Darah Imam di Mushaf Masjid Raya Banda Aceh
Darah Imam di Mushaf Masjid Raya Banda Aceh - Selamat datang di blog Sejarah Aceh, Info kali ini adalah tentang Darah Imam di Mushaf Masjid Raya Banda Aceh !! Semoga tulisan singkat dengan kategori ini bermanfaat bagi anda yang membutuhkan. Dan untuk anda yang baru berkunjung kenal dengan blog sederhana ini, Jangan lupa ikut menyebarluaskan postingan bertema Darah Imam di Mushaf Masjid Raya Banda Aceh ini ke social media anda, Semoga rezeki berlimpah ikut di permudahkan sang khalik yang maha kuasa, Selengkapnya lansung lihat infonya dibawah -->
MS [manuskrip] ini hadiah dari Kapten JHA IJssel de Schepper, yang menemukannya pada tubuh “Imam Aceh” yang syahid setelah penyerbuan Masjid Agung (Missigit) di Koetaradja dalam perang Aceh pertama. MS diterima oleh Michael Jan de Goeje di Leiden. MS dikirim dari “Bivouac Zeestrand” Aceh ke Belanda pada 27 April 1873.
Itulah kalimat pengantar di sampul dalam Mushaf al-Quran dari Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh yang kini dikoleksi di Perpustakaan Leiden Belanda. Tulisan tangan dalam Bahasa Belanda tersebut ditandatangani oleh Scheeper sendiri kepada Michael Jan de Goeje (1836-1909), yang tak lain adalah Profesor Bahasa Arab di Universitas Leiden. Profesor Goeje kemudian menghibahkannya ke Universitas Leiden hingga saat ini.
Tak butuh waktu lama sejak disimpan di Belanda, tepat pada 9 Juli di tahun yang sama, Mushaf Aceh yang indah ini dipublikasi di koran “Leidsch Dagblad”, yang dinilai memiliki illuminasi (hiasan figura) yang cantik dan dipenuhi dengan warna hitam, merah dan emas dari awal hingga akhir halaman. Sampul Mushaf dibinding dari kulit dan memiliki ornamen Timur Tengah, selain itu terdapat tetesan-tetesan darah mengering di Mushaf ini.
Pernyataan Schepper bahwa ditemukan di tubuh Imam Masjid yang syahid saat invasi pertama Belanda ke Aceh sangat mengejutkan. Sebab, selama ini, sejarah dan mayoritas masyarakat Aceh hanya mengetahui J.R Kohler yang mati pada serangan Belanda pertama di Aceh 14 April 1873. Ia merupakan Jenderal Belanda yang memimpin KNIL agresi pertama di Aceh. Peluru snipper Aceh mengenai dadanya pada saat ia ingin menguasai Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh. Dan sejarah mencatat, Aceh menang atas kematian pimpinan Belanda.
Akan tetapi, merujuk kepada catatan dalam Mushaf Aceh, patut menjadi sebuah duka besar bagi Aceh, karena di pihak Aceh sendiri kehilangan seorang Imam Mesjid, walaupun Masjid Raya tidak dapat dikuasai. Meninggalnya Imam Besar Mesjid Raya ini mungkin menjadi salah satu kelemahan Aceh dalam mempertahankan Mesjid Raya pada agresi kedua yang dipimpin oleh Jenderal J. van Swieten di akhir tahun yang sama, dan dapat dikuasai Januari 1974.
Menurut Paul van’t Veer “Perang Aceh: Kisah Kegagalan Snouck Hurgronje” bahwa Belanda telah “salah alamat” dalam invansi tersebut, karena Belanda menduga bangunan yang dikelilingi beton tebal beratap rumbia tersebut adalah keratin, dan rakyat Aceh pun mempertahankan mati-matian bangunan tersebut. Hal tersebut menunjukkan bahwa “masjid” dan “masyarkat” adalah satu kesatuan dalam amalan dunia dan akhirat.
Museum Mushaf al-Quran Baiturrahman
Megahnya Mesjid Baiturrahman pasca rehab dan rekon, perbaikan halaman dan perbaikan infrastruktur telah menambah daya tarik tersendiri bagi para pengunjung dan masyarakat Aceh untuk menunaikan ibadah atau melakukan kegiatan lainnya. Akan tetapi, sejauh ini Mesjid Raya Baiturrahman belum dilengkapi dengan “penguatan sejarah” dan “ruh” sebuah masjid yang bersejarah, terutama saat-saat perjuangan Mesjid Raya melawan Belanda.
Dengan ditemukannya kembali Mushaf al-Quran Aceh yang disita setelah syahidnya Imam Mesjid Raya tahu 1873, maka Pemerintah Aceh untuk membangun museum Masjid Raya Baiturrahman dan mereproduksi kembali mushaf asli Mesjid Raya yang kini di koleksi Leiden Belanda. Seiring dengan tujuan mulia tersebut akan membuka ruang lain, seperti mengkaji dan menerbitkan Mushaf resmi Aceh.
Sisi lain juga menjadi media untuk mengoleksi dan menyimpan semua sebaran mushaf-muhaf yang ada di Aceh. Sebaran ini sangat penting untuk dilakukan sebagai bentuk kepedulian Pemerintah Aceh dalam melestarikan, merawat dan mewariskan khazanah Aceh tempo dulu. Hal tersebut perlu diwujudkan sebagaimana Belanda –yang dianggap musuh- telah lama mewujudkannya dan menjadikannya sebagai sentral kajian sumber primer di Asia Tenggara, khususnya wilayah Nusantara.
Jika anda meminta dibangun monumen Kohler, jangan jadi keturunan penjajah Belanda. Tetapi, mintalah Museum dan Monumen Mushaf al-Quran Aceh di Mesjid Raya, karna al-Quran buku tuntunan Muslim, dan Mesjid tempat terbaiknya. []
Demikianlah Artikel Darah Imam di Mushaf Masjid Raya Banda Aceh, Semoga dengan adanya artikel singkat seperti Informasi postingan Darah Imam di Mushaf Masjid Raya Banda Aceh ini, Anda benar benar sudah menemukan artikel yang sedang anda butuhkan Sekarang. Jangan lupa untuk menyebarluaskan informasi Darah Imam di Mushaf Masjid Raya Banda Aceh ini untuk orang orang terdekat anda, Bagikan infonya melalui fasilitas layanan Share Facebook maupun Twitter yang tersedia di situs ini.