Tampilkan postingan dengan label Sejarah Aceh. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sejarah Aceh. Tampilkan semua postingan

Sejarah Asal Mula Bangsa Aceh !!

Konon keturunan bangsa Aceh adalah dari tanah Persia. Seperti kita sering dengar kepanjangan ACEH sebagai Arab, China, Eropa, dan Hindustan (India). Namun sampai sekarang jarang para sarjana yang mengangkat kisah seperti ini. Hanya Affan Jamuda dan A.B. Lila Wangsa yang menulis “Peungajaran Peuturi Droe Keudroe (Pelajaran mengenal diri sendiri)” menyebutkan: Wangsa Acheh saboh wangsa nyang jak meunanggroe rot blah barat pulo Ruja. Wangsa nyan asai phon nibak wangsa Achemenia, Wangsa Achemenia nyang asai jih phon bah binak buket Kaukasus di Europa teungoh. Wangsa Achemenia nyang hudep bak thon 2500 GM (gohlom masehi). Wangsa Achemenia saboh wangsa nyang harok meurantoe, sampoe wangsa nyang meusipreuk bansaboh Asia, Afrika, Europa ngon pulo Ruja. Nyang saboh turonan neuweh u tanoh Parsi jeut keuwangsa Parsia, nyang sabih suke neuweh u pulo Ruja, dudoe teuma jeut keu-wangsa Acheh.Wangsa Acheh asai phon nibak wangsa Achemenia-Parsia-Acheh, Affan Jamuda and AB. Lila Wangsa, Peungajaran Peuturi Droe Keudroe (Pidie: Angkasa Muda, 2000).

Terjemahannya; Bangsa Aceh adalah satu bangsa yang membangun negeri di sebelah barat Pulau Ruja (Sumatera). Bangsa ini asalnya dari bangsa Achemenia, bangsa Achemenis berasal dari sebuah bukit Kaukasus di Eropa Tengah. Bangsa Achemenia hidup sekitar 2500 Tahun sebelum Masehi. Bangsa Achemenia satu bangsa yang suka merantau, sampai bangsa ini tersebar di seluruh Asia, Afrika, Eropa dan juga Pulau Ruja. Satu keturunan pindah ke tanah Persia, kemudian menjadi bangsa Persia, yang satu suku lagi pindah ke Pulau Ruja, kemudian lahir bangsa Aceh. Bangsa Aceh pertama sekali berasal dari bangsa Achemenia-Parsia-Acheh). Tentu saja itu bukan sebuah kebetulan, jika kemudian kita temukan akar sejarah migrasi manusia dari Persia, bahkan sebelum Raja Darius (521-486 Sebelum Masehi) yang menguasai Persia, konon beragama Zoroasther. Raja ini menyebarkan sayap pemerintahannya sampai Eropa, Anatolia, Mesir, Mesopotamia, dan India Barat.

Dalam buku A History of World Societies disebutkan bahwa: “They had created “world empire” encompassing of the oldest and most honored kingdoms and peoples of the ancient Near East.” Jadi, ada benarnya bahwa penggalan lagu Rafly di atas, yaitu “Beek tabeoh kada wangsa meutuwah; turounan meugah meuri-ri wangsa; khujja ngoen majja lakap geupajah; turoenan meugah dorius raja”. Sampai sekarang, bukti sejarah ini memang masih mengundang sejumlah tanda tanya. Sebab, di dalam sejarah, selalu disebutkan nama Parsia di dalam sejarah Aceh, namun jarang yang bisa menarik kembali kemana arah sejarah Aceh sebelum Masehi atau sebelum Islâm datang ke daerah ini. Pada masa Darius dan anaknya Xerxes (486-464 Sebelum Masehi), mereka telah membangun suatu monarki kekuasaan, yang ternyata telah disebutkan sebagai “world empire” (kerajaan dunia) hingga menjadi cikal bakal beberapa kerajaan di Timur Tengah.
Kemudian Jamuda dan Lilawangsa menulis: hon teuka di tanoh Parsi (Iran-Irak jinoe). Sabab musabab neueuka sampoe roh neumeunanggroe lam pulo ruja. Bak zameun Raja Dorius neumat keurajeun di Parsia, lam masa nyang kuasa keurajeun Raja Dorius luah lagoina mulai di Meuser troh u Hindi ngan lam pula Ruja. Lam masa nyan keu wangsa-ureung bako-bako di nanggroe Parsia neujak duek u nanggroe blah barat pulo Ruja nyang dudoe neulakap Nanggroe Aceh. Yoh goh nyang lam tanoh Acheh kana Aulia-Aulia Allah, nyang sahe naggroe Acheh milek harta Aulia-Aulia Allah (Bangsa Persia sebelum menjadi bangsa Aceh, pertama kali datang di tanoh Parsia (Iran-Irak sekarang). Sebab datangsampai membangun negeri di Pulau Ruja. Pada masa zaman Raja Darius memegang tampuk kekuasaan di Persia, pada waktu itu wilayah kekuasaan Raja Darius sangatlah luas sekali mulai dari Mesir hingga ke India sampai ke Pulau Ruja.
Pada zaman itu berbagai bangsa di negeri Persia berangkat menetap di sebelah Barat Pulau Ruja kemudian diberinama Nanggroe Aceh. Sebelum itu di tanah Aceh sudah ada wali-wali Allah, yang jaga negeri Aceh milik harta-harta Aulia Allah). Jadi, dapat dipastikan bahwa asal usul indatu orang Aceh adalah dari Parsia yang datang ke Pulau Ruja, sebuah pulau yang kemudian diberi nama Aceh. Namun yang menarik adalah jika benar pada zaman Raja Darius yang beragama Zoroasther sudah ada Wali-Wali Allah di Aceh, maka pertanyaannya adalah apa benar sudah ada agama yang menyembah Allah sebelum Masehi. Sebab ungkapan bahwa Aceh milik atau tanah para Wali juga ditemukan dalam ungkapan lagu Rafly berikut, Han geu meu kafe ureung Aceh nyang/ ’Saweub bumoe nyang tanoh Aulia/ Geutem sut nyawong peudong kheun Allah/ Kameunan reusam geutung pusaka… (Tidak akan menjadi Kafir orang Aceh itu/Sebab bumi ini adalah tanah Aulia/ Rela mengeluarkan nyawa untuk mempertahankan kalimah Allah/ Begitu adat yang diambil sebagai pusaka). Sayangnya semua sejarah itu masih berupa catatan perang. Kegemilangan Aceh sebagai salah satu kerajaan besar hanya cerita manis.
Ada yang menarik tentang Aceh, yakni simbol agama yang dikekalkan dalam suasana dayah, sebagai pusat sumber ilmu agama Islam tempoe doeloe. Ketika Aceh hendak dijajah, semua suku dan ulama di Aceh sepakat melawan penjajahan. Karena itu, konsep kebencian orang Aceh terhadap penjajahan, bukan karena kebencian etnisitas atau sejarah, tetapi karena melawan penindasan atau penjajahan merupakan jihad. Hal itu dibuktikan oleh Tgk Chik Pantee Kulu dengan karyanya kitab Hikayat Prang Sabi yaitu membakar semangat orang Aceh melawan penjajah dengan ideologi agama.
Dalam konteks etnis, orang Aceh adalah orang yang berjiwa kosmopolitan alias bisa menerima siapa saja atau suku bangsa apapun. Untuk mengelompokkan etnisitas, sistem kerajaan Aceh menyusun kependudukan berdasarkan negeri asal suku bangsa tersebut, sebagaimana dilukiskan dalam hadih maja “Sukee lhee reuthoh bak aneuk drang, Sukee ja sandang jeura haleuba, Sukee tok bate na bacut bacut, Sukee imuem peut yang gok-gok donya”. Sukee di sini dalam kata lain artinya suku sehingga hadih maja ini menggambarkan keragaman suku bangsa di dunia yang berdomisili di Aceh. Semuanya berhasil disatukan oleh sultan Alaidin Riayatsyah Al Qahhar (1537-1565) di bawah panji Islam dan terayomi di bawah payung kerajaan Aceh Darussalam.
Mengenai asal usul masyarakat Aceh, HM. Zainuddin (1961), mengatakan bahwa orang dari suku Batak/Karee membentuk kaum Lhee Reutoih. Orang asing lainnya seperti Arab, Persia, Turki, Keling (dagang), Melayu semenanjung, Bugis membentuk kaum Tok Batee Sultan berasal dari kaum Tok Batee. Kaum percampuran dari Hindu dan Batak Karee membentuk group baru menjadi kaum Ja Sandang. Pimpinannya diberi gelar dengan panglima kaum dengan gelar kaum imeum peut. Sedangkan orang Gayo, sebagaimana dikutip Gerini (HM. Zainuddin, 1961) menghubungkannya dengan Dagroian sesuai dengan catatan- catatan Marcopolo. Menurutnya, Dagroian berasal dari kata-kata drang – gayu, yang berarti orang Gayo. Masyarakat tumbuh dan berkembang dari waktu ke waktu. Perubahan itu bisa saja berpunca di dalam masyarakat itu sendiri atau bersumber dari luar lingkungan masyarakat yang bersangkutan. Aceh mempunyai comparative advantage karena menjadi pusaran dunia, transit pertama sebelum ke bagian Nusantara.
Terakhir, saya ingin menegaskan bahwa dalam sejarah kebudayaan Aceh, persoalan bersatu dan berpisah adalah hal yang sangat biasa. Artinya, mereka bisa bersatu dengan kelompok manapun,namun budaya yang sudah mengakar yang dibalut dengan kualitas tradisi Islam tidak akan pernah dapat dihentikan. Jiwa nasionalisme orang Aceh yang menjadi bagian dari Indonesia merupakan satu nafas dalam perjuangan mereka, sejauh itu tidak dikhianati. Adapun nasionalisme di Indonesia walaupun masih didominasi oleh pemahaman kebudayaan Jawa, agaknya memang telah mewariskan persoalan sejarah yang tercecer. Artinya, sejarah nasionalisme di Indonesia adalah sejarah yang dikendalikan oleh pemerintah. Sehingga dinamika kebudayaan di daerah dianggap sebagai ‘aset’ bukan pelaku utama, untuk tidak mengatakan mereka tidak memberikan arti yang signifikan. Hal ini belum lagi dimana ‘aset’ budaya Indonesia cenderung dijadikan sebagai objek untuk kepentingan sosial politik, bukan kepentingan kebudayaan bangsa Indonesia. sumber

Pocut Meurah Intan: Pejuang Aceh di Tanah Blora

Kabupaten Blora menorehkan catatan sejarah perjuangan bangsa Indonesia dalam perlawanannya melawan penjajahan. Banyak pahlawan bangsa yang dilahirkan dari kota ini, banyak pula yang menghembuskan nafas terakhir di kota ini. Salah satu pejuang tanah air yang wafat di kota Mustika ini adalah Putjut Meurah Intan, Sang Singa Betina Perang Aceh.

Putjut Meurah Intan merupakan bangsawan–pejuang dari kesultanan Aceh. Pejuang wanita yang wafat dalam usia hampir seratus empat puluh tahun ini merupakan pemimpin gerilya Perang Aceh di kawasan Laweung dan Batee (sekarang termasuk kabupaten Pidie, Provinsi Aceh).

Didampingi panglima perangnya, Pang Mahmud dan tiga putranya, Putjut Meurah Intan mengobarkan pertempuran satu abad yang harus dihadapi oleh Kolonial Belanda dalam rangka menguasai kesultanan di ujung barat nusantara ini.

Pada 26 Maret 1875 bertepatan dengan 26 Muharram 1290 H, Kolonial Belanda mengeluarkan pernyataan perang kepada Kesultanan Aceh. Sepuluh hari kemudian secara serentak para bangsawan Aceh yang menolak kolonialisasi melancarkan serangan perang gerilya di seluruh wilayah kekuasaan kesultanan.

Sayangnya, tidak semua bangsawan aceh menolak Kolonialisasi. Suami Putjut Meurah Intan, Tuanku Abdul Majid bin Tuanku Abbas bin Sultan Alaiddin Jauhar Alamsyah menyerah sebelum Kolonial Belanda mengumumkan perang. Kenyataan ini tidak membuat ciut nyali Srikandi Aceh ini.

Putjut Meurah Intan dibuang ke Blora pada tahun 1901, bersama dengan panglima perangnya, Pang Mahmud dan dua puteranya, Tuanku Nurdin dan Tuanku Budiman. Seorang puteranya, Tuanku Muhammad dibuang ke Menado Sulawesi Utara.

Putjut Meurah Intan meninggal di Blora pada tanggal 20 September 1937 dalam usia yang mendekati seratus empat puluh tahun. Beliau dimakamkan di pemakaman umum dukuh Punggur Tegalan desa Temurejo Kecamatan Blora Kota.

Keberadaan makam pejuang Aceh ini bermula dari sepucuk surat dari salah satu anggota DPRD Blora tahun 1956 yang bernama M. Achmad kepada pimpinan umum surat kabar “Pemandangan“, Tamar Djaya. Dalam suratnya yang bertanggal 16 November 1956 itu, M. Achmad menulis bahwa di desa Tegalan kecamatan Kota Blora terdapat makam “Mbah Tjut“. Mbah Tjut merupakan nama yang digunakan oleh masyarakat Tegalan saat itu untuk menyebut Putjut Meurah Intan.

Pada 18 April 1985, Bupati Blora H. Sumarno SH bersama dengan rombongan dari masyarakat Aceh melakukan ziarah ke Makam Putjut Meurah Intan. Ziarah bupati Blora tersebut merupakan titik tolak pemuliaan makam sang pejuang wanita Aceh ini.

Dewasa ini, perhatian dan perawatan makam ini tampaknya sangat diperlukan mengingat jasa Putjut Meurah Intan dalam perjuangan mempertahankan tanah air.

Sumber    : Kliping Artikel Surat Kabar sepanjang tahun 1985 oleh H. Amran Zamzany S.E (Ketua Umum Persatuan Ex- Tentara Pelajar Resimen II Aceh, Divisi Sumatera) Jakarta 19 Desember 1985.

http://www.bloranews.com/ada-apa/putjut-meurah-intan-singa-betina-yang-terbaring-di-kota-mustika

JEJAK PANGLIMA ACEH DI TANAH DELI


sultan deli oesman perkasa alam
Dalam Hikayat Deli, cerita bermula ketika Muhammad Dalik berlayar dari tanah Hindustan menuju Cina untuk mempelajari budaya di sana. Muhammad Dalik atau yang dikenal dengan Muhammad Delikhan merupakan keturunan Raja Hindustan dan memiliki hubungan darah dengan Alexander The Great (Raja Makedonia). Di tengah perjalanan, kapalnya karam dihantam badai di Pasai (Aceh).

Di masa awal kehidupannya di Pasai, Dalik mempelajari ilmu bela diri. Disebutkan juga bahwa dia sudah menanggalkan segala macam kebiasaan buruknya. Dan suatu hari, Sultan Iskandar Muda dari Kesultanan Aceh Darussalam mendengar tentang keberanian dan kegagahan Dalik. Muhammad Dalik kemudian dititah menghadap Sultan untuk menerima gelar “Laksamana Kodja Bintan”.
Selang beberapa purnama setelah pergelarannya itu, Sultan Iskandar Muda kembali menguji kekuatan dan kegagahan Muhammad Dalik. Sultan bertitah agar Muhammad Dalik mengalahkan seekor gajah yang bernama “Gandasuli”.

Alangkah takjubnya Sultan ketika itu. Dengan mudah, Muhammad Dalik dapat mengalahkan gajah yang mengamuk itu dalam waktu sekejap. Sultan pun bermusyawarah dengan orang-orang besarnya. Mereka berpikir bahwa Muhammad Dalik pantas mendapat gelar yang lebih tinggi dari gelaran sebelumnya.

Setelah bulat keputusan Sultan, Muhammad Dalik pun dititah menghadap. Dia lalu dikaruniakan gelar “Tuanku Panglima Gotjah Pahlawan”. Gelar ini lebih tinggi dari gelar yang sebelumnya. Dia juga diberikan persalinan lengkap berupa pakaian adat kebesaran tujuh ceper, yaitu tengkulok, baju, selempang, celana, bengkong, samping, keris, dan perhiasan. Pakaiannya terlihat mewah dan mengesankan. Perhiasan yang menggantung dibuat dari mutiara. Bajunya disulam benang emas bercorak bunga lotus. Sampingnya diperindah dengan simbol-simbol bercorak bunga. Celananya pula sangat unik. Dia pun menggunakan keris yang diselitkan di antara bengkong yang pendingnya bertatahkan bermacam-macam batu permata.

Sultan Iskandar Muda kala itu ingin memperluas daerah kekuasaannya dengan cara menjajah negeri-negeri Pahang dan sekitarnya. Pada suatu hari bertuah, tahun 1600-an, diadakanlah upacara adat yang sakral seraya meminta rahmat dari Tuhan untuk mengelakkan segala marabahaya dan kekalahan dalam perang menaklukkan Pahang. Kemudian, armada Kerajaan Aceh pun bertolak menuju Pahang dengan Muhammad Dalik sebagai kepala perang.

Muhammad Dalik singgah di Siak. Dia mengirim surat kepada Raja Siak untuk diperbolehkan menghadap, yang kemudian diterima dan disambut dengan segala kebesaran dan keagungan. Muhammad Dalik kemudian menyampaikan pesan bahwasanya Sultan Iskandar Muda yang bergelar “Alam Shah” (penguasa seluruh alam) berkehendak untuk menguasai seluruh negeri Melayu. Raja Siak pun bersetuju untuk mengikuti Muhammad Dalik. Raja mengatakan bahwa pasukannya di bawah Raja Aceh akan menaklukkan Kesultanan Malaka dan segala negeri-negeri tanah Melayu. Dalik pun memohon kepada Raja Siak dan berkata “Jangan permalukan patik dengan Portugis.” Kala itu Portugis mampu menduduki Tanah Malaka. Jika Portugis mampu, bagaimana pula Muhammad Dalik tak mampu, pikir sang panglima.

Muhammad Dalik juga kemudian singgah di Kedah, Perak, dan Selangor. Di tiap-tiap negeri yang disinggahinya, dia selalu mendapat penerimaan yang baik dan meriah. Di Selangor pula raja dan menteri-menterinya bersepakat untuk mengirimkan pasukannya untuk bergabung dengan pasukan Dalik. Pasukan-pasukan mereka pun melanjutkan perjalanan menuju Johor. Raja Johor takut akan kekalahan jika mesti berperang melawan Pasukan Aceh. Sebab, jumlahnya sangatlah banyak, yang terdiri dari macam-macam pasukan negara-negara lain.

Takut kehilangan negerinya, Kerajaan Johor juga bersetuju untuk menggabungkan pasukannya dengan Pasukan Aceh dan Selangor. Kemudian pasukan gabungan ketiga negeri ini pun bergerak menuju Pahang. Raja Pahang sudah mengetahui bahwa pasukan Aceh di bawah pimpinan Muhammad Dalik akan datang untuk menaklukkan negerinya. Raja tak ingin mendapat malu karena tak mampu berperang melawan pasukan Aceh. Karena itu, sedari awal dia sudah bersepakat dengan menteri-menterinya untuk melawan pasukan Muhammad Dalik. Pasukan Kerajaan Pahang juga sudah siap sedia dari sebelum hari Muhammad Dalik tiba di Pahang.

Tiba di Pahang, perang pun bergolak antara pasukan Kerajaan Pahang dengan pasukan Muhammad Dalik yang terdiri dari berbagai negara. Pasukan Pahang perlahan-lahan jatuh kalah. Korban banyak bergelimpangan. Negeri Pahang huru-hara tak menentu. Pasukan Muhammad Dalik pun menang, “laksana harimau selesai menikmati perburuannya”. Melihat kekalahan telak ini, Raja Pahang menyerah kalah dan menawarkan dua puterinya untuk dinikahkan dengan Raja Aceh. Keesokan harinya, Muhammad Dalik dititah menghadap ke istana Raja Pahang dengan sambutan resmi.

Payung kuning kerajaan diatur bersusun ke hadapan menyambut kedatangan Muhammad Dalik, begitu pula tombak-tombak dan segala perangkat-perangkat istiadat Kerajaan Pahang. Muhammad Dalik pun berkata di atas kekalahan Pahang terhadap Aceh: “Segala orang besar-besar, menteri-menteri, kepala istiadat, dan setiausaha-setiausaha, tinggallah di Pahang. Hukum dan adat istiadat akan tetap dipimpin oleh Raja Pahang.” Muhammad Dalik kemudian berkirim surat dengan Raja Aceh tentang kemenangannya melawan Kerajaan Pahang. Saat kembali ke Aceh, lagi-lagi dia disambut dengan pesta dan kebesaran yang penuh adat istiadat.

Sultan Iskandar Muda kemudian bertitah bahwa dia menjamin bahwa segala hukum serta adat istiadat dari semua negeri yang kalah dalam perang melawan kerajaannya tidak akan diubah, dan hanya Allah-lah yang akan membalas bakti mereka. Selanjutnya, dua putri Raja Pahang dinikahkah dengan petinggi Aceh; satu dengan Sultan Iskandar Muda dan satu lagi dengan Muhammad Dalik. Pesta pernikahan dilaksanakan dengan adat istiadat Melayu yang lengkap.

Raja Selangor sangat dipuji karena keberanian dan kesopanannya. Dia kemudian ditunjuk menjadi Wali Sultan Aceh untuk daerah Semenanjung (Malaysia sekarang). Sultan Aceh pun mengkaruniakan kepadanya seperangkat persalinan yang lengkap dan melantik beberapa pembesar negeri di sana.
Kemudian, Muhammad Dalik kemudian berangkat lagi ke Semenanjung, menuju Kelantan. Dia mengirim surat ultimatum kepada Raja Kelantan. Surat ultimatum itu diterima oleh menteri-menteri diraja Kelantan. Mereka kemudian bersepakat untuk menyembahkan surat itu kepada raja. Takut kehilangan negeri serta rakyat-rakyatnya, Raja Kelantan lalu memutuskan untuk tunduk di bawah kekuasaan Kerajaan Aceh. Dia pun lantas turut mengirimkan pasukannya untuk ikut berperang melawan Malaka.

Muhammad Dalik juga berhenti di Terengganu dan Pattani. Di Pattani inilah kemudian Muhammad Dalik menyusun strategi bersama pasukan-pasukannya untuk menyerbu Malaka.
Setelah berhari-hari dalam perjalanan, Muhammad Dalik dan ribuan pasukannya sampai di Malaka. Malaka diserang dari laut dan darat. Akhirnya, pasukan Malaka kalah dan banyak rakyat-rakyatnya menjadi korban, bahkan ada juga yang hilang melarikan diri ke hutan. Perayaan besar kemudian diadakan sempena kemenangan ini. Orang besar-besar Malaka yang menyerah kalah turut diundang dan dikaruniakan persalinan yang lengkap. Setelah itu, Muhammad Dalik pergi ke Kemuja dan meninggalkan beberapa pasukannya untuk menjaga Malaka.

Di Kemuja pula, sang raja telah memutuskan untuk menyerbu Aceh. Raja Kemuja tidak sepakat dengan perdana menterinya yang lebih memilih untuk tunduk kepada Aceh daripada harus kalah melepas nyawa dan kehilangan negeri. Perang pun kemudian terjadi. Akan tetapi, serdadu Raja Kemuja sangat buruk dalam berperang. Raja Kemuja kemudian sadar bahwa dia membawa negerinya pada kerugian yang sangat amat besar. Dan tersebutlah syair ini: “Suara guntur, gemuruh, dan menggelegar. Hujan panas turun, gerimis di pita. Angin naik, meniup lembut, dan semua daun terkulai jatuh dari pohon seperti pangeran yang mati. Ayam tidak berkokok, tanda bahwa raja besar akan mati.” Setelah Raja Kemuja terbunuh, banyak rakyatnya yang menangis dan meratap. Orang-orang besar Kemuja kemudian menghentikan peperangan. Raja Kemuja lalu dikuburkan dan Muhammad Dalik menenangkan suasana duka di Kerajaan Kemuja dengan kata-kata yang manis.

Berita kemenangan Aceh melawan Kemuja pun telah sampai di telinga Sultan Iskandar Muda. Muhammad Dalik pulang ke Aceh dan disambut dengan pesta meriah, sebagaimana biasanya. Dalik lalu dikaruniakan gelar “Seripaduka”. Beberapa bulan kemudian, Sultan Aceh dan orang besar-besarnya memutuskan untuk mengirim Muhammad Dalik ke Bangkahulu (Bengkulu kini). Di Bangkahulu, Muhammad Dalik tidak berperang. Dia menculik Raja Bangkahulu dan membawanya ke Aceh tanpa sepengetahuan sesiapa pun di Bangkahulu. Rakyat Bangkahulu berduka karena kehilangan rajanya. Di Aceh pula, Sultan Iskandar Muda meyakinkan Raja Bangkahulu bahwa adat istiadat di Bangkahulu tidak akan diubah. Hanya saja, Kerajaan Bangkahulu harus tunduk di bawah perintah-perintah Raja Aceh. Raja Bangkahulu kemudian setuju, dan dia diantar pulang ke Bangkahulu dengan pasukan pengawal Kerajaan Aceh yang dipimpin oleh Muhammad Dalik.

Kemudian, Muhammad Dalik dan pasukannya berkehendak untuk menyerang Kerajaan Sambas (di Kalimantan Barat kini). Namun, peperangan terhenti di tengah jalan. Sebab, Muhammad Dalik mendapatkan sepucuk surat yang dikirimkan oleh seseorang yang berisi pesan bahwa Sultan Aceh memiliki hubungan asmara secara diam-diam dengan istri Muhammad Dalik. Berita ini membuat Muhammad Dalik sangat kecewa dan bersedih hati. Dia tidak menyangka hal ini terjadi. Kalaulah para raja-raja yang telah tunduk di bawah Raja Aceh tahu akan takdir seorang Muhammad Dalik ini, yang loyalitasnya sangat tinggi kepada Raja Aceh, pastilah semua raja-raja yang tunduk itu akan berkhianat.
Muhammad Dalik pulang ke Aceh. Dia sadar bahwa sangat tidak pantas untuk melakukan pengkhianatan. Dia kemudian pergi menghadap Sultan, menyampaikan bahwa segala tugasnya sudah selesai dan pengabdiannya berhenti di sini. Dan dia tidak lagi menerima perintah-perintah Sultan. Muhammad Dalik juga telah menceraikan istrinya. Dia tawarkan mantan istrinya itu untuk menjadi pemijat kaki Sultan.

Setelah itu Muhammad Dalik pergi berlayar meninggalkan Aceh. Kesedihannya terus ia senandungkan semasa dalam pelayarannya. “Bulan, menyebarkan cahayanya, menyinari segalanya. Burung, dengan suara yang merdu, menangis dengan rindu kepada bulan, seperti seorang wanita yang ditinggalkan, meratapi cintanya.” Sesekali air matanya jatuh di pangkuan. Beberapa lama dalam pelayaran, sampailah ia di Percut, sebuah wilayah di pinggir bibir pantai Sumatera Timur. Raja di sana dikenal dengan nama Tengku Kejuruan Hitam. Sebuah pesta penyambutan diadakan untuk Muhammad Dalik karena Tengku Kejuruan Hitam tahu siapa Muhammad Dalik dan apa posisinya di Aceh sebelumnya. Raja Percut kemudian meminta Muhammad Dalik supaya tinggal dan menetap di Percut. Muhammad Dalik lalu meminta izin untuk mengunjungi kota-kota di sekitar Percut, seperti Kota Jawa, Pulo Berayan, Kota Rentang, dan Kampung Kesawan. Semua daerah ini adalah yang kini termasuk dalam wilayah Deli (kini di Sumatera Utara, Indonesia).

Sekembalinya Muhammad Dalik dari mengunjungi daerah-daerah itu, Raja Percut berkonsultasi dengan orang besar-besarnya untuk menikahkan Muhammad Dalik dengan anak perempuannya. Raja Percut menawarkan seluruh wilayah Percut untuk Muhammad Dalik. Tanpa berlama-lama, Muhammad Dalik setuju akan tawaran Tengku Kejuruan Hitam. Pesta pernikahan pun dilangsungkan secara besar dan meriah. Kehidupan Muhammad Dalik semakin membaik setelah pernikahannya. Dia meminta izin kepada Tengku Kejuruan Hitam untuk membuka sebuah kampung di dekat Gunung Kelaus. Kemudian, dia izinkan orang-orang Batak yang turun dari gunung untuk membuka pemukiman di sekitar wilayahnya. Perkampungan di situ semakin meluas dan semakin ramai.

Suatu hari, diketahui bahwa istri Muhammad Dalik sedang mengandung. Setelah melahirkan, ternyata anaknya seseorang lelaki yang tampan rupanya. Anak dari Tuanku Gotjah Pahlawan Ibni Tuanku Muhammad Delikhan Ibni Tuanku Zulqarni Bahatsid Segh Maturulluddin Hindustan yang bergelar Seripaduka Percut Sungai Lalang ini kemudian diberi nama Tengku Parunggit. Tengku Parunggitlah yang menjadi keturunan pertama Raja-Raja Deli hingga detik ini.

* Disarikan dari Hikayat Deli yang ditulis pada pertengahan abad ke-18 oleh seorang pujangga dalam lingkungan Kesultanan Deli.

HABIB BUGAK ACEH : HABIB ABDURRAHMAN BIN ALWI AL-HABSYI

Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Sejarah kegemilangan Aceh telah mewariskan kebesaran Peradaban yang tak ternilai harganya yang akan menjadi pelajaran berharga untuk generasi masa kini. Warisan itu bukan hanya berupa karya-karya agung maupun pribadi-pribadi mulia, namun juga aset-aset tanah yang tak ternilai harganya terutama di Tanah Suci Makkah al-Mukarramah. Diantaranya adalah waqaf yang diberikan oleh seorang Habib yang hartawan dermawan, karena keikhlasannya menyebutkan jatidiri sebagai Habib Bugak Asyi. Beliau mewaqafkan sebidang tanah dan rumah miliknya di depan Masjid al-Haram Makkah pada tahun 1224 H (1800 M) untuk kepentingan masyarakat Aceh di Makkah. Dan kini waqaf tersebut berkembang pesat bernama Waqaf Habib Bugak Aceh yang dikelola secara profesional oleh Dewan Nadzirnya.
Dalam rangka mengungkap kembali kebesaran Sejarah Peradaban Aceh, maka telah diadakan penelitian bersama tentang Habib Bugak Aceh sejak tahun 2007 sampai sekarang. Adapun yang terlibat langsung dalam penelitian ini adalah:
Dewan Pimpinan Pusat Hilal Merah (Red Crescent) Indonesia – Al Hilal Group
Pimpinan Pusat dan Pimpinan Aceh Maktab Daimi – Rabithah Alawiyah
Forum Silaturrahmi Keturunan Habib Abdurrahman bin Alwi Al-Habsyi
Akademi Tamadun Melayu Antarabangsa (ATMA) - Universiti Kebangsaan Malaysia
Centre for Advantage Studies (CASIS) – Universiti Teknologi Malaysia
Habib Bugak Center, Bugak Bireuen Aceh dan PT. Habib Bugak Corpora
Dan pihak-pihak terkait secara langsung dan tidak langsung
Penelitian ini mendapat dukungan dan rekomendasi dari:
Pemerintah Pusat RI – Menko Kesra RI / Utusan Presiden RI Untuk Timur Tengah
Pemerintah Kerajaan Saudi Arabia / Kementerian Waqaf
Dewan Nadzir Waqaf Habib Bugak Makkah Saudi Arabia
Rabithah Alawiyah Saudi Arabia dan Yaman
Pemerintah Daerah Provinsi Aceh cq Dinas Syariat Islam Provinsi Aceh
Rektor IAIN Al-Raniry Banda Aceh
Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh
Imam Besar Masjid Baiturrahman Banda Aceh
Dan lain-lain Lembaga dan Tokoh Masyarakat.

Tujuan utama penelitian ini adalah berusaha untuk mengetahui jatidiri, kehidupan dan perjuangan Habib Bugak Aceh agar dapat menjadi suri tauladan kepada generasi muda kaum muslimin di seluruh penjuru dunia, khususnya di Aceh. Mengetahui secara pasti jati diri Habib Bugak Aceh yang telah mewaqafkan hartanya ini, adalah sebagai ungkapan rasa syukur nikmat kepada Allah sekaligus untuk memberi pencerahan terhadap beberapa perbedaan pendapat di kalangan peneliti.

METODE, ANALISIS DAN TESIS

Penelitian yang dilakukan oleh Tim Al-Hilal Group, Keluarga Habib Abdurrahman, Rabithah Alawiyah Aceh dan lainnya sejak tahun 2007 dimulai dengan mengumpulkan data-data geografi wilayah Aceh sebelum tahun 1800 M atau yang mendekatinya, yaitu wilayah yang termasuk dalam Kerajaan Aceh pada masa Sultan Alaiddin Jauharul Alam Syah. Tim peneliti juga sudah berusaha untuk mendatangi semua wilayah bernama Bugak, seperti di Aceh Besar (Bugak-Seulimum), Pidie (Sumbo Bugak), Bireuen (Bugak), Aceh Utara (Bagok) maupun Aceh Timur (Kuala Bugak) dan lain-lainnya. 

Dengan bertawaqqal kepada Allah Yang Maha Mengetahui, Tim peneliti akhirnya berkesimpulan bahwa Bugak Aceh yang dimaksud pada ikrar Waqaf Habib Bugak Asyi di Makkah pada tahun 1224 H adalah Bugak yang terletak di wilayah Kecamatan Jangka Kabupaten Bireuen sekarang. Selanjutnya tim mengadakan penelitian panjang di wilayah Bugak dan sekitarnya, terutama mengidentifikasi tokoh-tokoh Habib, silsilah, peninggalannya, keturunannya termasuk legenda-legenda yang menyertainya. Setelah penemuan Sarakata Para Sultan Kerajaan Aceh di Alue Ie Puteh Aceh Utara, maka sementara tim menyimpulkan bahwa Habib Bugak yang paling mendekati adalah Habib Abdurrahman bin Alwi al-Habsyi. Karena beliau hidup di sekitar wilayah Bugak Peusangan dari tahun 1785 sampai dengan 1845 berdasarkan sarakata tersebut. Demikian pula maqam Habib Abdurrahman al-Habsyi terletak di Kemukiman Bugak Kecamatan Jangka Kabupaten Bireuen.

Untuk memperkuat data-data yang ada, telah dibentuk forum keturunan Habib Abdurrahman dari seluruh Aceh untuk mencari data-data pendukung dengan membentuk perwakilan-perwakilan yang sekaligus menjadi forum silaturrahmi keturunan Habib Abdurrahman bin Alwi al-Habsyi yang sudah mencapai generasi ke 9. Forum silaturrahmi telah mengadakan pertemuan-pertemuan berkala yang bertugas untuk mengumpulkan dan memperbaharui data, atau informasi yang berkaitan dengan Habib Abdurrahman.

Berdasarkan sumber-sumber dari kalangan keturunannya yang sudah menyebar ke seluruh penjuru Aceh, diketahui Habib Abdurrahman al-Habsyi adalah seorang Ulama yang rendah hati, dermawan serta hartawan karena memiliki tanah yang luas sebagaimana juga disebutkan dalam Sarakata para Sultan Kerajaan Aceh dari tahun 1785 M sampai 1845 M. Keberadaan Sarakata para Sultan Kerajaan Aceh yang menyebut nama beliau ini sudah cukup membuktikan bahwa Habib Abdurrahman al-Habsyi adalah bukan orang biasa, tetapi salah seorang yang terkenal dan memiliki kedudukan tinggi di Kerajaan Aceh Darussalam, sekurang-kurangnya dari tahun 1785 M sampai 1845 M dengan gelar Teungku Habib, Tuwanku Habib, Teuku Chik dan lainnya. Namun karena ketawadhuannya beliau lebih senang menyebut dirinya sebagai Habib Bugak Aceh, seorang Habib dari Bugak di Negeri Aceh.

Setelah penelitian secara sederhana dilakukan selama 2 tahun dan menghasilan data-data awal, maka untuk memperkuat hasil penelitian sebelumnya telah dilakukan penelitian lanjutan sejak bulan Juni 2009 sekaligus menguji keabsahan data melalui metode empiris di tingkat Doktoral (Ph.D) di Akademi Tamadun Melayu Antarbangsa Universiti Kebangsaan Malaysia. Penelitian melalui lembaga akademik ini dimaksudkan agar penelitian lebih terfokus sebagai penelitian sejarah dengan metode ilmiyah di bawah bimbingan Prof. Dr. Wan Mohammad Nor Wan Daud. Dengan membawa nama lembaga akademik, penelitian mendapat banyak kemudahan dalam hal perizinan terutama ketika mengadakan penelitian di sekitar Makkah al-Mukarramah Saudi Arabia, terutama untuk mencari data-data seperti di Nadzir Waqaf Habib Bugak, Kementerian Waqaf Saudi Arabia, Lembaga Otoritas Masjidi al-Haram, Mahkamah Syar’iyah, Dewan Rabithah Alawiyah dan lainnya. Hasil penelitian selanjutnya diseminarkan dihadapan para Profesor di lingkungan ATMA Universiti Kebangsaan Malaysia.

Sejak Juni 2012 penelitian dilanjutkan pada Centre for Advantages Studies Universiti Teknologi Malaysia dengan mengadakan penelitian terhadap bahan-bahan material data yang telah dikumpulkan. Penelitian ini juga menempuh pendekatan metode logical yang dikembangkan Prof. SMN. Al-Attas, maupun metode spiritual yang diperkenalkan para peneliti Harvard University USA. Penelitian ini juga mencoba pendekatan metode sufistik yang biasa digunakan oleh para pengamal tariqat. Untuk mendukung metode terakhir ini, tim seringkali mengadakan majlis zikir rohaniah yang diajarkan para mursyid yang arifin yang diadakan di sekitar Bugak maupun proses tashfiah di Makkah maupun Madinah pada tahun 2013.

Setelah melakukan penelitian sepanjang 3 tahun lebih, pada awal tahun 2011 DPP Lembaga Pengkajian Nasab (Silsilah) Maktab Daimi Rabithah Alawiyah Jakarta telah mengesahkan secara resmi silsilah Habib Abdurrahman al-Habsyi sebagai salah seorang Sayyid dari keturunan Sayyidina Husein. Adapun silsilah lengkapnya adalah:
Abdurrahman bin Alwi bin
Syekh bin Ahmad bin 
Hasyim bin Ahmad Shahib al-Shi’ib bin
Muhammad Asghar bin Alwi bin 
Abu Bakar Al-Habsyi bin
Ali bin Ahmad bin 
Muhammad Asadullah bin 
Hasan Attrabi bin Ali bin 
Muhammad Fakih Muqaddam bin
Ali bin Muhammad Shahib al-Mirbat bin
Ali Jali’ bin Alwi bin 
Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin 
Ahmad al-Muhadjir bin Isa al-Rumi bin 
Muhammad al-Naqib bin 
Ali Al-Uradhi bin Jafar Siddiq bin 
Muhammad Al-Baqir bin 
Ali Zainal Abidin bin Sayyidina Husein bin 
Sayyidah Fatimah (Ali bin Abi Thalib) binti 
Sayyidina Muhammad Rasulullah saw.

Menurut keturunannya, diantaranya Sayed Dahlan bin Abdurrahman Al-Habsyi dan lain-lain yang didengarnya dari kakek buyutnya, Habib Abdurrahman dilahirkan di Makkah Al-Mukarramah dalam lingkungan keluarga Al-Habsyi Ba’alwy Hasyimy yang memiliki kedudukan khusus dan terhormat di kalangan para petinggi Penguasa Mekkah pada zaman itu. Menurut catatan Rabithah Alawiyah beliau adalah cucu saudara dari Maulana Sayyid Muhammad bin Husein bin Ahmad Al-Habsyi yang menjadi Mufti Mekkah sekitar tahun 1750an. Beliau mendapat pendidikan di lingkungan Masjid al-Haram sampai menjadi Ulama.

Sebelum ke Aceh, Habib Abdurrahman adalah seorang Ulama yang mengajar di Masjid al-Haram Makkah. Kemudian Syarif Makkah mengutus beliau ke Kerajaan Bandar Aceh Darussalam bersama beberapa orang Ulama dari Masjid al-Haram. Di antaranya adalah Maulana Syeikh Abdullah al-Bait, kakek dari Syeikh Abdurrahim yang dikenal sebagai Tgk.Syik Awe Geutah. Menurut Sarakata Kerajaan Aceh Sultan Alaiddin Muhammad Syah pada tahun 1785 M (1206 H) Habib Abdurrahman sudah berada di wilayah Peusangan dengan gelar Teungku yang mendapat hadiah tanah “kali lelab” atau “krueng matee” di sekitaran Bugak wilayah Negeri Peusangan. Di tempat inilah beliau tinggal serta dikenal sebagai Habib Bugak.

Setelah beberapa tahun di Aceh, Habib Abdurrahman al-Habsyi kembali ke Makkah. Karena dari kalangan Ulama Sayyid di Makkah, maka beliau dapat memiliki rumah di depan Ka’bah. Ketika akan kembali ke Aceh, beliau mewaqafkan rumah tersebut untuk kepentingan masyarakat Aceh dengan persyaratannya pada tahun 1224 H atau 1800 M. Beliau hanya menyebutkan namanya sebagai Habib Bugak Asyi dalam ikrar waqaf di hadapan Mahkamah Syar’iyah Makkah. Setelah mewaqafkan hartanya, beliau kembali ke Kerajaan Aceh pada tahun itu juga, dan kembali ke wilayah Peusangan, sebagaimana disebutkan dalam 3 Sarakata Sultan Alaiddin Jauharul Alam Syah tahun 1224 H, dan tinggal di Bugak Peusangan. Sampai dengan tahun 1845 M beliau masih bermukim di sekitar wilayah Peusangan dan mengajar di sekitar Bugak, Pante Sidom, Pante Peusangan, Panjoe, Manik dan lainnya sebagaimana disebutkan dalam Sarakata Sultan Alaiddin Mansyur Syah yang dikeluarkan pada tahun 1270 H atau 1845 M.

Menurut tradisi kaum Hadramiyin (bangsa Arab) yang datang ke Nusantara, biasanya mereka memiliki kunyah (nama gelaran) yang kadangkala dinisbatkan kepada tempat tinggalnya seperti misalnya Sunan Bonang, Sunan Ampel, Pangeran Jayakarta, Habib Chik Dianjung dan dikuti oleh Ulama, termasuk di Aceh seperti Maulana Syiah Kuala dan lain-lainnya. Demikian pula dengan Habib Abdurrahman bin Alwi Al-Habsyi, menurut tradisi memiliki nama gelar yang dikenal oleh kaum keluarga dan masyarakatnya yaitu Habib Bugak. Di samping itu beliau juga dikenal dengan beberapa gelar yang melambangkan kedudukan beliau di Kerajaan Aceh, seperti Teungku Habib, Tengku Sayyid Peusangan, Tuwanku Peusangan dan Teuku Chik Di Mon Kelayu.

Habib Abdurrahman al-Habsyi disebut sebagai Habib Bugak karena beliau bertempat tinggal di wilayah Bugak Peusangan sebagaimana disebutkan sarakata Sultan Alaiddin Muhammad Syah yang bertahun 1785 M dan Sarakata Sultan Mansyur Syah yang bertahun 1845 M. Menurut cerita yang berkembang di kalangan keturunannya, setibanya beliau dan keluarganya di Peusangan, beliau bertempat tinggal di wilayah Bugak yang menurut Sarakata Sultan Mansyur Syah adalah sebuah mukim yang berada dibawah wilayah Negeri Peusangan. Demikian pula beliau tinggal di wilayah Bugak sampai wafat dan dimakamkan di wilayah Kemukiman Bugak yang sebelumnya menjadi wilayah Kecamatan Peusangan dan sekarang menjadi wilayah Kecamatan Jangka di Kabupaten Bireuen.

Ada yang berpendapat bahwa gelaran Habib Bugak yang disandangnnya adalah warisan dari kakek buyutnya yang telah datang lebih dahulu di kawasan Bugak Peusangan. Pendapat ini berdasarkan Sarakata Sultan Alaiddin Muhammad Syah tahun 1785 M yang menyebutkan nama Teungku Sayyid Ahmad Habsyi, kakek buyut Sayyid Abdurrahman bin Alwi al-Habsyi. Namun dalam catatan Rabithah Alawiyah, yang disebutkan namanya ini, tidak diketahui atau pernah tercatat tinggal di Aceh.

SARAKATA HABIB ABDURRAHMAN BIN ALWI AL-HABSYI

Sarakata 1, bertahun 1206 H atau 1785 M, yang dikeluarkan oleh Sultan Alaiddin Muhammad Syah yang menyebutkan bahwa Sayyid Abdurrahman bin Alwi keturunan Sayyid Ahmad Habsyi yang bermukim di sekitar Negeri Peusangan Aceh telah mendapatkan hadiah tanah dari para pemuka masyarakat karena aktivitas sosialnya, seperti membasmi hama tikus yang mewabah dll. Sarakata 2, bertahun 1224 H atau 1800 M yang dikeluarkan oleh Sultan Alaiddin Jauhar Alam Syah yang menerangkan Sayyid Abdurrahman bin Alwi di Peusangan mendapatkan waqaf berupa tanah di Punteuet dan Ie Masin dari Teuku Awe Geutah dan Teuku Polem dan yang lain-lainnya. Sarakata 3, bertahun 1224 H atau 1800 M yang dikeluarkan oleh Sultan Alaiddin Jauhar Alam Syah yang menerangkan Sayyid Abdurrahman bin Alwi di Peusangan mendapatkan memiliki beberapa bidang tanah di sekitar negeri Peusangan.

Sarakata 4, tanpa tahun, dikeluarkan oleh Sultan Alaiddin Jauhar Alam Syah yang menerangkan semacam rekomendasi kepada seorang bernama Tuankita Abdurrahman di Negeri Peusangan. Sarakata 5, bertahun 1270 H atau 1845 M yang dikeluarkan oleh Sultan Alaiddin Mansyur Syah yang menerangkan panjang lebar tentang beberapa peristiwa yang berkaitan dan rekomendasi kepada Habib Abdurrahman al-Habsyi dan menyebutkan juga ada sebuah wilayah yang bernama Bugak, Pante Sidom dan lainnya. Sarakata 6, bertahun 1289 H atau 1865 M yang dikeluarkan oleh Tuwanku Muhammad Husin Bin Tuwanku Abbas Bin Sultan Jauharul Alam Syah yang menerangkan tentang Habib Ahmad bin Husein yang juga merupakan cucu dari Habib Abdurrahman al-Habsyi .

Habib Abdurrahman bin Alwi al-Habsyi adalah seorang Teungku Habib yang telah dikarunia kemulyaan dan ketinggian makrifat oleh Allah SWT. Salah satu bukti ketinggian makrifatullah beliau adalah walaupun kaya raya dan terkenal di kalangan para Sultan Aceh, namun hidup dengan penuh kesederhanaan, diantaranya beliau tidak membangun istana megah di sekitar tempat tinggalnya di Bugak sebagaimana diceritakan keturunannya. Itulah sebabnya tidak mengherankan ketika akan beramal saleh, beliau akan menyembunyikan jati dirinya seperti ketika mewaqafkan hartanya di Makkah beliau hanya memakai nama Habib Bugak Asyi untuk menjaga keikhlasannya dalam beramal. Beliau sangat memahami makna “tangan kanan memberi tanpa sepengetahuan tangan kiri” yang merupakan kehati-hatian dalam beramal agar jangan terjebak perilaku “riya” sebagai lawan dari sifat ikhlas karena Allah semata. Demikian pula apa yang telah dilakukannya tidak pernah diceritakan kepada keluarga dan para sahabatnya, seperti cerita waqaf Habib Bugak di Makkah ini yang tidak pernah diketahui oleh para keturunannya, walaupun sudah berlaku lebih 200 tahun lalu. Sehingga kisah ini tidak pernah diceritakan secara turun temurun. Namun kebiasaan Habib Abdurrahman bin Alwi al-Habsyi dalam hal yang berkaitan dengan waqaf ini terungkap secara tidak langsung pada 2 Sarakata Sultan Alaiddin Jauharul Alam Syah yang bertahun 1224 H atau 1800 M.

Kealiman dan keluasan pengetahuan serta pandangan Habib Bugak tercermin pula dalam penyusunan ikrar waqaf yang beliau berikan ketika akan mewaqafkan hartanya di Makkah dengan persyaratan yang sangat mendetil dan sangat futuristik. Persyaratan demi persyaratan yang diberikannya dalam proses waqaf di Mahkamah Syar’iyah Makkah pada tahun 1224 H telah menjaga keberlangsungan manfaat harta waqafnya yang terus berkembang pesat dan dapat dikelola secara profesional sepanjang masa oleh para Nadzir yang ditunjuknya dari kalangan keturunan sahabat dekatnya Syeikh Abdullah al-Bait. Dan tidak diragukan inilah salah satu tanda-tanda kewalian yang Allah berikan kepada hamba-hamba-Nya yang bertaqarrub.

Maka sungguh bertuah bagi masyarakat Aceh yang telah memiliki figur Ulama seperti pribadi Habib Bugak Aceh yang telah mengabadikan dan mengharumkan nama Aceh sampai di Makkah. Beliau tidak mengharapkan pujian atas apa yang telah dilakukannya kepada masyarakat Aceh, dan kewajiban generasi Aceh masa kini untuk selalu mendoakan beliau serta mengharapkan lahirnya banyak tokoh seperti Habib Bugak kelak.

Hanya kepada Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahuilah kita kembalikan segala urusan, agar kita senantiasa termasuk hamba-hamba-Nya yang berserah diri kepada-Nya.

MENYOAL MEMORI ACEH 147 TAHUN SILAM


▶Pemimpin Aceh Buta Sejarah, Hanya Bisa Mengambil Keuntungan Dalam Kancah Politik Mengenai Sejarah Aceh.

“Udep merdeka, mate syahid, langet sihet awan peutimang, bumoe reunggang ujeuen peurata, salah narit peudeueng peuteupat, salah seunambat teupuro dumna.”
(Sultan Alaidin Mahmud Syah)

Rabu 26 Maret 1873, Komisaris Pemerintah Hindia Belanda, Nieuwenhuijzen, berdasarkan kekuasaan dan wewenang yang diberikan kepadanya oleh Pemerintah Belanda, menyatakan PERANG terhadap Kerajaan Islam Aceh. Pernyataan Nieuwenhuijzen inilah yang menyebabkan kehidupan rakyat Aceh tidak menentu hingga saat ini. 

Perlawanan dan pengkhianatan telah bercampur aduk di sana. Belanda dengan segala kelicikannya, harus menemukan taktik khusus perang untuk menaklukkan Kerajaan Aceh. Bahkan orientalis terkenal Prof. Dr. Snouck Hurgronje (Abdul Gaffar) sebagai konspirasi dikirimkan dari Belanda ke Arab Saudi dan ditempatkan di Aceh untuk mempelajari watak dan karakter kaum muslimin Aceh.

Perang menundukkan Aceh merupakan perang Belanda yang terlama, dan perang termahal yang harus dilakukan Belanda untuk tidak bisa menundukkan Aceh. Sebuah perang dimana dalam catatan sejarah Belanda, merupakan perang yang begitu panjang dan yang paling pahit (mungkin) melebihi pahitnya pengalaman mereka di Eropa. Kenyataan bahwa perang Sabil terus berkobar dan berkecambuk hampir di seluruh Aceh, Belanda tidak mampu menaklukkan Aceh. 

Bagi Belanda, Perang di Aceh merupakan kegagalan mereka menerka Aceh. Itu sebabnya mengapa Aceh dijuluki sebagai “Daerah Modal” bagi Indonesia, satu-satunya daerah yang tidak pernah dijajah oleh Belanda. Peperangan yang panjang dan melelahkan ini telah mengorbankan ratusan ribu nyawa manusia dari kedua belah pihak, baik Belanda maupun Aceh.

Demikian juga dana perang sedemikian besar telah dikeluarkan Belanda, dan nyaris membuat bangkrut kas Hindia Belanda sehingga menyebabkan semua perusahaan-perusahaan sebagai sumber ekonomi Belanda terpaksa gulung tikar sebagai konsekuensi logis dari perang yang dahsyat dan paling lama dalam sejarah Belanda. Bagi Belanda segalanya sudah menjadi tidak terkendali lagi. Bangsa Belanda tidak pernah menghadapi satu peperangan yang lebih besar dari pada peperangannya di Aceh. Menurut kurun waktunya, perang ini dapat dinamakan sebagai perang delapan puluh tahun. 

Menurut korbannya, lebih seratus ribu orang yang mati, perang ini adalah suatu kejadian militer yang tidak ada bandingannya dalam sejarah bangsa Belanda. Di lain sisi, rakya Aceh menganggap bahwa tersebut sebagai bentuk surga kiriman Tuhan, dimana orang Aceh seperti berlomba-lomba untuk mati syahid karena aqidah Islam sudah masuk ke dalam tulang sumsumnya. Itulah sebabnya mengapa perang ini melibatkan seluruh lapisan masyarakat Aceh, tak kecuali perempuan Aceh.

▶Menggugat Penyebutan Perang Aceh

Perang Aceh atau Perang Aceh dengan Belanda, itulah yang selama ini seringkali kita dengar bukan? Dalam buku-buku sejarah, artikel, opini, acara seminar, atau apapun yang terkait dengan itu, jika sedang membicarakan sejarah Aceh, pastilah ada pembicaraan tentang Aceh pada masa perang dengan Belanda. Kemudian pembicaraan tersebut yang dikategorikan salah satu dalam babak sejarah Aceh ini disebut sebagai Perang Aceh. Penyebutan Perang Aceh sudah menjadi senjata andalan (kata-kata) tersendiri bagi kita. 

Ketika tanggal salah satu peristiwa dalam sejarah perang itu tiba, entah itu tentang Sultan Alaiddin Mahmud Syah, Panglima Polim, Tengku Chik Ditiro, Teuku Umar, Cut Nyak Dhien, Cut Meutia, dan sebagainya, sebutan Perang Aceh tak pernah lekas dalam ingatan kita. Anggapan tersebut bisa saja benar. Namun, pengecualian tersebesar bagi mereka yang tak paham cerita tentang jalannya perang tersebut, sekalipun perang itu terjadi di Aceh. Tak bisa dipungkiri lagi bahwa penyebutan tersebut sudah menjadi kebiasaan bagi kita. 

Berulang kali saya menahan diri dan berpaling agar tidak mendengar dan ikut dalam penyebutan perang Aceh. Tapi akhirnya saya tak tahan juga. Semenjak kuliah di jurusan Pendidikan Sejarah Unsyiah Banda Aceh, sudah 4 tahun yang lalu saya meninggalkan penyebutan “Perang Aceh”. Semula karena memang tidak paham saya menyebutnya sebagai “Perang Aceh”, namun berkat pengetahun, jarak dan waktu mulai perlahan menghulangkan ingatan tentang penyebutan Perang Aceh. Bahkan saya juga sempat mengkritisi kalangan mahasiswa sejarah tentang sebutan perang Aceh. Anda tahu, memang begitulah seharusnya (saya lebih senang menyebutnya sebagai Perang Belanda di Aceh atau perang Fisabilillah).

Apa yang kita sebut selama ini (perang Aceh) sudah jamak dilakukan oleh masyarakat Aceh dan Indonesia, bahkan dunia. Yang saya heran dan menganggapnya pembodohan adalah masyarakat Aceh yang mengetahui seluk beluk perang tersebut masih menyebut perang Aceh. Perbedaan mendasar antara perang Aceh dengan perang Belanda di Aceh adalah dapat dilihat dari ultimatum perang.

142 tahun silam atau tepatnya 26 Maret 1873 yang lalu, siapa yang menyangka bahwa di Aceh akan terjadi peperangan yang maha dasyat dengan perputaran uang dan memakan korban jiwa yang sedemikian besar ? Tidak pernah ada yang menyangka. Berawal dari nafsu yang tak mampu lagi dibendung, dari situlah kisah perang dimulai. Dan jika ditarik lebih jauh lagi yaitu sebelum angka 1873, terdapat ada banyak alasan mengapa perang itu terjadi.

Melalui surat menyurat, diancamnya hubungan diplomatik serta dicaploknya beberapa daerah di Aceh, akhirnya perang tersebut meletus. Selain perjanjian Traktat London (1824) dan Traktat Sumatera (1871) yang dijadikan acuan sebab akibat terjadinya perang Belanda versus Aceh, beberapa alasan lainnya menyatakan bahwa perang tersebut meletus disebabkan karena, Belanda merasa janggal apabila wilayah Aceh yang letaknya cukup strategis sekaligus merupakan gerbang masuk ke Nusantara tidak dikuasai seluruhnya dan takut di ambil alih oleh pihak asing.

Sebelum pernyataan atau ultimatum perang itu dicetuskan, pihak Belanda terlebih dahulu melakukan surat-menyurat dengan Kerajaan Aceh. Surat-menyurat tersebut termaktub di Kapal Perang Citadel van Antwerpen pada tanggal 22, 23, 24, 25, 26, 27, 30 Maret dan 01-02 April tahun 1873. Kedua belah pihak saling membalas surat-surat tersebut. 

Belanda sebagai pihak pertama yang melayangkan dakwaan, kerapkali menggunakan bahasa provokatif yang ditujukan kepada Aceh. Rincinya, kesimpulan dari isi surat tersebut adalah agar Aceh dapat mengakui kedaulatan dan tunduk kepada pemerintah Hindia Belanda. Akhirnya, Belanda dengan kekuasaann yang ia punya mengeluarkan ultimatum perang kepada kerajaan Aceh.

“Dengan ini, atas dasar wewenang dan kekuasaan yang diberikan kepadanya oleh pemerintah Hindia Belanda, ia atas nama pemerintah, menyatakan PERANG kepada Sultan Aceh. Dengan pernyataan ini setiap orang diperingatkan terhadap beradanya mereka dibawah akibat perang dan kewajiban yang harus dipenuhi dalam pereng”, demikianlah bunyi pengkalan surat pernyataan perang Belanda kepada Aceh, termaktub di kapal perang Citadel van Antwerpen yang berlabuh di Aceh Besar, pada hari Rabu tanggal 26 Maret 1873 yang tertanda Komisaris Pemerintah Hindia Belanda Nieuwenhuijzen.

Pernyataan perang yang dilayangkan Belanda pada 26 Maret 1873 disikapi dengan serius oleh Kerajaan Aceh dibawah pimpinan Sultan Alaiddin Mahmd Syah. Setelah menerima laporan terperinci dari Balai Siasat Kerajaan (Kapala/Badan Intelijen Negara), Sultan langsung mengadakan musyawarah/rapat akbar bersama seluruh pejabat dan pemuka negeri Aceh. Sultan juga turut mengambil sumpah setia seluruh penduduk negeri menghadapi perang Belanda. Artinya, dalam rapat akbar tersebut telah diambil satu keputusan bulat bahwa Aceh akan melakukan perang total jika tetap Belanda menyerang Aceh. 

“Tidak ada putusan lain yang kita ambil, kecuali menghadapi ancaman Belanda dengan semangat jihad”, demikian titah Sultan. Segenap lapisan masyarakat juga diserukan ikut serta dalam perjuangan mempertahankan kehormatan dan kedaulatan dari setiap serangan. Berkatalah Sultan: “Udep merdeka, mate syahid, langet sihet awan peutimang, bumoe reunggang ujeuen peurata, salah narit peudeueng peuteupat, salah seunambat teupuro dumna.”

Sementara itu, pasukan Belanda telah memasuki wilayah Aceh melalui pantai Ceureumen dan Meugat. Pihak Belanda dengan kekuatan penuh telah berada di pantai Ulee Lheue – dengan 3.200 serdadu yang dipimpin oleh Mayor Jenderal J.H.R Kohler, Belanda siap mengeksekusi pernyataan perang yang ditujukan kepada Aceh. Kekuatan Belanda dalam ekspedisi pertama ini terdiri dari berbagai pasukan, seperti Satu Detasemen Cavaleri, Bataliyon Kesatuan Barisan Madura, barisan meriam, barisan Genie, staf tatausaha dan pemandu kesehatan. Mayor Jenderal Kohler, yang dibantu oleh Kolonel C.E van Daalen dan Kolonel A.W. Egter van Wisserkerke selaku kepala staf, siap menyerang dan menduduki Kerajaan Aceh. 

Dalam hal ini, Kerajaan Aceh tidak melakukan penyerang sebagaimana dilakukan pasukan Belanda, kecuali Belanda benar-benar menyerang Aceh secara total. Dengan demikian, jelaslah bahwa perang tersebut bukanlah “Perang Aceh melainkan “Perang Belandi di Aceh”, mengingat yang menyatakan perang adalah Belanda, bukan Aceh. 

Lalu, mengapa sampai saat ini kita masih menyebutnya sebagai “Perang Aceh”? Dasar sejarah apakah yang kita pegang sehingga kita berani mengklaim itu sebagai “Perang Aceh”? Apakah Aceh juga pernga menyerang negeri Belanda? dan, apakah Sultan Aceh saat bersamaan juga melayangkan surat pernyataan perang sebagaimana yang didalilkan Belanda? Sebutan untuk Perang Aceh sama sekali tidak pantas sebagaimana yang dikatakan selama ini. 

Perang Aceh, sama halnya dengan penyebutan bagi perang Padri, perang Diponerogo, dan sebagainya. Fakta di atas agaknya sudah cukup untuk membuktikan bahwa perang tersebut bukan perang Aceh melainkan perang Belanda. Jadi, sangat naif sekali kalau dikatakan memori Aceh 1873-1942 sebagai “Perang Aceh” sekalipun perang tersebut terjadi di Aceh. Ini sangat jelas a-historis ! Membalikkan fakta dan sejarah Aceh. Tak lebih dari konspirasi politik sejarah yang sesat dan menyesatkan. Dengan segala hormat, hentikan sebutan yang selama ini kita sebut sebagai “Perang Aceh”, apalagi menganggap biasa-biasa saja, sepele dan sudah terlanjur.

▶Puk-Puk Perang Belanda di Aceh

Empati dan simpati adalah dua hal yang terbaik untuk menggambarkan perang Belanda di Aceh pada masa kini, dan (mungkin) di masa yang akan datang apabila tak kunjung berubah. Rasa kasihan yang timbul di dalam hati setiap melihat orang lain di timpa kemalangan adalah sesuatu yang membuat manusia berada dalam kodrat sosialnya yang paling hakiki. Mencoba turut merasakan penderitaan orang lain ke dalam peristiwa sejarah perang Belanda di Aceh, mengingatkan kita bahwa banyak orang yang tidak seberuntung kita. 

Adalah wajar untuk merasa iba terhadap mereka yang kesusahan seperti orang-orang yang hidup pada masa perang Belanda di Aceh, meraka yang baru kehilangan kebahagiaan (harta, tahta keluarga bahkan nyawa) atau....., para pejuang kaum muslimin Aceh.

Tidak ada sejarah di dunia ini yang lebih kasihan dibanding mereka yang hidup dalam masa peperangan. Entah itu mereka yang ikut berperang, ibu-ibu yang dirumah, prajurit perang, musuh, atau siapa saja, bahkan sekalipun bocah-bocah yang sedang beranjak. Mereka yang hidup di masa itu tidak pernah berhenti melihat perang, di keheningan malam mereka selalu mendengar teriakan nyawa dan letupan moncong bedil. Semenjak berakhirnya peperangan di Aceh, hingga dalam rentetan waktu selanjutnya, dimana Aceh mendapat Otonomi Khusus, rawut wajah Aceh dimasa damai adalah lelucon 2 kata yang seketika mengundang gelak tawa tanpa perlu pendahuluan. 

Perang Belanda di Aceh memang telah lama berkahir, sebagian perang itu diselesaikan di atas hitam dan putih, sebagian lagi tak ada ujungnya dan dikelabui. Namun, perang yang telah lama berlalu itu hampir mati dalam kaca mata sejarah. Ya benar. Perang Belanda di Aceh hampir mati. Seperti bom waktu, jejak perang itu hanya menunggu waktu untuk punah dan dipunahkan. Perang itu hanya bertahan di dalam buku-buku sejarah. Faktanya pun mengisyaratkan demikian. 

Setiap kali tanggal peristiwa sejarah Aceh tiba, seperti terbuang sia-sia – hanya sebagian menyorot. Masyarakat Aceh larut dalam euforia kejayaan masa lalu (cuma berbicara) dan kelihatan seperti seorang ABG yang butuh pelukan dan puk-puk. Tidak ada tanggal khusus, tidak ada peringatan sejarah, apalagi sepetak tanah yang berisikan tentang replika-replika perang atau sejarah Aceh. Yang ada hanyalah cerita-cerita mulut (tradisi?) yang tak pernah terealisasikan, bahwa Aceh pernah mengalami kegemilangan di masa lalu, kata mereka.

Memang, ada beberapa momen dimana perang Belanda di Aceh dapat terlihat sekilas, seperti adanya seminar, buku sejarah, sejarawan dan media massa, atau Kerkhof dan makam pejuang. Namun, selama bertahun-tahun Aceh lebih sering mengingkari reputasinya sebagai bangsa hebat dengan penampilan sejarah yang telah dipanggungkan dalam kancah nasional dan internasional. Kita semua tahu bahwa selama 1 dekade ini, Aceh dipimpin oleh orang-orang yang kelak akan menjadi pelaku dan sumber sejarah. Hampir sebagian dari mereka adalah orang-orang yang terlibat dalam perang, dan mereka pernah memberikan motivator kepada pasukannya tentang “Perang Belanda di Aceh”. Namun ketika masa damai, prospek gemilang tinggal kenangan dan ia tetap menjadi lelucon yang makin lama makin tidak jenaka.

Yang mengherankan adalah ketika hujan empati 4 Desember diperingati dan diberikan kepada Aceh untuk mengingat momen masa lalu, kita tidak merasakan sentimen yang sama terhadap “Perang Belanda di Aceh”. Kita juga sama-sama tahu bahwa sejarah adalah milik penguasa, lalu apakah orang-orang yang gugur dimasa perang Belanda di Aceh akan bangkit kembali untuk menghidupkan sejarah mereka? Butuh usaha lebih dan selera yang tak lazim. Puk-puk, “Perang Belanda di Aceh”.

▶Menghidupkan Perang Belanda di Aceh

Tidak ada sambutan, tidak ada bendera setengah tiang, tidak ada kenangan untuk menyambut memori kelam Aceh 26 Maret 1873 di masa kini. Anda tahu, mereka kaum muslimin Aceh pergi berperang karena telah diperintahkan oleh negara. Tidakkah kita menghargai jasa-jasa perjuangan dan pengorbanan mereka? Saya tidak punya kata-kata untuk mengungkapkan pada anda tentang kesedihan atas gugurnya pejuang Aceh. Kini Aceh tidak indah lagi tanpa kehadiran mereka. Tapi saya sangat yakin, mereka kaum musilimin Aceh yang syahid di medan perang, sekarang telah bersama Tuhan dan para malaikat-Nya. Dan bahkan surga menjadi indah dengan kehadiran mereka di sana.

Lihatlah, apa yang kita temukan dii pantai Ulee Lheue, pantai Ceureumen, pantai Meugat dan pantai-pantai tempat pendaratan berlabuhnya kapal perang Belanda dan kapal-kapal Eropa? Disana kita hanya menemukan sepasang kekasih yang sedang menengak air minuman dengan tontonan sampah yang berserakan. Seharusnya diberbagai tempat dan pantai seperti itu telah didirikan monumen-monumen bersejarah. 

Adalah ironis bahwa semakin lama saya menjajaki peninggalan sejarah perang Belanda di Aceh dibeberapa tempat seperti di Banda Aceh dan Aceh Besar, bahkan mencarinya di internet, semakin saya merasa kehilangan “roh” perang Belanda di Aceh. Tentu saja bukanlah roh perang sesungguhnya yang kerapkali memakan korban jiwa sedemikian besar itu, tetapi roh dalam bentuk fakta-fakta dan bukti-bukti perang baik yang original maupun buatan manusia yang direplikakan kembali. Bohong kalau saya mengatakan bahwa bukti sejarah perang Belanda di Aceh tidak ada. Bohong pula jika saya mengatakan tidak pernah melihat bukti-bukti perang tersebut. Tapi adalah benar jika saya katakan bahwa di Aceh tidak ada replika-replika perang yang maha dasyat itu. 

Kebesaran dan agungnya sebuah sejarah tak lepas dari kontribusi para sejarawan, dari awal pengumpulan data hingga merekontruksi segala peristiwa masa lalu yang berkaitan erat dengan manusia, menjadi seperti yang kita ketahui sekarang. Di samping itu, peranan dan kontribusi pemerintah, akademisi, masyarakat, bahkan media massa sangat dibutuhkan untuk kepentingan sejarah. Dan bagi mereka yang mengamini sejarah sebagai pelajaran dan inspirasi yang tak lekang oleh waktu, menghormati warisan dan pembuatan sosok-sosok penting dalam sejarah menjadi keharusan.

Sejarah perang Belanda di Aceh yang termaktub di kapal perang Citadel van Antwerpen pada hari rabu tanggal 26 Maret 1873, tidak harus disusun rapi dalam bundelan-bundelan dokumen yang tertata rapi di museum, perpustakaan dan ruang arsip. Banyak cara agar sejarah perang Belanda di Aceh terus hidup, tetap dikenang dan dikenalkan kepada generasi terbaru yang masih muda dan anak-anak. Tujuannya jelas: generasi baru mesti mengenal betul seluk-beluk perang Belanda di Aceh dan para leluhurnya, atau.... Aceh.

Pembuatan monumen bersejarah, seperti patung prajurit perang, prasati surat perang, atau replika jalannya perang Belanda di Aceh, bisa dijadikan suatu alternatif untuk mengabadikan suatu momen dan sejarah. Dengan cara seperti itulah ingatan dan kenangan memori Aceh 1873-1942 terhadap sejarah tetap terjaga dan terjamin kelangsungannya hingga generasi-generasi yang akan datang. Tentu saja untuk membangun monumen bersejarah tersebut, selain dana yang diperlukan, juga dibutuhkan lahan kosong dan tim arsitek yang handal demi menghidupkan kembali jejak-jejak perang Belanda di Aceh yang sangat memprihatinkan ini.

Hampir seabad setengah (1873-2015) perang Belanda di Aceh berlalu, ingatan dan kenangan tentang sejarah tersebut makin lama semakin terkikis. Bahkan kita juga tak pernah melihat dan menyaksikan adanya monumen atau replika perang yang berdiri megah dihadapan kita. 

Sepengetahuan saya, selain Kerkhof, Masjid Raya Baiturrahman, dan makam-makam pahlawan, hanya ada prasasti Kohler yang dibangunkan dibawah pohon Geulumpang tepat digerbang kiri Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh. Selebihnya, barangkali masih bersemayam di daerah lain dan dalam mimpi serta imajinasi kita. Kita juga tidak pernah tahu dimana letak pemakaman pasukan dan pejuang Aceh yang gugur selama perang Belanda di Aceh, seperti halnya pemakaman Kerkhof.

Pada akhirnya, kita semua sadar bahwa Aceh tak pernah menghargai sejarahnya, hanya terbuai dan larut dalam euforia kejayaan masa lalu. Dengan dana yang digelontorkan sedemikian banyak itu, pemimpin kita masih buta tentang sejarah. Parahnya, pemimpin di negeri ini hanya memanfaatkan sejarah sebagai alat politik; Aceh adalah bangsa besar dengan kebesaran sejarahnya, pernah mencapai puncak kejayaannya, juga pernah dipimpin oleh 4 ratu, negeri yang melahirkan pemimpin-pemimpin yang handal, serta sebagainya – sungguh ironis. 

Kepada yang terhormat; seluruh pemilik kekuasaan rakyat Aceh, hidupkan kembali momen-momen perang Belanda di Aceh untuk mengenang perjuangan 1873-1942. Kiranya hal tersebut tidak dapat diwujudkan, satu-satunya cara agar perang Belanda di Aceh tetap hidup dan menghidupkan kembali adalah; Datanglah ke Aceh, atau tepatnya Banda Aceh dan daerah sekitarnya suatu hari nanti. Disana kenangan-kenangan akan perang Belanda di Aceh masih dapat disaksikan secara jelas. Kerkhof, Rumah Cut Nyak Dhien, Masjid Raya Baiturrahman, Pohon Kohler, makam-makam tempo dulu, dan sebagainya, masih berdiri kokoh untuk dijadikan bukti bahwa di daerah ini memang benar pernah terjadi perang yang maha dasyat antara Belanda dan Aceh. 

Datanglah ke area perkuburan Belanda yang disebut Kerkhof suatu waktu nanti. Letaknya di daerah Blower, Banda Aceh, tidak jauh dari pendopo Gubernur Aceh, yang memang agak terbentang lurus dari arah situ dan tepat dibelakang Museum Tsunami Aceh. Banyak hal menarik dapat Anda temui di
kompleks pemakaman ini. Seperti kisah para prajurit semasa hidupnya sampai pada saat dikubur. Semuanya diceritakan hanya sekilas pada batu nisan, sehingga makam ini seolah-olah sedang bercerita kepada Anda tentang masa hidupnya. Selain makam Kohler, masih terdapat banyak lagi makam-makam Jenderal Belanda dan orang terkenal lainnya di pemakaman Kerkhof ini, seperti warga setempat yang beragama Kristen dan orang-orang Tionghoa juga dikuburkan di situ. 

Jika ada waktu, ada baiknya anda sesekali berlibur ke Kerkhof untuk menikmati ratusan simbol yang ada di dalam sana.

▶Sebuah Catatan Kecil Kami Bagi Mereka

Dari mereka yang menganggap perang Belanda di Aceh sudah mati, kita tidak mendengar lagi kenangan-kenangan tentang perang ini. Logis memang. Yang lainnya, bagi mereka yang menganggap perang Belanda di Aceh belum sepenuhnya mati, masih sesekali menulis bahwa peringatan tentang perang Belanda di Aceh tampaknya sudah mati; sebuah peristiwa maha dasyat dimasa lalu yang benar-benar sudah mati. Mereka sama sekali tidak menyesalinya, karena kita tidak bisa belajar apa-apa dan mengambil pesan yang terkandung di dalam perang ini, begitu pendapat mereka. Sementara yang setengahnya lagi, para literatur dan sejarawan (amatir), dengan fakta-fakta kosongnya juga telah membuat perang ini seolah mati, sekalipun mereka sebagai pihak pertama yang menghidupkan perang ini.

Dan sementara sisanya, mahasiswa sejarah – dengan sombongnya bercerita dan berbicara tentang peristiwa maha besar ini, yang kemudian diwujudkan dituangkan abjad-abajd palsu, lalu di arsipkan dirak kamar kos. Begitu tanggal peristiwa itu tiba, mereka yang mengatasnamakan mahasiswa sejarah, lebih memilih bungkam dan tubuhnya tak bergerak untuk memperingati tanggal tersebut, sesuatu yang dianggap bisa diselesaikan dengan kata-kata.

Selama ini kita hanya membanggakan perang Belanda di Aceh dengan kata-kata yang keluar dari mulut kita. Sampai pada akhirnya kita tidak sempat berpikir, bagaimana nasib sejarah Aceh ini. Kapan hari untuk peringatan sejarah perang Belanda di Aceh atau sejarah Aceh lainya? Adakah lagu wajib untuk mengenang peristiwa itu? Sudahkan generasi ini berbangga dengan tokoh sejarahnya? Entahlah!! Yang pasti sampai saat ini kita hanya mengetahui peringatan sejarah luar. 

Kita semua tidak pernah mengenal adanya hari peringatan perang Belanda di Aceh, hari perempuan perkasa Aceh ataua hari sejarah Aceh lainnya. Akan tetapi jikalau sekedar menanyakan nama-nama pahlawan Aceh, In Shaa Allah dengan lancar lidah akan keluar semua nama itu. Tapi jika ditanyakan kapan peringatan hari dan tanggal peristiwa sejarah Aceh, semuanya akan bungkam dan sedikit menggelengkan kepala. Lainnya halnya ketika kita dilontarkan pertanyaan kapan peringatan hari R.A Kartini, dan dengan fasih kita akan menyebutnya.

Apakah Aceh dipaksa untuk mengenal tokoh sejarah dari luar, sedangkan Aceh sendiri memliki ratusan tokoh sejarahnya? Kita tidak tahu. Iya atau tidak, memang begitu realitasnya yang terpampang dihadapan kita sekarang. Realita yang memaksa kita untuk bertanya, "mengapa?". 

Patutkah kita berbangga memiliki sejarah Aceh yang besar ini? Patutkah kita membusungkan dada seraya berkata akulah generasi bangsa Aceh darah pahlawan, pejuang dan pemberani? Anda tahu, sebagian pahlawan Aceh kerapkali disebut sebagai musuh dalam buku-buku sejarah Aceh yang ditulis oleh orientalis Belanda. Sepertinya ada yang salah dengan pandangan kita tentang perang Belanda di Aceh atau sejarah Aceh lainnya. Mungkin karena sejarah tidak menceritakan secara detail, maka ingatan tentang itu masih dibawah tingkat kepopuleran.

Oleh, Chaerol Riezal*

*Penulis adalah Mahasiswa Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Fakultas Keguruan dan 
Ilmu Pendidikan (FKIP) Program Studi Pendidikan Sejarah, angkatan 2011, Darussalam – Banda Aceh. Sekaligus Pengurus Ikatan Himpunan Mahasiswa Sejarah se-Indonesia 
(IKAHIMSI) Koordinator Wilayah VIII Aceh dan Sumatera Utara.