji manuskrip dapat memiliki pengetahuan ilmu-ilmu dasar lainnya yang kemudian dikolaborasi untuk melakukan kajian sosial, khususnya ilmu filologi telah memiliki perangkat metodologi tersendiri, seperti kritik teks (textual criticism). Dalam kritik teks memiliki unsur-unsur dapat membantu seorang peneliti menjalankan misinya seperti kebudayaan suatu bangsa dikenal dari hasil sastranya; budaya manuskrip (manuscripts cultures) bagi masyarakat pada jamannya dalam konteks masyarakat masing-masing hingga masa sekarang; mengungkapkan nilai-nilai intelektual dan kepercayaan suatu bangsa; manuskrip merupakan unsur terkuat dalam mengungkapkan nilai-nilai kebudayaan; dan unsur terakhir melestarikan warisan kebudayaan yang bernilai tersebut.

Apabila teks (tulisan) ataupun naskah hanya mengkaji sisi keaslian dan stemma (stemmata), ataupun sebatas parateks (paratext), maka akan ada gap dan kekosongan yang harus diisi kembali dalam sebuah kajian ilmu humaniora, misalnya saja kajian isi teks (kandungan naskah), penulis, kolofon, ilustrasi, iluminasi, perkembangan teks, konteks masyarakat dan lainnya akan sama sekali tidak tertampung seutuhnya dalam kajian filologi murni, atau sebatas mencari kesalahan dan persamaan teks.

Inilah salah satu ilmu manuskrip yang sedang dikembangkan di Eropa dan juga sudah menjalar ke Indonesia. Kajian seperti tersebut di atas adalah salah satu bidang paling diminati oleh ilmuwan (researcher) Barat, sehingga setiap peminat ilmu budaya dan humaniora dapat menjadikan teks sebagai objek penelitiannya, dan menempatkan teks menjadi bagian dari sumber-sumber primer lainnya. Sehingga manuskrip merupakan bagian tak terpisahkan dari ilmu-ilmu humaniora secara keseluruhan, terutama keterikatannya dengan budaya masyarakat.