Tampilkan postingan dengan label Jawi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Jawi. Tampilkan semua postingan

Manuskrip Incaran Ust. Abdus Somad (1)

Selasa, 26 Desember 2017 merupakan hari bersejarah bagi Aceh dan bagi Ust. Abdus Somad. Pada hari tersebut tokoh fenomenal alumni Mesir dan Maroko tersebut hadir ke Aceh untuk menyampaikan tausiyah pada acara “Zikir Internasional” dalam rangka memperingati 13 tahun gempa-tsunami Aceh 2004. Acara tersebut dihadiri puluhan ribu jamaah.

Selain itu, momen yang tidak terlupakan juga bagi Ust. Abdus Somad, adalah sehari sebelumnya ia dideportasi oleh otoritas imigrasi Hongkong. Karena itulah, hikmah dan obat hati dari kejadian tersebutlah membawanya ke negeri Serambi Mekkah  di ujung Pulau Sumatera, wilayah yang menjadi salah satu sumber ilmu dan inspirasi baginya.

Ust. Abdus Somad menyampaikan tausiyah lebih dari satu jam, bahasannya berbagai topik, antaranya persoalan ummat di zaman sekarang, Syariat Islam, ukhuwah Islamiyyah, antisipasi LGBT, etika bermazhab, hingga khazanah keilmuan ulama-ulama di Aceh.

Khazanah keilmuan yang ia sebutkan terkait ulama Aceh yang produktif mengarang atau menulis kitab. Peran para ulama Aceh telah mencerdaskan masyarakat tidak hanya di Aceh, tapi juga Melayu-Nusantara hingga sekarang. Para ulama-ulama ini telah berhasil membangunkan khazanah keilmuan dengan karyanya yang menjadi rujukan berabad-abad.

Memang, kekaguman Ust. Abdus Somad terhadap karya ulama Aceh tersebut sering disampaikan dalam beberapa ceramahnya dalam konten bahasan tentang Aceh. Bahkan ia pun penasaran dengan beberapa manuskrip yang belum dijumpainya dan dilihat isinya. Namun demikian, pengetahuan tentang ulama-ulama Aceh dan karya-karyanya, dalam pandangan saya, cukup mumpuni dan sangat baik. Sebab, jarang tokoh dan alim terkenal di Indonesia yang menyampaikan rujukan-rujukan kitab ulama sendiri.

Dan, syukurlah manuskrip-manuskrip yang disebutkan masih tersimpan di beberapa koleksi pribadi dan lembaga di Aceh, salah satunya di koleksi Museum Negeri Aceh Banda Aceh.

Antara tokoh dan kitab yang disebutkan oleh Ust. Abdus Somad adalah: Pertama, Syaikh Abdurrauf al-Jawi al-Fansuri yang mengarang kitab tafsir pertama dalam Bahasa Jawi/Melayu, Tarjuman al-Mustafid.

Biografi Singkat ‘Abdurrauf al-Fansuri 
Nama lengkap pengarang kitab Tarjuman al-Mustafid adalah ‘Abdurrauf bin ‘Ali al-Jawi al-Fansuri, sebagaimana sering ia sebutkan dalam kitab-kitabnya, tanpa as-Singkili.  Tidak ada sumber yang secara jelas menyebutkan tanggal kelahirannya, namun menurut DA. Rinkes5 sebagaimana yang dikutip oleh Azyumardi Azra, ‘Abdurrauf dilahirkan sekitar tahun 1024 H/1615 M. Ia meninggal dunia pada tahun 1105 H/1693 M, dengan usia 78 tahun dan dimakamkan di gampong Kuala Aceh, Lamdingin, di Banda Aceh.

‘Abdurrauf menuntut ilmu di Jazirah Arab selama 19 tahun, ia kembali ke Aceh sekitar tahun 1661 M. Ia aktif mengembangkan ajaran tarekat tasawuf Syattariyah dan menulis atau mengarang kitab multidisiplin ilmu. Hingga saat ini telah teridentifikasi karya mencapai 40 judul kitab. Termasuk kitab Tafsir yang dikarangnya pada masa Sultanah Safiyatuddin Syah (berkuasa 1644-23 Oktober 1675 M).


Kitab Tafsir Melayu Pertama 
Tafsir Tarjuman Al-Mustafid merupakan tafsir pertama berbahasa Melayu yang ditulis lengkap tiga puluh juz. Bahasa Melayu dan aksara Jawi sangat identik dengan Islam karena memang hubungan Melayu dengan Islam sudah terjadi sejak eksis kerajaan Pasee di Aceh menyebar ke wilayah Melayu Nusantara. Kerajaan Samudera Pasee adalah kerajaan pertama yang melegalkan dan mengasas aksara Jawi yang didasari pada tulisan Arab.

Selama lebih daripada tiga abad ia dikenali sebagai terjemahan Tafsir al-Baydhawi. Kitab ini tersebar di pelosok negeri Melayu-Nusantara (Indonesia) sebagai Terjemahan Tafsir al-Baydhawi. Beberapa cetakan yang ada turut menggunakan judul tersebut "at-Tarjamah al-Jawiyyah Lit-Tafsir al-Musamma Anwar al-Tanzil wa Asrar at-Ta'wil lil-Imam al-Qadi al-Baydhawi" atau dikenal dengan istilah "Tafsir al-Baydhawi" dalam bahasa Melayu.
Kitab Cetakan "Tarjuman al-Mustafid" yang menyebutkan terjemahan dari Tafsir "al-Baydhawi"
Cetakan Mustafa al-Bab al-Halabi, Mesir 1370 H/1951 M.

Namun demikian, beberapa peneliti menyebutkan bahwa Kitab Tarjuman al-Mustafid melebihi atau terdapat unsur dan teknik yang berbeda dalam Tafsir Baidhawi, sehingga tidak dapat disebut ia kutipan lansung seluruhnya dari al-Baydhawi.

Kitab Tarjuman al-Mustafid tidak hanya dikenal di tanah Melayu Nusantara, akan tetapi juga dikenal hingga ke Turki, Mesir, Mekah, dan beberapa negara lainnya. Persebaran “santri” yang menuntut ilmu di berbagai wilayah menjadikan kitab tersebut sebagai salah satu rujukannya. Bahkan, ia terus menjadi rujukan hingga ke hari ini, khususnya bagi peneliti dan para al-mufassirin. Dengan demikian, kitab ini menjadi tafsir al-Quran yang lengkap digunakan hampir tiga abad sebelum lahirnya kitab-kitab tafsir yang lain.

Beberapa catatan peneliti menyebutkan bahwa cetakan pertama Kitab Tarjuman al-Mustafid saat Syeikh Muhammad Zain al-Fatani membawa manuskrip Tarjuman al-Mustafid ke Turki dan ditunjukkan kepada sultan Turki. Sang Sultan tertarik dengan karya besar dan penting tersebut, hingga akhirnya dicetak di Istanbul. Ini merupakan cetakan pertama oleh Matba’ah al-Utmaniyyah pada tahun 1302H/1884M dan 1324H/1906M.

Kemudian Kitab Tarjuman al-Mustafid  dicetak di Qahirah oleh Matba’ah Sulayman al-Maraghi, Maktabah al-Amiriyyah di Mekah, Bombay (India), Singapura, Jakarta dan Pulau Pinang. Edisi terakhir ialah cetakan Jakarta pada tahun 1981.

Saat ini, beberapa manuskrip atau tulisan tangan kitab Tarjuman al-Mustafid masih dapat dijumpai dibeberapa koleksi di Aceh, terutama di Museum Aceh dengan nomor inventarisir 07.0269, 07.351, 07.420, dan 07.441.  Selain itu, koleksi Museum Ali Hasjmy Banda Aceh dengan nomor 1/TF/5/YPAH/2005.


Bersambung: Manuskrip Incaran Ust. Abdus Somad (2)


Dikutip dari berbagai sumber.

Ini Dia Manuskrip Maulid Nabi


Memasuki bulan Rabiul Awal tahun hijriyah selalu diperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW (12 Rabiul Awal) di seluruh negara muslim.

Peringatan tersebut diadakan dalam beragam bentuk, mayoritasnya membaca selawat dan barzanji. Demikian di Aceh (termasuk Melayu Nusantara) sejak dulunya melakukan yang sama yang dapat dilihat dari beragam manuskrip tentang Maulot (Maulid) Nabi Muhammad.

Naskah-naskah tersebut cukup banyak sekali varian dan jumlahnya, yang kini menjadi bacaan “wajib” dalam perayaan maulid Nabi.

Salah satunya manuskrip paling banyak beredar yang digunakan adalah kitab Dala’il al-Khairat karya Abu Abdillah Muhammad ibn Sulaiman Al-Jazuli, ulama terkenal berasal dari Maghrib (Maroko) (m. 870 H 1465 M).

Menjelang dewasa, ia berangkat dan belajar ke daerah Fas yang tidak jauh dari kota Mesir. Di sinilah ia mengarang kitab “Dala'il al-Khairat” yang ditujukan kepada baginda Nabi Muhammad. Di Aceh disebut “meudalae'e” yaitu membaca dalail.

Sebelumnya, Abu 'Abdallah Muhammad ibn Sa'id al-Busiri Ash-Syadhili (1211-1294) di Mesir mengarang puji-pujian selawat kepada Nabi berjudul “Qasidah al-Burdah” yang juga cukup terkenal di masyarakat muslim Nusantara.

Selain dari itu, masih banyak puji-pujian Hizb an-Nasr dan Hizb al-Bahr karya Imam Abu Hasan Syazili, juga terdapat Hizb karya Imam Nawawi, Hizb karya Mulla ‘Ali al-Qari, dan puji-pujian Hizb lainnya sebagai persembahan kepada sisi mulia tersebut.


Khusus di Aceh, membaca “dalaee” ataupun syair-syair pujian dalam bahasa Arab (Hizb) sejenisnya yang terkenal dilakukan sejak bulan Rabiul Awal dan seterusnya.

Selain itu, masih ada tradisi nalam (Arab: nazham) juga dalam bentuk syair yang berisikan tentang pujian dan selawat kepada Rasulullah dalam bahasa Aceh.

Dalam tradisi sastra Aceh, masih digolongkan hikayat, maka dikenal dengan Nazam (Hikayat) Maulot Nabi, salah satunya karya Tgk Syeh Ya’kub atau dikenal juga Tgk Pante Ceureumen dari Padang Tiji.

Salah satu teks Nazham Maulot Nabi bahasa Aceh:
Ya Ilahi poe ku Rabbi lon ek saksi gata Tuhan
Lon ek saksi Nabi Muhammad Rasulullah gata bagi jin insan
Tabri Islam dengoen Iman ngon makrifat tauhid sajan
Tapeuteutap lam kalimah hudep matee bangket meunan
Berkat Rasul yang troen kitab Nabi lengkap sekalian
Berkat mukjizat Taha Yasin Sayyidil Mursalin Muhammadan

Para penceramah Aceh sering menyebut nama selain “Muhammad” dan “Ahmad”, juga dijuluki Sayyidil Mursalin, Yasin, dan Taha.

Salah seorang staff Belanda era kolonial, Damste, termasuk yang banyak mengumpulkan manuskrip Aceh dan membawa ke Belanda menamai bahwa teks-teks “Seulaweuet keu Nabi” sebagaimana kolofon teks menyebut “tamat seulaweuet maulot Nabi” sangat banyak di masyarakat dan menjadi tradisi bulan-bulan perayaan kelahiran Nabi.

Selain itu, menurut inventarisasi (alm) Teuku Iskandar, sarjana Aceh di Belanda menemukan juga naskah-naskah Likee Maulot, atau disebut juga Maulid Barzanji yang sebagian berbahasa Arab dan sebagian lagi berbahasa Aceh.

Dalam edisi cetaknya kemudian dikenal “Maulid Syaraful Anam”.

Bahkan di Perpustakaan Nasional Jakarta mengoleksi kitab Maulot Nabi yang berstempel Tgk. Chik Saman Tiro dan Tgk M. Sa’id Krueng Kalee tahun 1315 H (1898 M), lebih tua naskahnya yang dikoleksi Snouck yang ditemukan tentara Belanda di Rumoh Aceh di Pasar Aceh Samalanga tahun 1916.

Kecintaan mereka (orang terdahulu) mengarang nazam (seulaweut), menyalin dan membacanya sebagai salah satu bentuk kecintaannya kepada baginda Rasulullah.

Kini, karya-karya mereka sudah dicetak dan dapat diakses dengan mudah untuk dibaca, semoga kita dan generasi seterusnya dapat menghidupkan sinar kemuliaan Nabi dan menghayatinya di kehidupan sehari-hari.

Telah dipublikasi di Serambi Indonesia: Ini Dia Manuskrip Maulid (21 Des 2015 M /9 Rabiul Awal 1437 H)

2016, Aceh Tahun Jampok


Masyarakat di belahan dunia menganggap bahwa setiap tahun memiliki istilah-istilah tertentu. Sebagian menyebut "zodiak" yang digambarkan dalam bentuk nama-nama hewan atau bentuk lainnya. Di China, atau Korea dan beberapa negara lainnya memiliki tradisi lebih kental, misalnya menyebut tahun Naga, atau dengan istilah lainnya, seperti Harimau, Kerbau, Tikus, Kuda, Domba, Ayam, dan sebagainya. Setiap istilah memiliki makna tertentu yang berlaku silih berganti selama dua belas simbol (disesuaikan dengan dua belas bulan).

Sebagian lainnya menamai tahun-tahun tersebut sesuai kejadiannya, misalnya di Jazirah Arab, di Mekkah al-Mukarramah pada tahun kelahiran Nabi Muhammad disebut Tahun Gajah. Istilah tersebut karena pada tahun tersebut Raja Abrahah al-Asyram dari Bani Gassan di Hirah Yaman dengan ratusan pasukan gajah dan ribuan bala tentaranya ingin menghancurkan Ka'bah. Namun, Allah menyelamatkan Ka'bah dan Mekkah. Maka tahun itu masyhur dengan istilah Tahun Gajah, padahal sejarawan sudah menemukan dan sepakat tahun itu bertepatan dengan 570 masehi.

Di Aceh, tahun 2004 lebih dikenal dengan tahun Gempa Tsunami, sebab masyarakat mengenangperistiwa bencana tersebesar sepanjang sejarah abad ke-20 dan 21 tersebut. Dan setahun kemudian, 2005 disebut tahun MoU Helsinki, karena pertengahan Agustus antara GAM dan Pemerintah RI sepakat bersalaman dan damai. Begitu seterusnya, setiap kejadian (momen) penting dan besar di tahun tertentu akan dikenang dan menjadi simbol tahun tersebut

Menghadapi tahun 2016, melihat fenomena Aceh kedepan, di saat persatuan semakin rapuh, saling membantu semakin jauh, orang tua dan guru berubah jadi buruh, mufakat dan musyawarah semakin lumpuh, anak yatim dan fakir miskin mati bersimpuh, ulama bukan lagi tempat berteduh, pemimpin sombong menjadi angkuh, kaya dan takabur menjadi teguh. Maka fenomena itu terjadi, saya lebih menyebutnya "Tahun Jampok".

Jampok adalah sejenis burung hantu (English: Owl). Dalam "Hikayat" bahasa Aceh, Jampok diidentikkan dengan sifat tidak baik. Ini berawal dari kisah Nabi Sulaiman saat memilih pemimpin di "Negeri Cicem", Di mulai saat "Ma Jampok" dengan tiba-tiba menunjuk "Aneuk Jampok" menjadi raja, hingga akhir ceritanya memilih seseorang sesuai keahliannya. Banyak hikmah dan pelajaran dalam haba jameun (cerita zaman) Aceh ini.

Deungo lon kisah khabaran jameun
Masa keurajeun Nabi mulia
Masa keurajeun Nabi Sulaiman
Yang mat hukuman ban sigom donya

Nibak Siuroe Nabi Jak Meu en
Ka dengon angen sajan seureta
Ka Nabi neuduk ateuh kursi
Angen bapoet lee ban siklep mata

'Oh ban saree troh bak saboeh tempat
Geumusyawarah geu beuk boeh raja
Nabi neutanyong bak mandum ciceem
Toeh saree kateem lon bouh keu raja

Seuot po Jampok Hai Tuanku Ampon
Nyoe pat sigam lon neuboh keuraja
Seubab Sigam long rupa that ceudah
Lagi ngen hebat meubulee mata

Mata jih bulat babah meukuweit
Cukop meusaheet sigam keuraja
Nabi Sulaiman masa nyan meuseuheh neukhem
Dum cicem laen surak meubura

Teuma jiseuot Burong Keutok-tok
Meuhanjeut Jampok bah lon keu raja
Seubab di ulon nyoe na meupiyasan
Long peh canang prang oh malam jula

Lheuh nyan jiseuout Tok-tok Beuragoe
Hana meusoe-soe taboh keu Raja
Seudangkan di lon kupiah Beusoe
Hantom siuroe lakee keu Raja.

Teuma jiseuout Beurujuk Balee
Han kuteem banlee Jampok keu raja
Hana meusoe-soe ka tajak lakee
Golom meuteuntee tajak peutaba

Saweub digobnyan leuthat piyasan
Geupeeh ngen geundrang oh malam jula
Ngon Ciceem Got-got Geumeu en Geudrang
Leupah that garang karu ngen subra

Laju jiseuout si ciceem Enggang
Leupah that garang meunyoe jih keu Raja
Ampon Tuanku Saidil Ambiya
Galak lon raya gob nyan keu raja

Ciceem kakirouh nyang na di sinan
Nabi Sulaiman teukheem lagoina
Apa Jampok yoh nyan kamalee muka
kaleupah haba nariet jipuga

Di cicem Pala jigroep-groep lamboeng
di Cicem Buroeng surak meubura
Beurujuek Balee surak di sampeng
Cicem keureuleng sama-sama

Leumpah that malee ji apa Jampok
Teuduk meuseupok beu blek-blek mata
Malee ji that-that ka deungon rakan
Hana meu'oh ban cukop that gura

Teuma jidamee uleh Keudidi
Si Rajawali tabouh keu raja
Cicem Dama Peudana Meuntri
Beurujuk Campli Keupala Teuntra

Leuk Bangguna taboh keu Meuntri
Keupala negeri nyoe Ciceem Dama
Kleung Puteeh Ulee jeut Polisi
Si Mirah pati jeut keu wedana

Keu Peuneurangan po ciceem Tioeng
Nyang mat hukom Po ciceem Pala
Tok-Tok Beuragoe geuchiek gampong
Ciceem Keucuboeng keu ureung Ronda

Di cicem Tuloe jeut keu Peunerangan
Cicem Rajangan boeh keu Panglima
Di cicem Bubruk taboeh mak Bidan
Seubab gobnyan geukuwa-kuwa

Semoga hikayat "Aneuk Jampok" dapat menjadi pelajaran dalam hidup kita.

Ayo rileks sambil mendengar lagu-lagu "Jampok"



Hubungan Awal Aceh-Fathani

Teks kitab Syarah al-Mubarak tertulis di kolofonnya
Hubungan-hubungan antara Timur Tengah dengan Melayu-Nusantara sejak kebangkitan Islam sampai paruh kedua abad ke-17 menempuh beberapa fase dan juga mengambil beberapa bentuk. Dalam fase pertama sejak akhir abad ke-8 sampai abad ke-12, hubungan-hubungan yang ada umumnya berkenanan dengan perdagangan. Inisiatif dalam hubungan-hubungan semacam ini kebnayakan diprakarsai Muslim Timur Tengah, khususnya Arab dan Persia. Dalam fase berikutnya, sampai akhir abad ke-15, hubungan-hubungan antara kedua kawasan mulai mengambil aspek –aspek lebih luas, sebagai pedagang atau pengembara sufi mulai mengintensifikasikan penyebaran Islam di berbagai wilayah Nusantara. Pada tahap ini hubungan-hubungan keagamaan dan kultural terjalin lebih erat. Tahap ketiga adalah sejak abad ke-16 sampai paruh kedua abad ke-17. Dalam masa ini hubungan-hubungan yang terjalin lebih bersifat politis di samping keagamaan sebagaimana disebut di atas. Dalam periode ini, Muslim Nusantara semakin banyak ke tanah suci (Mekkah), yang pada gilirannya mendorong terciptanya jalinan keilmuan antara Timur Tengah dengan Nusantara melalui ulama Timur Tengah dan murid-murid Jawi. 
Aceh dan Fathani (Phatani) secara historis memiliki hubungan yang panjang dan erat. Sehingga, keduanya memiliki persamaan dan kemiripan dalam aplikasi keagamaan dan kebudayaan. Bahkan beberapa sumber menyebutkan bahwa hubungan bilateral antara Aceh dengan Phatani lebih awal daripada dengan Semenanjung Malaya (Malaysia).  Mohd, Shaghir Abdullah menyebutkan apabila ditinjau sejarah Melayu akan diperoleh bahwa banyak ulama-ulama Fathani yang berlayar ke Malaysia untuk penyebaran Islam di kawasan tersebut. Ulama-ulama Fathani menjadi salah satu tokoh penting dalam penyebaran awal Islam di Semenanjung Malaysia. 
Walaupun demikian, beberapa sumber primer ditemui bahwa Malaka (Malaysia) telah menjalin hubungan erat dengan Pasai (Aceh) sejak abad ke-13 masehi dengan mengirim delegasi dan kitab-kitab Arab tersebut untuk diterjemahkan ke dalam bahasa Jawi (Melayu)-Pasai.  Bahasa Melayu (dan Indonesia) yang sebagaimana yang dipraktekkan saat ini telah dirumuskan oleh Kesultanan Pasai. Pasai menjadi basecamp dan sentral perkembangan bahasa Melayu dengan aksara Jawi, hingga mengaplikasikan -khususnya- aksara Jawi di seluruh wilayah Melayu dan Nusantara sebagai simbol kesatuan negeri Jawi (nasionalisme) dan keagamaan (Islam), terutama di luar kawasan kekuasaan Kerajaan Majapahit- untuk mengurangi kekuasaan dan pengaruhnya.

Teks kitab Syarah al-Mubarak tertulis di kolofonnya
Tamat Sharh al-Mubarak bi’auni al-’adhim fi sanah 1228 H
fi Shahr Muharram [Januari 1813 M]  fi Zaman  Paduka 
Sri Sultan ‘Alauddin Jauhar Alam Syah.
Wa-shahibuhu wa katibuhu al-faqir al-haqir ar-raji ila-Allah
Al-qhani Ja’far “muallim” Haitam ibn Abdurrauf gampong
...  Fi maqam shaykhina wa-qudwatina al-’arif billah al-syaik
Abdusshamad Lambhuk ibn Yusuf ibn Abdullah al-Fathani...



Dapat dipastikan, pada abad ke-16 dan ke-17 M, Aceh mencapai puncak keselarasan di era Kesultanan Aceh. Pada saat itu Aceh menjadi pusat ilmu pengetahuan, perdagangan Internasional, dan puncak kemajuan sastra. Bukti ini dapat terlihat pada naskah-naskah klasik atau manuskrip yang ditulis oleh para ulama Aceh dan Melayu dengan berbagai disiplin ilmu. Namun demikian, hubungan antar wilayah Melayu Nusantara, antara Aceh dengan Fathani dan Semenanjung Melayu telah terjalin jauh sebelumnya, periode Kesultanan Pasai dan hingga periode Kolonialisme, akan tetapi, bukti-bukti konkret dan relevan sangat sedikit.
Antara Aceh dan Fathani memiliki kesamaan visi untuk memajukan intelektual masyarakat Melayu, tanpa menghiraukan identitas dirinya. Dan juga memperjuangkan agama dalam bidang keilmuan dan intelektual. Kesamaan visi ini terhubung oleh jaringan ulama antar keduanya saat berada di perantauan, khususnya di Haramain. Kesamaan visi dan misi itulah yang jelas terwujud pada abad ke-18 dan 19 masehi, sehingga antara ulama Fathani dan Aceh memiliki minimal tiga kesamaan pada era tersebut, membentuk keilmuan yang kredibel dengan tashih dan tahqiq kitab, menjalin hubungan tarekat antar Melayu-Nusantara, dan memajukan bahasa sastra Melayu. Ketiga hal tersebut sama-sama dimiliki oleh kedua daerah yang bergelar "Darussalam", walaupun secara geografis jarak keduanya berada di kepulauan yang jauh berbeda.

Aceh Perlu Bangun Lagi Tradisi Keilmuan Islam



BANDA ACEH – Aceh yang pernah berjaya sebagai pusat peradaban Islam di Asia Tenggara diharapkan dapat membangun kembali tradisi keilmuan Islam yang selama ini telah hilang akibat tergerus zaman dan minimnya kepedulian pemerintah.

Hal ini dinilai perlu menjadi perhatian semua pihak dalam upaya membangkitkan kembali keilmuan Islam di Aceh‎, sehingga bisa disegani dunia luar sebagaimana zaman Kesultanan Aceh.

Pernyataan itu disampaikan budayawan dan kolektor manuskrip kuno Aceh, Tgk. Tarmizi A. Hamid pada acara halal bihalal dan dialog khasanah budaya dengan tema, “Membangun Tradisi Keilmuan Islam di Aceh”‎ yang digelar BPR Mustaqim Sukamakmur, di Lampeuneureut, Aceh Besar, Jum’at 24 Juli 2015.

Tarmizi‎ mengungkapkan, tinta emas para intelektual Islam masa lalu sekaliber Hamzah Fansury, Syekh Nuruddin Ar-Raniry, Syekh Abdul Rauf As-Singkili dan ulama lintas zaman lainnya, yang ditulis di media kertas telah menghiasi keilmuan Islam yang sangat tinggi di sentero Asia. Semua ulama tersebut telah menghabiskan umurnya dalam tradisi tulis menulis dengan beribu judul kitab kuno (manuskrip) di Aceh.

“Keilmuan Islam dalam kitab-kitab tersebut di semua aspek sesuai dengan kebutuhan para pencari ilmu yang berbondong-bondong migrasi ke Aceh pada zaman tersebut. Negara-negara Islam lainnya pada masa itu memandang Aceh sebagai pusat pengembangan keilmuan yang berperadaban sangat tinggi, Aceh sangat aspiratif, dalam mengelola berbagai kepentingan hajat hidup semua bangsanya,” kata Direktur Rumoh Manuskrip Aceh ini.

“Nilai-nilai budaya dan sejarah itulah serta peninggalan tradisi yang ditinggalkan oleh leluhur kita yang masih dapat kita lihat, membaca dan meneliti sampai kepada zaman ini yang saya himpun dari berbagai daerah di Aceh yang saat ini  tersimpan di koleksi saya berupa Naskah Kuno. Ini adalah salah satu item yang maha penting sebagai referensi tradisi keilmuan Islam yang bisa ditransformasi kepada anak cucu kita baik sekarang maupun yang akan datang di negeri yang diridhai oleh Allah SWT,” kata Tarmizi.

Sementara pada sesi kedua, Peneliti Naskah Kuno (Filolog) Aceh, Hermansyah M.Th, MA.Hum,‎ lebih khusus menghantarkan beberapa keilmuan yang ada dalam manuskrip serta perkembangan pembangunan keilmuan manuskrip di negara-negara maju yang semua negara tersebut berstatus bukan negara Islam.

Dirut BPR Mustaqim Sukamakmur, Teuku Hanansyah berfoto bersama dengan dua maestro manuskrip kuno Aceh, Tarmizi A. Hamid dan Hermansyah (27 Juli 2015)

Diantara negara yang sangat berminat dengan kajian-kajian manuskrip seperti Inggris, Belanda, Amerika, Jerman, dan Jepang, yang kini membuka beberapa konsentrasi bidang tersebut. Negara-negara tersebut berlomba-lomba untuk membuat pusat studi Islamic dan lembaga penelitiannya khususnya dengan manuskrip yang berbahasa Arab, Melayu dan Aceh sendiri. Dan kini (2016) terbukti beberapa universitas di Eropa membuka bidang kajian manuskrip tersebut.

Hermansyah yang juga Dosen Fakultas Adab dan Humaniora UIN Ar-Raniry ini, menjamin apabila ada generasi sekarang yang ingin mengambil jurusan Filologi di luar negeri, disamping diterima dengan senang hati juga akan diberikan beasiswa sampai kepada S-3 (doktor).

Ia mencontohkan dirinya sendiri, yang fokus mempelajari manuskrip-manuskrip yang langka dipelajari oleh kalangan sekarang.

“Sebentar lagi saya juga akan berangkat melanjutkan studi di Jerman dalam keilmuan filologi juga. Jadi kesempatan ini bisa diperoleh semuanya, tinggal kita saja mau melanjutkan sebuah tradisi keilmuan Islam yang telah diwarisi oleh leluhur kita ini,” katanya.

Dalam dialog yang turut dihadiri Dirut BPR Mustaqim Sukamakmur, Teuku Hanansyah, juga diisi dengan tanya jawab oleh semua peserta yang hadir pada acara ini. Mereka terlihat kagum dengan kehebatan keilmuan masa lalu di Kerajaan Aceh Darussalam itu. []

Sumber: http://archives.portalsatu.com/budaya/aceh-perlu-bangun-lagi-tradisi-keilmuan-islam/

Belanda, Kuburan, dan Aceh

"Muslimin dalam negeri Aceh dengan taufiq Allah Ta‘ālā ji bangkit perang dan hal yang raja2 dan petua2 jabatan. Dan orang yang kaya2 hana ji bangkit perang berdiri ke kepala perang hana malee ji tabek kafir Ulanda (Belanda), masuk ke dalam negeri jiboh nyan jirat2 dalam negeri, habeh jigali batee nisan dum, habeh jiboh pada ateung jalan, ladoem ureng jidrop jiboh lam glap hingga matee. Dum nan perbuatan kafee, pakri hana pikee, pakri hana malee..”
(Artinya: maka dengan Taufiq Allah Ta’ala rakyat muslimin di negeri Aceh bangkit perang beserta raja-raja dan ketua-ketua jabatan. Sedang orang-orang kaya tidak ikut berperang, tunduk kepada kafir Belanda tanpa rasa malu, padahal mereka masuk ke daerah-daerah menghancurkan semua jirat-jirat yang ada, digali semua nisan, dibuang ke jalan-jalan, sebagian lagi orang ditangkap dan dipenjara hingga mati. Sedemkian kejam perbuatan kafir, kenapa tidak berpikir, kenapa tidak malu!!)
Kata-kata di atas dari Syekh Abbas Kutakarang yang hidup sezaman dengan Tgk Chik di Tiro Muhammad Saman saat mengajak orang Aceh perang melawan penjajah Belanda (1973-1914). Tahun-tahun ini dikenal syahidnya para ulama, umara, dan rakyat Aceh.
Syekh Abbas Kutakarang adalah tokoh multitalenta, tabib dan ulama besar yang mengarang beberapa kitab-kitab yang sangat bermanfaat, langka dan jarang dikuasai oleh tokoh sezamannya di akhir era kesultanan Aceh dan masa penjajahan Belanda.
Benar, ini bukan zamannya penjajah. Tetapi, tulisan ini mengkritisi warisan perilaku kolonial Belanda, yang ternyata secara tidak sadar telah diwarisi hingga kini, yaitu merusak dan menghancurkan nisan-nisan (makam) di Aceh. Bahkan, nisan-nisan yang telah disembunyikan. Dan juga sebaliknya, tulisan ini bukan mengajak pembaca untuk “memuja” kuburan sebab itu pekerjaan syirik.
Namun, beberapa kasus yang mencuat di Aceh, makam-makam ulama, sultan dan tokoh besar masa lalu di Aceh kini terbengkalai, dihancurkan, jadi batu asah, dibongkar untuk bangun toko dan gedung lainnya, bahkan digadai untuk investasi nanggroe, sebut saja kasus makam-makam Lamuri di Lamreh, Pango Deah, Lampulo, dan beberapa daerah lainnya.
Saya menelusuri kenapa warisan-warisan Aceh yang memberi kita banyak kontribusi pengetahuan diabaikan, ternyata ini adalah salah satu cara Belanda untuk menghancurkan jiwa-jiwa orang Aceh, dan memutus mata rantai sejarahnya yang memiliki bukti kehebatan terdahulu, sehingga bukti itu berubah menjadi sebuah dongeng.
Pantas, jika makam para sultan, ulama Aceh, bahkan makam sultan Iskandar Muda pun dihancurkan dan disembunyikan era koloniaslme dengan dibangun gedung Belanda atasnya, supaya orang-orang Aceh tidak tahu akan sejarahnya. Hingga beberapa tahun kemerdekaan Indonesia lokasi makam tersebut ditemukan kembali.
Walau Belanda sudah angkat kaki lebih setengah abad lalu, tabiat itu masih diwarisi, mungkin dari “orang-orang yang tabek keu kafee Ulanda”. Namun yang pasti, fakta sekarang banyak pusara-pusara tersebut dihancurkan demi pembangunan yang modernis bersimbol “madani dan syariat Islam”.
Tentunya ini bukan saja persoalan ekonomis, tetapi pola pikir yang sudah melumat “koloniaslisme” dalam pemangku jabatan yang menjalar ke seluruh masyarakat tanpa kepedulian. Apakah ini zaman “meunyoe ka sapue kheun sapue pakat, lampoeh jrat tapeugala”.

Aceh Masa Depan
Setiap jengkal di Aceh memiliki nilai budaya dan sejarah yang sangat berharga bagi masa depan, menata kembali untuk memberikan sebuah bukti peradaban kepada dunia, sebagaimana dilakukan oleh banyak negara di Eropa, seperti Jerman, Swedia, Belanda pasca perang dunia II, bahkan Turki dan Jepang sekalipun.
Walaupun Negara-negara tersebut dibilang maju dan modern, tetapi masih menjaga baik warisan peradabannya terdahulu sebagai cagar budaya dan menjadi aset pariwisata yang ekonomis dan religious.
Sebenarnya, satu dasawarsa Aceh pasca damai menjadi momen bagi pemerintah bersama masyarakat Aceh berbenah “rumah sendiri”. Rekonstruksi Aceh pasca bencana (alam, konflik/ perang) yang terbilang puluhan (ratusan) tahun harus berkelanjutan dan komprehensif.
Sungguh naif, pembangunan di era modern dibangun di atas kuburan, mengingatkan kita tabiat Wahabi di Arab Saudi dan perilaku penjajah Belanda di Aceh masa lampau.

Jika demikian, lebih baik membangun “rumah baru” di tempat lain untuk pemerataan kesejahteraan di Aceh daripada harus menghancurkan peradaban yang pernah membawa nama harum bangsa. Intinya, merehab “Aceh (rumah) lama” bukan berarti menghancurkan pondasi awal. Bisakah?

http://aceh.tribunnews.com/2015/11/10/belanda-kuburan-dan-aceh

Ithaf Ad-Dhaki dan al-Mawahib al-Mustarsilah untuk At-Tuhfah al-Mursalah (Bagian 1)

Bagian tulisan pertama saya mengutip dari tulisan Meugat Seukandar.(1) Tulisan ini menjadi penting bahwa Abdurrauf Syiah (w. 1693) Kuala memberikan komentar (syarh) terhadap kitab At-Tuhfah al-Mursalah ila al-Nabi ShallaAllahu ‘Alayhi wa-Sallam (selanjutnya: al-Tuhfah al-Mursalah), yaitu kitab yang dikarang oleh Fadlullah al-Hindi al-Burhanpuri (w. 1619), pada tahun 1590 di India, berkaitan dengan doktrin martabat tujuh yang sempat sangat populer di kalangan masyarakat Muslim di Aceh dan di dunia Melayu-Nusantara.
Sedangkan bagian kedua saya banyak mengutip dari kajian Oman Fathurahman, bukunya berjudul Ithaf al-Dhaki. Diambil dari nama sebuah kitab Ithaf al-Dhaki bi Sharh At-Tuhfah al-Mursalah ila al-Nabi ShallaAllahu ‘Alayhi wa-Sallam (red: Ithaf ad-Dhaki) yang dikarang oleh Syekh Ibrahim ibn Hasan al-Kurani al-Syahrazuri al-Syahrani al-Kurdi al-Madani al-Syafi’i (1616-1690) (red: Syekh Ibrahim al-Kurani) merupakan komentar (syarh) terhadap kitab al-Tuhfah al-Mursalah sekaligus untuk menjawab pertanyaan dan surat-surat yang datang dari "Jama'ah al-Jawiyin" (masyarakat Muslim di Jawi) kepadanya.
Menurut saya keduanya memiliki hubungan erat secara historis, psikologis dan konteks keagamaan periode tersebut. Untuk mengawalinya saya mengutip dari tulisan Meugat Seukandar.
Naskah ini merupakan salinan Kitab Al-Mawahib Al-Mustarsilah 'ala At-Tuhfah Al-Mursalah, sebuah komentar yang ditulis Syaikh Aminuddin 'Abdurrauf Al-Fanshuri Al-Jawiy terhadap At-Tuhfah Al-Mursalah yang ditulis ulama India, Syamsuddin Muhammad bin Fadhlullah. Dalam karya ini, Syaikh 'Abdurrauf menyebutkan bahwa di zamannya At-Tuhfah Al-Mursalah telah sampai ke Pulau Aceh yang ramai. Hal ini sedikit banyak menggambarkan jaringan intelektualitas yang telah terbentuk di zaman itu, dan menandakan Aceh adalah pusat kebudayaan dan keilmuan yang besar di Nusantara.


(Di atas) Syarah Al-Mawahib al-Mustarsilah 'ala At-Tuhfah al-Mursalah.
Koleksi keluarga  Tgk. H. Muhammad Hasan Krueng Kalee
Fhoto: Meugat Seukandar (2005)

هذا شرح المواهب المسترسلة على التحفة المرسلة تأليف 
العالم العلامة الحبر البحر الفهامة فريد عصره ووحيد 
دهره العارف أمين الدين الشيخ عبد الرؤف
ابن الشيخ علي الفنصوري الجاوي الآشي
أسبل الله عليهما ستور الرحمة والرضوان
وأسدل علينا ببركاتهما سدول المغفرة 
والإحسان أمين
اللهم أمين

Terjemahan:
Inilah Syarah “Al-Mawahib Al-Mustarsilah ‘Ala At-Tuhfah Al-Mursalah” karangan yang ‘alim lagi terlebih ‘alim, penulis, lautan ilmu, yang terlebih paham, yang istimewa di zamannya lagi tunggal di masanya, yang terkenal terpercaya dalam agama Syaikh ‘Abdur Ra’uf bin Syaikh ‘Ali Al-Fanshuri Al-Jawi Al-Asyi, semoga Allah mengulurkan tirai-tirai rahmat dan keridhaan-Nya, dan menurunkan kepada kita dengan barakat keduanya pada kebaikan dan keampunan-Nya. Ya Allah perkenankanlah.


Teks Syarah Al-Mawahib al-Mustarsilah 'ala At-Tuhfah al-Mursalah.
Koleksi keluarga  Tgk. H. Muhammad Hasan Krueng Kalee
Fhoto: Meugat Seukandar (2005)

... ثم مما صنف في هذا العلم العظيم الحاوي 
لكل معنى حسيم رسالة أرسلت من الديار الهندية إلى الجزيرة المعمورة
الآشية منسوبة إلى الفاضل والامام الألمعي الكامل الفائز بقصب 
السبق في حلبة ميدان معرفة الحق العارف بالله شمس الدين الحاذق
محمد بن فضل الله متعنا الله بوجوده وأسبغ عليه وافر جوده بمحمد
وآله ومن نسج على منواله وهي من أنفع المختصرات وأسهل العبارات 
على أهل النهايات لا البدايات حوت من كل لفظ أنيقه ومن كل معنى
دقيقه عروس لم يفتض ختامها ولا لثم لثامهاا


Terjemahan: 
"Di antara karangan yang disusun dalam ilmu ini (ilmu Tauhid), yang mengandung segala makna yang putus, ialah sebuah risalah yang dikirimkan dari negeri-negeri India ke pulau Aceh yang ramai, yang disandarkan kepada seorang yang utama, imam yang cemerlang lagi sempurna, pemenang tongkat kepeloporan di pentas bidang ma’rifatul haq (pengetahuan tentang Allah Ta’ala) Al-‘Arif billah Syamsuddin yang cerdas Muhammad bin Fadhlullah, semoga Allah membahagiakan kita dengan keberadaannya serta menyelimutinya dengan kemurahan-Nya yang melimpah dengan [barakah] Muhammad dan Keluarga beliau dan orang-orang yang mengikuti beliau. Risalah ini adalah di antara risalah-risalah yang amat bermanfaat, kalimat-kalimatnya sangat mudah bagi orang-orang yang hidup di masa-masa terakhir bukan di awal-awalnya, di dalamnya termuat yang indah dari setiap kata, yang halus dari setiap makna, umpama pengantin yang tidak melepaskan cincinnya, tidak menurunkan cadarnya.

Syarah Al-Mawahib al-Mustarsilah 'ala At-Tuhfah al-Mursalah.
Koleksi keluarga  Tgk. H. Muhammad Hasan Krueng Kalee
Fhoto: Meugat Seukandar (2005)

ثم لما كان أمرها 
كذلك وشأنها على ما هنالك التمس مني بعض الإخوان فيما تقدم
من ماضي الزمان ممن له الدراية والدراسة شأن ممن قرأها علي بعد
ذلك وأتقن ما قرأه ولكنه منه على حسب ما أمكنه أن أضع عليها شرحا 
يبين مرادها ويحل ما تعقد من ألفاظها فأجبته لذلك مع قصوري
عما هنالك لقلة بضاعتي وضعف صناعتي غير أني لما أخلصت
في التوكيل على الوكيل جاء بحمد الله خاليا عن التطويل والتعليل
حاويا لكل معنى جزيل ينفع به المبتدي ويرجع إليه المنتهي وسميته 
بالمواهب المسترسلة على التحفة المرسلة وأسأل الله الكريم 
رب العرش العظيم أن ينتفع به كل طالب ويبلغ به أقصى المقاصد 
والمأرب أنه على ذلك قدير وبالإجابة جدير

Terjemahan: 
"Karena risalah tersebut demikian halnya dan begitulah kedudukannya, maka seorang sahabat (saudara)—di mana pada waktu yang lalu ia adalah salah seorang yang dalam pengetahuan dan kajian seperingkat dengan orang yang kemudian membacakan (mengajarkan) risalah itu kepada saya dan ia cermat dalam bacaannya tetapi itu sejauh yang ia mampu—meminta kepada saya untuk menyusun sebuah penjelasan (komentar) yang menerangkan maksud [isi] risalah tersebut serta menguraikan kata-katanya yang rumit, maka saya terima permintaan tersebut meskipun kemampuan saya terbatas untuk mengerjakannya sebab sedikitnya bekal ilmu yang saya miliki dan lemahnya keterampilan [menulis] saya, namun manakala saya menuluskan penyerahan diri kepada Yang Maha tempat memasrahkan diri maka karangan saya ini, dengan segala puji kepada Allah, terhindar dari panjang lebar [yang bertele-tele] dan yang mencacatkan, memuat makna-makna yang melimpah, bermanfaat bagi pemula dan menjadi rujukan bagi yang sudah tamat. Dan saya menamakannya dengan Al-Mawahib Al-Mustarsilah ‘ala At-Tuhfah Al-Mursalah. Saya memohon kepada Allah Yang Maha Mulia, Tuhan ‘Arasy yang agung, supaya karangan ini bermanfaat bagi setiap penuntut ilmu dan menjadi perantara untuk mencapai maksud dan tujuan yang jauh, sesungguhnya Dia untuk itu Maha Kuasa dan untuk mengabulkannya teramat pantas."

Gambar naskah-naskah di atas  adalah foto dari Meugat Seukandar yang difoto pada Desember 2005 saat kunjungannya ke Tgk. H. Mutiara Fahmi di Dayah Tgk. Haji Muhammad Hasan Krueng Kale, Gampoeng Sim. Naskah manuskrip ini adalah milik Tgk. Haji Muhammad Hasan Krueng Kale yang kemudian diwarisi putra beliau Tgk. Syaikh Marhaban--Rahimahuma Allah.

1) http://mapesa-aceh.blogspot.de/2015/09/jaringan-intelektual-aceh-abad-ke-17-m.html