Bagaimana Sistem Berijtihad di Masa Nabi SAW ?
Bagaimana Sistem Berijtihad di Masa Nabi SAW ? - Selamat datang di blog Sejarah Aceh, Info kali ini adalah tentang Bagaimana Sistem Berijtihad di Masa Nabi SAW ? !! Semoga tulisan singkat dengan kategori ini bermanfaat bagi anda yang membutuhkan. Dan untuk anda yang baru berkunjung kenal dengan blog sederhana ini, Jangan lupa ikut menyebarluaskan postingan bertema Bagaimana Sistem Berijtihad di Masa Nabi SAW ? ini ke social media anda, Semoga rezeki berlimpah ikut di permudahkan sang khalik yang maha kuasa, Selengkapnya lansung lihat infonya dibawah -->
Bagaimana sistem sebenarnya Ijtihad hukum yang dijalankan oleh Rasulullah ? Apakah ijtihadnya sama dengan para ulama hari ini. Namun apa arti dari ijtihad itu sendiri ? Ijtihad adalah Jalan untuk menuju kepada sebuah hukum islam yang bersumber dari Al-Quran dan Hadist Rasulullah SAW. atau bisa disebut sebagai jalan penentu hukum halal ataukah haram dalam sebuah hukum yang hukum tersebut tidak ada disama Nabi SAW. Maka dalam hal menentukan sebuah hukum para ulama berkumpul dan mencari cara bagaimana status hukum baru yang timbul dari tubuh islam itu sendiri, apakah dapat dijadikan hukum halal, makruh, haram, boleh ataupun disunnahkan. Adapun hasil dari ijtihad disebut ijmak, yaitu hasil kesepakatan para ulama dari proses ijtihad. Jika ada suatu hukum dijadikan ijtihad oleh para ulama maka ketika siap dijadikan status huku resmi maka jadilah hukum tersebut menjadi ijmak.
Untuk itu, mengenai penggalian hukum di zaman Nabi Besar Muhammad SAW dapat dilihat kepada dua macam periode:
1. Periode sebelum hijrah Nabi SAW ke Madinah. Yakni sejak dari permulaan turun wahyu kepada Baginda hingga sampai pada waktu hijrahnya. Masa ini meliputi lebih kurang 13 tahun. Dalam periode ini sangat sedikit hukum-hukum yang merupakan syari’at Islam, seperti shalat, zakat yang masih belum begitu ada pembatasannya, puasa pada sebagian hari, dan lain-lain. Sebab dalam periode ini lebih dititikberatkan kepada menghimbau manusia kepada rukun-rukun iman, di samping menunjuki mereka kepada akhlak dan pribadi yang mulia.
Ayat-ayat yang turun dalam periode ini disebutkan dengan ayat-ayat Makkiyyah dan jumlahnya lebih kurang 2/3 Al-Qur’an.
2. Periode sesudah hijrah Nabi SAW ke Madinah dimana masanya lebih kurang 10 tahun. Barulah setelah Nabi berada di Madinah umat manusia yang beriman kepada Allah sudah membutuhkan hukum-hukum keagamaan dan nilainya yang mengatur kemasyarakatan dalam arti yang luas.
Masalahnya karena di Madinah Nabi Muhammad SAW sudah mulai membentuk kenegaraan dengan organisasinya. Itulah sebabnya maka ayat-ayat Madaniyyah lebih banyak dititikberatkan kepada hukum-hukum keagamaan dalam arti yang luas dan ayat-ayat untuk itu jumlahnya lebih kurang 1/3 Al-Qur’an.
Sumber-sumber Hukum Islam Sekarang Ini
Sumber-sumber hukum Islam di zaman Nabi Muhammad SAW baik periode sebelum hijrah dan sesudahnya adalah Kitab Suci Al-Qur’an. Sunnah dan Hadits beliau berupa perkataanya, perbuatannya dan taqrirnya. Sebab sunnah dan hadits beliau pada hakikatnya merupakan wahyu yang tidak tertulis. Karena itu hal keadaan ini bukan hanya saja pedoman bagi beliau sendiri, tetapi juga bagi para sahabatnya. Inilah yang dimaksud dengan ayat 44 surat An-Naml, yang menyatakan, bahwa Nabi Muhammad adalah yang berhak mengungkapkan kepada umat manusia pengertian Kitab Suci Al-Qur’an supaya manusia itu dapat berpikir selanjutnya. Dengan demikian, maka terhindarlah perbedaan paham di kalangan manusia dengan kembali kepada petunjuk dan rahmat Allah buat orang-orang yang beriman. (Lihat ayat 64 surat An-Naml).
Sumber hukum yang ketiga di zaman Nabi ialah, syari’at Nabi sebelumnya selama tidak bertentangan dengan ayat-ayat yang terdapat dalam Al-Qur’an. Menurut pendapat yang terkuat di kalangan ulama Ushuliyyin, bahwa syari’at Nabi sebelumnya ialah syari’atnya Nabi Ibrahim a.s. karena Rasulullah lebih banyak menyelidiki syari’at Ibrahim a.s., terutama sebelum beliau diangkat oleh Allah SWT selaku Nabi dan Rasul. Tetapi hal keadaan ini bukan berarti Nabi kita termasuk umat Nabi Ibrahim, sebab kelahiran Nabi Muhammad adalah sesudah zaman fatrah yang begitu panjang.
Sumber hukum yang keempat bagi zaman Nabi ialah ‘urf, atau dengan kata lain adat istiadat bangsa Arab, dimana akal dapat menerimanya dengan baik dan kemanusiaan yang adil dan beradab turut juga menilainya. Sudah barang pasti sumber hukum ini berlaku selama tidak bertentangan dengan wahyu Al-Qur’an. Misalnya hukum yang masih berlaku dalam lapangan jual beli dengan istilah aqad-salam, yakni, jual beli dengan gambaran yang jelas dan tunai, tetapi barangnya belum ada. Juga hukum mudhaarabah, yakni seorang memberikan modal kepada orang lain dengan maksud ada ketentuan laba antara keduanya berdasarkan syarat-syarat yang diatur oleh kedua belah pihak.
Dari sumber hukum inilah para ilmuwan fiqh membuat qaidah-qaidah sebagai berikut:
المعروف عرقا كالمشروط شرطا. المعروف عرفا كالمشروط شرعا الثابت بالعرف كالثابت بالنص. العادة محكّمة
Sumber hukum ini berlakunya selama tidak bertentangan dengan syarat-syarat yang diatur oleh kedua belah pihak. ‘Urf atau ‘adah ini di samping telah berjalan sebelumnya dan juga masih berlaku pada ketika kasus sesuatu masalah itu terjadi. Dan yang paling penting adalah tidak bertentangan dengan Kitab Suci Al-Qur’an atau Sunnah Nabi. Selama ‘urf atau adat istiadat itu tidak ditunjang secara nyata oleh Al-Qur’an atau Sunnah Nabi, maka hukum sesuatu berdasarkan sumber hukum ini bisa berubah, apabila datang ‘urf atau adat istiadat yang lain.
Atas sumber hukum inilah ditempatkan firman Allah dalam surat Al-A’raf ayat 99 dan dalam surah Al-Baqarah ayat 233, bahkan Nabi sendiri telah bersabda; bahwa sesuatu yang dianggap oleh umat Islam itu adalah baik, berarti itu adalah baik juga di sisi Allah.
Ijtihad Rasulullah
Berbicara mengenai ijtihad Nabi sendiri sudah termasuk dalam pemahaman firman Allah mengenai anjuran musyawarah (12); sedangkan musyawarah adalah pada lapangan yang bersifat ijtihad, bukan pada sesuatu yang hukumnya berdasarkan wahyu. Hal keadaan ini tidak ada musyawarah padanya. Dan bukankah kita semua telah memaklumi mengenai keterangan Nabi, bahwa mujtahid sebagai penggali hukum apabila betul mendapat dua pahala dan apabila salah mendapat satu pahala (13). Dan dalam ucapan Nabi ini secara umum termasuk pula diri beliau, alaihisshalaatu wassalam.
Dikutip Dari Buku : Penggalian Hukum Islam dari Masa ke Masa
Karya : Abuya Prof. Dr. Tgk. H. Muhibbuddin Waly
Demikianlah Artikel Bagaimana Sistem Berijtihad di Masa Nabi SAW ?, Semoga dengan adanya artikel singkat seperti Informasi postingan Bagaimana Sistem Berijtihad di Masa Nabi SAW ? ini, Anda benar benar sudah menemukan artikel yang sedang anda butuhkan Sekarang. Jangan lupa untuk menyebarluaskan informasi Bagaimana Sistem Berijtihad di Masa Nabi SAW ? ini untuk orang orang terdekat anda, Bagikan infonya melalui fasilitas layanan Share Facebook maupun Twitter yang tersedia di situs ini.