Tampilkan postingan dengan label Melayu. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Melayu. Tampilkan semua postingan

Manuskrip Incaran Ust. Abdus Somad (1)

Selasa, 26 Desember 2017 merupakan hari bersejarah bagi Aceh dan bagi Ust. Abdus Somad. Pada hari tersebut tokoh fenomenal alumni Mesir dan Maroko tersebut hadir ke Aceh untuk menyampaikan tausiyah pada acara “Zikir Internasional” dalam rangka memperingati 13 tahun gempa-tsunami Aceh 2004. Acara tersebut dihadiri puluhan ribu jamaah.

Selain itu, momen yang tidak terlupakan juga bagi Ust. Abdus Somad, adalah sehari sebelumnya ia dideportasi oleh otoritas imigrasi Hongkong. Karena itulah, hikmah dan obat hati dari kejadian tersebutlah membawanya ke negeri Serambi Mekkah  di ujung Pulau Sumatera, wilayah yang menjadi salah satu sumber ilmu dan inspirasi baginya.

Ust. Abdus Somad menyampaikan tausiyah lebih dari satu jam, bahasannya berbagai topik, antaranya persoalan ummat di zaman sekarang, Syariat Islam, ukhuwah Islamiyyah, antisipasi LGBT, etika bermazhab, hingga khazanah keilmuan ulama-ulama di Aceh.

Khazanah keilmuan yang ia sebutkan terkait ulama Aceh yang produktif mengarang atau menulis kitab. Peran para ulama Aceh telah mencerdaskan masyarakat tidak hanya di Aceh, tapi juga Melayu-Nusantara hingga sekarang. Para ulama-ulama ini telah berhasil membangunkan khazanah keilmuan dengan karyanya yang menjadi rujukan berabad-abad.

Memang, kekaguman Ust. Abdus Somad terhadap karya ulama Aceh tersebut sering disampaikan dalam beberapa ceramahnya dalam konten bahasan tentang Aceh. Bahkan ia pun penasaran dengan beberapa manuskrip yang belum dijumpainya dan dilihat isinya. Namun demikian, pengetahuan tentang ulama-ulama Aceh dan karya-karyanya, dalam pandangan saya, cukup mumpuni dan sangat baik. Sebab, jarang tokoh dan alim terkenal di Indonesia yang menyampaikan rujukan-rujukan kitab ulama sendiri.

Dan, syukurlah manuskrip-manuskrip yang disebutkan masih tersimpan di beberapa koleksi pribadi dan lembaga di Aceh, salah satunya di koleksi Museum Negeri Aceh Banda Aceh.

Antara tokoh dan kitab yang disebutkan oleh Ust. Abdus Somad adalah: Pertama, Syaikh Abdurrauf al-Jawi al-Fansuri yang mengarang kitab tafsir pertama dalam Bahasa Jawi/Melayu, Tarjuman al-Mustafid.

Biografi Singkat ‘Abdurrauf al-Fansuri 
Nama lengkap pengarang kitab Tarjuman al-Mustafid adalah ‘Abdurrauf bin ‘Ali al-Jawi al-Fansuri, sebagaimana sering ia sebutkan dalam kitab-kitabnya, tanpa as-Singkili.  Tidak ada sumber yang secara jelas menyebutkan tanggal kelahirannya, namun menurut DA. Rinkes5 sebagaimana yang dikutip oleh Azyumardi Azra, ‘Abdurrauf dilahirkan sekitar tahun 1024 H/1615 M. Ia meninggal dunia pada tahun 1105 H/1693 M, dengan usia 78 tahun dan dimakamkan di gampong Kuala Aceh, Lamdingin, di Banda Aceh.

‘Abdurrauf menuntut ilmu di Jazirah Arab selama 19 tahun, ia kembali ke Aceh sekitar tahun 1661 M. Ia aktif mengembangkan ajaran tarekat tasawuf Syattariyah dan menulis atau mengarang kitab multidisiplin ilmu. Hingga saat ini telah teridentifikasi karya mencapai 40 judul kitab. Termasuk kitab Tafsir yang dikarangnya pada masa Sultanah Safiyatuddin Syah (berkuasa 1644-23 Oktober 1675 M).


Kitab Tafsir Melayu Pertama 
Tafsir Tarjuman Al-Mustafid merupakan tafsir pertama berbahasa Melayu yang ditulis lengkap tiga puluh juz. Bahasa Melayu dan aksara Jawi sangat identik dengan Islam karena memang hubungan Melayu dengan Islam sudah terjadi sejak eksis kerajaan Pasee di Aceh menyebar ke wilayah Melayu Nusantara. Kerajaan Samudera Pasee adalah kerajaan pertama yang melegalkan dan mengasas aksara Jawi yang didasari pada tulisan Arab.

Selama lebih daripada tiga abad ia dikenali sebagai terjemahan Tafsir al-Baydhawi. Kitab ini tersebar di pelosok negeri Melayu-Nusantara (Indonesia) sebagai Terjemahan Tafsir al-Baydhawi. Beberapa cetakan yang ada turut menggunakan judul tersebut "at-Tarjamah al-Jawiyyah Lit-Tafsir al-Musamma Anwar al-Tanzil wa Asrar at-Ta'wil lil-Imam al-Qadi al-Baydhawi" atau dikenal dengan istilah "Tafsir al-Baydhawi" dalam bahasa Melayu.
Kitab Cetakan "Tarjuman al-Mustafid" yang menyebutkan terjemahan dari Tafsir "al-Baydhawi"
Cetakan Mustafa al-Bab al-Halabi, Mesir 1370 H/1951 M.

Namun demikian, beberapa peneliti menyebutkan bahwa Kitab Tarjuman al-Mustafid melebihi atau terdapat unsur dan teknik yang berbeda dalam Tafsir Baidhawi, sehingga tidak dapat disebut ia kutipan lansung seluruhnya dari al-Baydhawi.

Kitab Tarjuman al-Mustafid tidak hanya dikenal di tanah Melayu Nusantara, akan tetapi juga dikenal hingga ke Turki, Mesir, Mekah, dan beberapa negara lainnya. Persebaran “santri” yang menuntut ilmu di berbagai wilayah menjadikan kitab tersebut sebagai salah satu rujukannya. Bahkan, ia terus menjadi rujukan hingga ke hari ini, khususnya bagi peneliti dan para al-mufassirin. Dengan demikian, kitab ini menjadi tafsir al-Quran yang lengkap digunakan hampir tiga abad sebelum lahirnya kitab-kitab tafsir yang lain.

Beberapa catatan peneliti menyebutkan bahwa cetakan pertama Kitab Tarjuman al-Mustafid saat Syeikh Muhammad Zain al-Fatani membawa manuskrip Tarjuman al-Mustafid ke Turki dan ditunjukkan kepada sultan Turki. Sang Sultan tertarik dengan karya besar dan penting tersebut, hingga akhirnya dicetak di Istanbul. Ini merupakan cetakan pertama oleh Matba’ah al-Utmaniyyah pada tahun 1302H/1884M dan 1324H/1906M.

Kemudian Kitab Tarjuman al-Mustafid  dicetak di Qahirah oleh Matba’ah Sulayman al-Maraghi, Maktabah al-Amiriyyah di Mekah, Bombay (India), Singapura, Jakarta dan Pulau Pinang. Edisi terakhir ialah cetakan Jakarta pada tahun 1981.

Saat ini, beberapa manuskrip atau tulisan tangan kitab Tarjuman al-Mustafid masih dapat dijumpai dibeberapa koleksi di Aceh, terutama di Museum Aceh dengan nomor inventarisir 07.0269, 07.351, 07.420, dan 07.441.  Selain itu, koleksi Museum Ali Hasjmy Banda Aceh dengan nomor 1/TF/5/YPAH/2005.


Bersambung: Manuskrip Incaran Ust. Abdus Somad (2)


Dikutip dari berbagai sumber.

Ar-Rahmah fi al-Tibb wa al-Hikmah: Manuskrip Perobatan Aceh-Melayu



Kitab Ar-Rahmah fi al-Tibb wa al-Hikmah merupakan karya Syaikh ‘Abbas Kutakarang, salah seorang ulama masyhur dan aktif dalam dunia intelektual dan transmisi keilmuan di Aceh (termasuk dunia Melayu) antara abad ke 18-19 Masehi. Keilmuannya tidak hanya fokus pada bidang agama saja, tetapi juga ikut serta berkonstribusi dalam dunia pendidikan, dakwah, astronomi, peperangan, perobatan dan sebagainya. Ia juga mennjadi penasehat Kerajaan Aceh dalam bidang keagamaan sekaligus pemimpin perang Aceh melawan kolonial Belanda hingga meninggal dunia. 

Karya Syaikh 'Abbas Kutakarang dalam bidang kedokteran dan medical (perobatan) dapat dianggap spesial dan intelektual. Terus terang,  kajian ini di Aceh -dulu dan sekarang- sangat minim sekali, bahkan hampir tidak terekam sama sekali. Walaupun memiliki tradisi pengobatan tradisional, sebagian masyarakat Aceh hanya tahu sekilas Kitab Tajul Muluk, sebagai salah satu kitab perobatan klasik. 

Pada dasarnya, Kitab Ar-Rahmah fil Tibb wal Hikmah salah satu kitab perobatan dan kedokteran paling lengkap di Aceh yang lahir sejak abad ke-19. Ia memiliki kandungan lengkap tentang teori dan praktik perobatan yang telah dikombinasikan dengan konteks Aceh dan Melayu, baik dari sisi material (bahan) obat-obatan, proses mekanisme dan sebagainya.  Kitab ini juga masih sangat relevan dengan kedokteran zaman kekinian (perobatan modern). 

Khusus dalam kitab perobatan ini, Syekh 'Abbas Kutakarang menyebutkan secara ringkas biografinya dalam pembukaan (oxordium) kitabnya;
“Adapun kemudian dari itu, maka berkata hamba Allah yang dinamai dengan ‘Abbās yang mengharap Tuhannya, Allah Ta‘ālā yang Tuhan sekalian manusia, Shāfi’i nama madhhabnya, Aceh nama negerinya, masjid al-Jami’ Ulee Susu tempatnya kediaman dan kejadiannya”.

Kitāb Ar-Raḥmah dibagi ke dalam 5 bab utama, antaranya:
1. Bab I tentang ilmu tabi’at dan karakteristik manusia.
2. Bab II tentang makanan baik dan sehat, mengandung khasiat, obat dan bermanfa’at.
3. Bab III tentang hal yang baik kesehatan badan.
4. Bab IV tentang perobatan untuk penyakit spesifik di tubuh.
5. Bab V tentang pengobatan secara umum dan bersifat temporer di badan.
Apabila menilik kitab Ar-Raḥmah fil Tibb wal Hikmah, maka dapat disebut Syaikh ‘Abbas Kutakarang termasuk ulama dan penulis aktif di Aceh periode ke-19-20 M. Kitab tersebut semakin menambah referensi bagi para ilmuwan untuk melihat Aceh dalam beragam perspektif dan multidisiplin ilmu. Terutama jaringan keilmuan Aceh-Melayu-Arab yang terus direkat pada akhir-akhir masa Kesultanan Aceh dan era kolonial Belanda-Inggris di dunia Melayu dan Nusantara. 

Kitab ini diterjemahkan dari kitab berbahasa Arab, dengan judul yang sama, dimulai penyalinan dan penerjemahan kitab ini mulai 2 Muharram 1266 H, hingga selesai kurang lebih 4 (empat) tahun lamanya. Itu bukan waktu yang singkat, kerja kerasnya tersebut bukan sebatas menyalin huruf perhuruf, tetapi ia juga menerjemahkan, mempelajari dan menganalisi resep-resep perobatan di dalam kitab tersebut, sehingga itu menunjukkan ia menguasai beberapa hal dalam bidang perobatan.

Saat ini, manuskrip Ar-Rahmah fil Tibb wal Hikmah adalah satu-satunya (codex unicus) koleksi Yayasan Pendidikan dan Museum Ali Hasjmy (YPMAH) di Banda Aceh, lembaga yang menyimpan beribu dokumen penting yang diprakarsai oleh (alm) Ali Hasjmy. Setelah membaca keseluruhan isinya, ternyata manuskrip koleksi YPMAH merupakan salinan dari kitab sebelumnya, itu artinya masih ada varian teks [manuksip] lainnya selain koleksi YPMAH di muka bumi ini, walaupun masih misterius atawa belum ditemukan.  

Melihat manuskrip yang langka dan pentingnya kandungan tersebut, maka buku ini merupakan transliterasi/transkripsi teks tersebut dalam aksara Latin disertai aksara Jawi (Arab-Aceh/Melayu). Kami berusaha semaksimal mungkin untuk menghadirkan teks manuskrip sedetail dan sebaik mungkin. Oleh karena itu, buku yang hadir dalam "wajah baru" itiu merupakan kolaborasi kajian teks-naskah (filologi) dan medical scientis.

Maka buku ini hadir dalam 5 (lima) bagian:
1.  Tentang naskah (sejarah, biografi penulis dan asbab kitab)
2.  Transliterasi/transkripsi teks ke dalam aksara Latin
3.  Glosari 
4.  Teks dalam aksara (huruf) Jawi.
5.  Bibliografi dan Index.


Buku ini dikaji oleh Dr. Affendi Shafri (pensyarah di IIUM Pahang Malaysia) dan Hermansyah (Dosen di UIN Ar-Raniry-Aceh) diterbitkan oleh Klasika Media Malaysia

Serah terima buku dari perwakilan Pengkaji dengan Penerbit

Sejarah Eksport Rotan Negeri Melaka

Kitab Sejarah Malaya
Perabot Rotan Mesir

Tengokkan tajuk macam tak bestkan!, tapi pernah tak korang terfikir tentang tumbuhan yang hidup subur di Asia Tenggara ni dan ia pula berbeza-beza spesis merupakan salah satu komoditi penting pada satu masa dulu dan kalau korang betul-betul minat sejarah mesti korang takkan lupa bahawa rotan adalah salah satu bahan eksport penting di Melaka pada satu masa dahulu selain damar, kapal, emas dan lain-lain.
  
Jadi agak-agak koranglah pada zaman Melaka dulu ada tak kerusi dan meja diperbuat daripada rotan dan apakah benda-benda ni tak wujud pada zaman selepas Melaka. Yelah, takdak dulu takda sekarang, maka admin pun cubalah godek-godek beberapa web luar negara yang ada pasal benda alah ni, sebab pelik lah takkan lah eksport mentah-mentah macam tu je mestilah pengimport tu nak gunakan rotan ni untuk sesuatu. Setakat nak guna untuk sebat orang takkan nak beli bertan-tan.

Di Barat rotan (rattan) ini turut dikenali dengan nama Manila dan Melaka. Err.. Melaka?, jadi nampak tak signifikannya disitu. Adakah besar kemungkinan sudah wujudnya perabot-perabot berasaskan rotan pada zaman Melaka?, setakat ini dalam pengetahuan admin belum lagi berjumpa apa-apa data tentang perkara ini. Di barat terutama sekali England pada abad ke 18, rotan sudah mula digunakan sebagai salah satu bahan asas bagi pembuatan perabot dan rotan juga digunakan oleh para cikgu untuk menyebat pelajar. Gambar di bawah ialah kerusi yang wujud pada tahun 1780an dan dikenali sebagai kerusi era Josephinism iaitu Era Habsburg yang memerintah Empayar Roman yang pada waktu berpusat di Austria.

Kalau dilihat pada bentuknya rotan-rotan ini digunakan sebagai pelapik ataupun tempat duduk bagi kerusi. Gambar tentang kerusi ini korang boleh cari di dalam pelbagai website di seluruh dunia.

Kerusi ini dipercayai wujud pada tahun 1710 pada zaman Syarikat Hindia Timur Inggeris dan 66 tahun kemudiannya Francis Light memajak Pualau Pinang pada tahun 1776. Korang leh rujuk link ni untuk info lanjut http://blogs.ucl.ac.uk/eicah/caned-furniture/caned-furniture-case-study-skills-transmissionnew-skills/

Selain itu perabot daripada rotan ini sangat terkenal di Mesir malah dalam sejarahnya dipercayai perabot ini sudah wujud pada zaman 3000 SM lagi. Fuhh, namun mengikut penganalisis perabot tersebut bukanlah menggunakan 100% rotan tapi dicampurkan dengan pelbagai bahan lain terutama sekali pokok Willow. Pokok willow ni seakan-akan rotan juga cuma lebih halus.

kat blog ni http://www.americanrattan.com/blog.html pulak berkenaan pembuatan rotan di Amerika. Fuhh.. macam tak cayo! sampai sini ha import eh..

Ada banyak lagi gambar tapi yang ni cukuplah sebagai bukti-bukti sampingan Cuma persoalannya, kalaulah Melaka dan negeri Melayu lain eksport rotan agak-agaknya ada tak perabot wujud pada zaman tu dan seingat admin Sriwijaya juga turut mengimport rotan ke seluruh dunia. Korang rasa macam mana?, apakah semua ini benar belaka ataupun imiginasi yang tidak berasas?.

~ Admin ghaso polik lak kek Malaysia ni produk rotan dan perniagaan rotan macam susah bona nak hidup... apo pasal eh?.

Era Habsburg

Era SHTI

Daun Pokok Willow

Sejarah Seni Anyaman

Sumber

http://homesthetics.net/what-is-the-difference-between-wicker-and-rattan-furniture/ 
http://www.designfurnishings.com/blog/history-wicker-furniture/
https://en.wikipedia.org/wiki/Wicker
https://en.wikipedia.org/wiki/Rattan
https://en.wikipedia.org/wiki/Willow
https://www.gooddegg.com/blog/2016/01/28/wicker-in-old-and-contemporary-times/
http://www.americanrattan.com/blog.html






Persenjataan dan Taktikal Melayu Perak Pada Abad Ke 19.

Persenjataan dan Taktikal Melayu Perak Pada Abad Ke 19.
Peperangan diantara orang Melayu pada suatu masa dulu dikategorikan sebagai peperangan diantara kumpulan berada dan tidak berada sebagai contohnya kumpulan yang berada menguasai kawasan bijih dan kumpulan yang tidak berada cuba menguasai kawasan tersebut. Walaubagaimanapun peperangan ini berlaku secara tiba – tiba dan tidak teratur. Satu – satunya peperangan yang bersifat panjang ialah pengepungan kubu – kubu. Walau bagaimanapun Barat menganggap ia suatu tindakan kurang bijak kerana pengepungan itu hanya sekadar untuk menunggu mereka yang didalam kubu itu mati kelaparan.[1] Gaya serangan orang Melayu terhadap kubu pula ialah dengan cara muslihat iaitu cuba menawan kubu tersebut tanpa disedari pihak lawan dan sekiranya gagal maka mereka akan mula mengepung kubu tersebut. Taktik lain seperti berpura - pura kalah juga digunakan bagi menarik pihak lawan keluar dari kubu.

Kubu merupakan pusat taktikal bagi segala gerakan. Ia biasanya terletak di tebing sungai yang biasanya terletak di anak sungai dan sungai yang besar dan ia juga berfungsi sebagai pusat pengawalan bagi lalu lintas sungai.[2] Di kubu – kubu ini juga diletakkan meriam dan jarang sekali terdapat orang yang terselamat apabila melintasi kubu ini. Sekiranya kubu ini ditawan maka penakluk akan memperolehi sebuah kawasan yang luas samada di bahagian ulu sungai atau di lembah sungai tersebut.

Antara contoh yang diberikan ialah corak perkubuan yang digunakan oleh Dato Maharajalela yang telah memperbaiki parit dan mengarahkan setiap orang kampung menyediakan 100 batang kayu bagi membina sebuah kubu. Parit yang telah diperbaiki ialah seluas 12 kaki lebar dan 6 kaki dalam yang dipenuhi air sungai, sebuah tambak tanah dan pagar didirikan atas tanah itu. Pagar ini pula selalunya akan diletakkan pancang sebanyak 2 baris dan diantaranya diletakkan tanah dan pagar seperti ini tidak ditembusi peluru.[3] Kubu ini juga diatasnya ditutupi dengan pagar dan diluarnya tedapat buluh – buluh runcing yang tajam dan menjadi sebentuk ranjau bagi melukakan kaki penyerang. Diantara buluh ini juga diletakkan lubang bagi memerangkap orang yang tidak berhati – hati.[4] Jauh di hadapan kubu juga dibina halangan dari pokok yang ditebang bagi menyukarkan pergerakan penyerang dan dalam kawasan kubu juga dibina rumah bagi para pengawal dan dibuat sebuah lubang tempat menembak. Secara umumnya disetiap penjuru akan diletakkan meriam yang akan membedil penyerang dari semua arah. Pintu gerbang juga diperbuat dari kayu yang berat agar sukar untuk ditembus masuk oleh penyerang serta didalam kubu akan dibina tempat simpanan makanan sekiranya di kepung oleh musuh. Pada tahun 1870an senapang matchlock dan flintflok adalah senapang yang biasa digunakan pada zaman itu disetiap ceruk dunia namun pistol snider mula digunakan bagi menggantikan kedua jenis senapang tersebut.[5] Peluru bedil daripada timah juga boleh dibuat sendiri namun sebahagian besarnya diimport daripada luar.[6]

Menurut catatan Frank Sweetenham didalam bukunya British Malaya (1948) mengatakan

“Sekitar tahun 1874 orang – orang Melayu Perak sangat suka membawa senjata sebanyak mungkin bersamanya sebagai contohnya 2 bilah keris, 2 batang lembing, selaras senapang dan sebilah pedang”.

Meriam dan senapang sudah lama digunakan oleh pasukan Perak yang dibeli dari Belanda & British melalui pertukaran bijih timah ataupun membayar secar tunai dan kebiasaanya ia dibeli oleh Sultan yang kemudianya diserahkan kepada pembesar bagi tujuan keselamatan negeri. Memandangkan sungai Perak terutamanya di kawasan Perak Tengah merupakan kawasan pemerintahan Sultan Perak terdahulu serta merupakan laluan utama perdagangan maka adalah menjadi suatu kemestian untuk mendapatkan persenjataan seperti ini. Walaubagaimanapun tidak pula dinyatakan jumlah senjata yang dibeli. Sebagai contohnya pada tahun 1827, Panglima Che Alang Aidin telah menggunakan 12 pucuk senapang bagi menghalang pasukan Kedah yang telah dipaksa oleh Ligor bagi menyerang Perak.[7] Contoh lain pula ialah ketika Lieutenant Abbot dan orangnya dihujani dengan tembakan dari arah seberang sungai ketika beliau berburu yang menyebabkan beliau lari ke Bandar.[8]

Hari ini segala senjata itu diletakkan di MuziumPasirSalak sebagai peringatan kepada sejarah bangsa yang telah berlalu. Semoga ia menjadi kenangan dan kesedaran buat bangsa Melayu. Walaupun sudah tertewas di medan tempur namun semangat perjuangan tidak boleh padam sampai bila – bila...

Nota Kaki

[1] Agak menghairankan kerana British juga pernah melakukan pengepungan terhadap pahlawan –pahlawan Kedah samada di darat atau di laut semasa Perang Kedah – Siam 1821.
[2] Kubu – kubu juga dibina oleh orang Cina semasa peperangan diantara kongsi gelap Hai San dan Gee Hin di kawasan sungai Kelian Pauh dan Kota. Lihat R.N Jackson, Pickering : Protector of Chinese,1965.
[3] J.M Gullick, Sistem Politik Bumiputera Tanah Melayu,1978.
[4] Jerangkap samar yang biasanya digunakan dalam semua jenis taktikal peperangan dalam semua bangsa didunia.
[5] Semasa lawatan admin ke Muzium Pasir Salak, admin sudah diberikan penerangan tentang perkara ini oleh pegawai Muzium namun pada waktu itu penulis hanya berniat untuk melihat saja dan bukan bertujuan untuk menyelidik tentang perkara ini.
[6] J.M Gullick, Sistem Politik Bumiputera Tanah Melayu,1978.
[7] Abdullah Haji Musa (Lubis), Sejarah Perak Dahulu dan Sekarang, Penebit Qalam Singapura,1965, hlm 46.
[8] Bandar terletak didalam kawasan Pasir Salak dan peristiwa yang berlaku adalah rentetan dari pembunuhan JWW Birch. Lihat - Abdullah Haji Musa (Lubis), Sejarah Perak Dahulu dan Sekarang,1965.

Gambar : Sabrizain "The Perak War".

Sambung ke sini pulak https://gerodamerah.wordpress.com/

Bendera "Zulfaqar" Aceh

Bagi Aceh, bendera tidak hanya sebuah logo dan simbol, tetapi memiliki makna historis dan nasionalisme. Di Aceh, bendera mampu menjadi persoalan krusial, timbul "ganjai" bin aneh dengan beragam polemik bendera. Begitupun, bendera memiliki "marwah" lebih tinggi dari lainnya dalam politik Aceh. Salah satu faktanya terjadi saat ini, tepat saat para pembaca hidup dan sedang membaca coretan ini.

Akan tetapi, kali ini terkait bendera Aceh tempo dulu, bukan bicara "politik bendera" yang tidak kunjung selesai. Berbicara bendera Aceh, maka pertanyaan paling pertama yang muncul adalah bagaimanakah bendera asli kerajaan Aceh? Mendapat pertanyaan seperti ini, dapat dipastikan jawabannya  tidak ada satupu yang secara utuh dan akurat.

Pada era Kesultanan Aceh, hampir setiap kerajaan-kerajaan di dalam wilayah Aceh memiliki bendera yang beragam. Baca: Bagaimana Bendera Aceh Tempo dulu, dimana sistem monarki setiap wilayah memiliki adat dan bendera khas masing-masing, seperti bendera Trumon, Tapak Tuan, Nalaboh (Meulaboh), Samalanga dan lainnya. Bendera tersebut menjadi tanda kedaulatan secara geografis dan kekuasaan.

Bendera Aceh dengan latar belakang merah lebih dominan di wilayah Aceh pantai utara dan timur, sepanjang Selat Malaka. Sedangkan wilayah Barat Selatan Aceh atau di laut lepas India didominasi warna biru.

Bendera Aceh dengan latar belakang warna merah dan gambar pedang disertai bulan bintang seperti ini secara umum dikenal sebagai tanda bendera perang. Dan lebih lama digunakan selama perang dengan Belanda, sebab perang tersebut merupakan era terpanjang bagi Belanda dalam menjajah wilayah-wilayah yang ada di Nusantara.

Bendera yang menggambarkan pedang bermata dua, dua bulan sabit (crescent) dengan di bawah dua bintang sembilan yang berbeda dengan bintang Turki dan bintang yang digunakan sekarang, bintang lima sudut. Namun, tetap saya ada hubungan Aceh dengan Turki, sebab Aceh merupakan salah satu daerah pertama Islam di kepulauan Melayu Nusantara (Indonesia) dan memiliki hubungan erat dengan Kesultanan Ottoman, Turki.



Bendera di atas adalah koleksi Tropen Museum Belanda dengan nomor koleksi TM-674-730. Bendera dengan ukuran 80 x 159 cm (35 1/16 x 62 5/8 inc) yang ditemukan sekitar tahun 1916 di daerah Calang, Aceh Jaya.

Aceh Jaya merupakan salah satu wilayah basis pertahanan Aceh yang langsung berhadapan dengan pintu masuk Selat Malaka. Banyak sejarah dan peran Aceh Jaya ini pada masa dulu tidak tergali, padahal ini menjadi salah satu basecamp pejuang Aceh dan jalur singgah antara Banda Aceh (Kutaradja) dengan Melaboh, Trumon, Singkel dan sebagainya.

Bendera, termasuk warna merah dan ilustrasi di dalamnya hampir mirip dengan bendera Ottoman yang juga memiliki gambar bulan sabit dan bintang lima. Merah dalam filosofi Islam dan umumnya dimaknai sebagai keberanian, dan disini menjadi penting bagi kekuatan militer.

Sedangkan dua pedang saling berkait yang dikenal dalam sejarah Islam sebagai pedang Dhul Faqqar (Zulfaqar) -sebagian di Indonesia menyebut Zulfikar- yang dimiliki oleh Sayyidina Ali bin Abi Thalib, dalam konteks ini Sayyidina Ali adalah salah seorang pemberani, khalifah dan sekaligus penerus perjuangan Nabi Muhammad.



Namun dalam konteks Aceh, gambar pedang di atas dapat disimbolkan dengan rencong (rincöng) Aceh, dapat dikategorikan dengan Rencong Hulu Puntong, Rencong Meucugék ataupun Rencong Meupucôk. Artinya, rencong menjadi salah satu senjata tradisional yang digunakan sebagai bentuk kewibaan, kekhassan dan kepahlawanan. Namun pada zaman kini, rencong hanya jadi barang souvenir.

Lebih jauh, dalam literatur Islam, bendera memiliki sebagai nilai ganda, yaitu sejarah dan agama. Kini pertanyaannya, apakah bendera di Aceh sebenarnya memiliki nilai-nilai tersebut.

Sejarah Retorik Bangsa Melayu Bersatu.


Selama bertahun-tahun saya sering dengar tentang bangsa Melayu tidak bersatu. Selama bertahun-tahun jugalah saya mencari jawapan apakah benar Melayu ini tidak bersatu? atau apakah retorik dan laungan yang berkoar-koar daripada pejuang Melayu?

Akhirnya alhamdulillah selepas 10 tahun mencari jawapan dan dibuka hijab pengetahuan saya oleh Allah maka bertemulah saya pada jawapan itu. Suatu masa dulu kita digemparkan dengan isu ketegangan kaum
yang apinya tidaklah sebesar mana tapi kalau dibiar mahu juga membakar jiwa dan nyawa.
Oleh itu saya mulakan pengkajian saya dengan kaum Cina tahun lepas melalui buku saya iaitu Naga Selatan. Bukunya biasa-biasa saja tapi pada saya sepanjang menelaah penulisan-penulisan dari bangsa Cina sendiri, mereka juga menghadapi masalah ketidaksatuan yang sama seperti Orang Melayu cuma skop kebersatuan itu lebih internasional, tersembunyi dan tidak diketahui.

Jadinya selepas saya faham 30% daripada sejarah kaum Cina ini saya teruskan pula dengan kajian kedua saya sekarang yang bertajuk (Perang Melayu-Siam, InsyaAllah siap Julai nanti). Masih lagi berteraskan skop kajian yang sama iaitu tentang politi dan sosiologi kaum Cina pada abad ke 19 saya menemui dimana kebersatuan kedua-dua bangsa ini dan apakah persamaan diantara kita dan mana-mana bangsa dalam dunia ini.

Isu tidak bersatunya Melayu ini sudah berkumandang sejak zaman Melaka lagi apabila tidak disangka sebuah empayar yang paling kuat berjaya dialahkan oleh Barat, begitulah pula halnya pada zaman Perang 3 segi pada abad ke 17 dan kemudiannya Perang Melayu-Siam pada abad ke 19.Jadi apa yang terpapar selama ratusan tahun ini ialah tidak ada lansung kesatuan diantara orang Melayu. Hakikatnya kita lupa bahawa yang mencorakkan sejarah kita adalah penjajah itu sendiri. Jarum halus yang tertanam di minda Melayu terus dibenam kepada generasi-generasi seterusnya.
Bila bercakap soal penjajah semua orang tak suka dan marah tapi dalam tak sedar ramai juga yang mengiyakan percakapan dan perbuatan penjajah keatas kita. Sebenarnya soal ketidaksatuan ini berlaku dalam semua bangsa di dunia sebagai contohnya Komunis v Kuomintang, Hindi v Tamil, England v Ireland, Parsi v Arab dan banyak lagi contoh yang kita harus lihat. Namun sayangnya ramai yang tak pernah membuat perbandingan antara semua tamadun ini. Apa yang dipandang ialah kejayaan-kejayaan tamadun ini pada masa lalu. Mungkin juga perkara ini tertanggung didalam kajian kemanusiaan maka ia dianggap tidak penting.

Maka dengan sikap ahlul Melayu itulah yang menyebabkan kita sering menganggap perpecahan Melayu tidak berkesudahan. Sepanjang saya membuat kajian ini sudah terbukti Melayu itu akan bersatu apabila diganggu gugat oleh bangsa lain. Contohnya pada tahun 1831 sebanyak 7 negeri Melayu telah membantu angkatan Kedah melawan Siam, pada tahun 1818 sebanyak 5 negeri telah membantu Perak menentang pakatan Kedah-Siam. Begitulah halnya pada zaman PKM dan 13 Mei. Ini bukti yang menjelaskan bahawa kesatuan itu wujud bak pepatah carik-carik bulu ayam pasti bersambung jua.
Orang-orang Cina juga tidaklah bersatu dalam bangsanya sendiri kerana mereka ada beribu-ribu jenis kongsi gelap, beribu-beribu maharaja dan berpuluh-puluh dinasti pula. Samalah seperti tamadun India dan apa jua tamadun di dunia ini. Cuma kita Orang Melayu saja yang tak sedar diri.
Seharusnya kita berusaha menolak dakyah-dakyah yang mengatakan Melayu ini tidak bersatu tidak kira dari siapa pun walaupun dari bangsa kita sendiri. Bangsa Melayu pasti bersatu dengan caranya sendiri. Tak perlu suruh dan tak pelu laung-laung. Bila tersepit tahulah dia mencari jalan. hehehe..
Ingat! Masalah otak manusia itu sama tak kiralah bangsa apa pun yang membezakan ialah sejauh mana kita mampu mencorakkan bangsa kita sendiri dengan warna dan tangan kita sendiri!

Maralah Bangsaku Dengan Ilmu!
-MHR-

Manuskrip Isra Mikraj: Abu Bakar vs Abu Lahab

Pasca kepulangan Rasulullah dari Isra dan Mi’raj tersebut, ia menceritakan peristiwa Isra dan Mi’raj di hadapan kaum Qurays Mekkah. Di antara yang hadir adalah Abu Bakar dan Abu Lahab, dua tokoh penting saling berseberangan keyakinan hadir ditengah jamaah pagi tersebut.

Rasulullah mengungkap segala bukti yang terjadi pada dirinya dan kejadian yang sedang berlangsung di pagi hari, Abu Bakar yang telah masuk Islam merupakan salah seorang yang pertama percaya terhadap peristiwa di luar nalar manusia, ia pun kemudian digelar as-shiddiq.

Sebaliknya, Abu Lahab menangkal semua peristiwa tersebut dan dianggap sebagai cerita dongeng Muhammad. Maka Allah melaknat Abu Lahab dengan surat al-Lahab. Bahkan ia mengajak orang-orang Qurays untuk ingkar kepada peristiwa Isra Mi’raj tersebut, perselisihan antara pro vs anti Islam semakin membara, boikot ekonomi, kekerasan terhadap muslim, hingga pembunuhan terhadap orang-orang yang baru masuk Islam.

Kini, di era modern, dua kubu ini terus mengalir pengikunya dengan beragam argumentasi, satu kubu berada di pihak Abu Bakar yang meyakini peristiwa itu terjadi secara nyata, dan di kubu lainnya pengikut Abu Lahab yang mengingkarinya.

source: http://aceh.tribunnews.com/2016/05/05/manuskrip-isra-miraj-tour-teristimewa-rasulullah?page=3

Baca juga: Manuskrip Isra Mikraj: Tour Teristimewa Rasulullah

Manuskrip Isra Mi'raj: Shalat Kado Spesial


Kado istimewa yang diterima Nabi dalam Isra dan Mi’raj adalah perintah shalat lima waktu sehari semalam, itu merupakan merupakan kado spesial yang diterima Nabi Muhammad. Beberapa riwayat hadist menyebutkan peristiwa perintah ini diterima Nabi langsung dari Allah.

Shalat wajib merupakan kunci surga, ia tidak dapat diwakilkan, tidak dibadal ataupun dibayar dengan apapun. Shalat juga sebagai wujud tunduknya seorang hamba kepada Sang Khaliq, shalat juga merupakan simbol kerukunan dan persatuan ummat Islam, sekaligus ia penangkal dari perbuatan keji dan mungkar. Menurut Nabi, ibadah ini memiliki rahasia inti yang dapat diungkapkan oleh orang-orang yang khusuk dan tidak lalai akan shalatnya.

Pada masa Rasulullah dan Khalifah Rasyidin menunjukkan persatuan ummat Islam yang cukup kuat, terjalinnya ukhuwah dan persaudaraan antara kaum Anshar dan Muhajirin, orang Arab dan ‘Ajam. Setiap khilafiyah (perbedaan) diselesaikan secara berjamaah dan bersama-sama, seiring sejalan seperti gerakan jamaah shalat yang mengikuti Sang Imam.

Maka wajar apa yang disebut dalam naskah “Rahasia Shalat” bahwa “Itulah yang sebenar2 sembahyang hai ya ikhwan. Takoeh buloeh ikat panjoe # Mangat meuri jrat auliya. Wajib bak insan mengenal droe # Mangat taturi haq Ta'ala”.

Sayangnya, kini sebagian ummat Islam belum mampu memahami nilai-nilai ibadah dan sosial (ukhuwah Islamiyah) yang terkandung dalam shalat. Terjerumus dalam persoalan khilafiyah furu’iyah dan kepentingan kelompok dalam “kapling surga” sehingga mengabaikan ukhuwah Islamiyah sesama mukmin. Padahal para Khulafa Rasyidin, Tabi-tabi’in dan para Imam-imam pasca wafatnya Rasulullah telah menunjukkan sikap kerukunan dan toleransi antar sesama.




Source:  Opini Serambi Indonesia 5/5/2016

Manuskrip Isra Mikraj: Tour Teristimewa Rasulullah

RAJAB merupakan bulan mulia di sisi Allah. Di dalam bulan ini terjadi peristiwa penting pada masa hidup Rasulullah, yaitu Isra dan Mi’raj. Isra dan Mi’raj adalah dua bagian dari perjalanan yang dilakukan Nabi Muhammad dalam waktu satu malam saja.

Isra merupakan peristiwa “diberangkatkan” Nabi Muhammad oleh Allah dari Masjidil Haram Mekkah ke Masjidil Aqsa Jarussalem Palestina. Sedangkan Mi’raj peristiwa Rasulullah dinaikkan ke langit dari Masjid Al-Aqsa.

Jumhur ulama dan sebagian sejarawan Muslim menyebutkan bahwa peristiwa penting tersebut terjadi pada bulan Rajab setahun sebelum hijrah Nabi ke Madinah. Menurut riwayat perjalanan beliau menggunakan kendaraan buraq, ditemani oleh Jibrail dan para malaikat lainnya.
Dari tempat kiblat pertama ini nabi dinaikkan ke langit, sebagian rawi menyebut batu pijakan Nabi saat naik seakan juga ingin ikut terbang bersamanya, dan kini ia menjadi saksi kehadiran manusia paling mulia di tanah para Anbiya.

Ini merupakan paket “tour” teristimewa yang diterima Rasulullah, dan dapat menyaksikan langsung tentang surga dan neraka serta segala kehidupan di luar naluri dan pikiran manusia. Keistimewaan tersebut hanya diberikan kepada nabi terakhir di saat hatinya berduka paska meninggal Abu Thalib dan istrinya Khadijah, dua tokoh yang membantu nabi dari rongrongan kaum Qurays selama di Mekkah.
Dalam masyarakat Aceh dan Nusantara, peristiwa Isra dan Mi’raj merupakan cerita umum dan menjadi santapan wajib bagi para pelajar. Ia memiliki banyak hikmah dan pelajaran di dalamnya, mulai dari perjuangan Rasulullah hingga kasih sayangnya kepada ummat Islam.

Dalam kehidupan masyarakat Aceh, kisah Hikayat Isra dan Mi’raj menjadi bacaan penting pada bulan Rajab oleh para tengku dan da’i di Aceh. Hal tersebut diungkapkan dalam pendahuluan teks manuskrip Hikayat Mi’raj koleksi Museum Aceh “barang siapa membaca dan mendengar Hikayat Mi’raj Nabi maka ia berpahala dan akan diampuni dosanya”. Sebaliknya, “barang siapa tiada percaya akan peri bagi Mi’raj ini bahwasanya orang itu menjadi kafir”.

Naskah Hikayat Mi’raj ini bukan sebuah dongeng kepada anak-anak, tetapi hikayat tersebut ditulis dalam bahasa Jawi (Melayu) disertai dalil-dalil kuat dari al-Qur’an dan Hadits. Tidak ketinggalan disertakan atsar para sahabat akan peristiwa tersebut.

source: http://aceh.tribunnews.com/2016/05/05/manuskrip-isra-miraj-tour-teristimewa-rasulullah?page=2

Baca juga: Manuskrip Isra Mikraj: Abu Bakar vs Abu Lahab

Bendera Aceh (2) di Denmark


Bendera Aceh bukanlah sebuah polemik besar bagi setiap orang yang mengetahui sejarah Aceh. Sebab, sejak era Kesultanan Aceh sudah memiliki bendera, hal tersebut dapat ditelusuri dari berbagai sumber sejarah Aceh di luar negeri. Bendera-bendera di atas, misalnya, adalah hasil sketsa seorang Belanda yang bertugas di Aceh era perang Belanda dengan Aceh antara 1873-1945 yang menunjukkan bendera tersebut telah digunakan, bahkan untuk kerajaan-kerajaan kecil.

Selain bendera sketsa Belanda itu, hasil penelusuran leinnya juga ditemui oleh KMPD (Komite Monitoring Perdamaian dan Demokrasi) perwakilan Eropa dan ASF di Denmark yang menemukan ratusan khazanah kejayaan masa lalu Aceh (Atjeh) yang tersimpan di Museum Nasional Denmark (Nationalmusset) di København. Peninggalan Aceh zaman dahulu tersimpan di dalam gedung istana lama yang sangat besar.

Hasil usaha KMPD dan ASF sangat membanggakan dan memberikan informasi yang lebih, bahwa terdapat selembar Bendera Kedaulatan (Kesultanan) Atjeh di antara tahun 1850-1900. Bendera berlatar warna merah, dihiasi dua peudeung (pedang), tiga titik di antaranya, dan bulan bintang bercahaya delapan, bintang dan dua pedang.

Bendera Aceh koleksi Museum Nasional Denmark

Jika dilihat lebih lanjut, bendera versi Belanda dengan koleksi museum Denmark hampir memiliki kesamaan pada gambar Belanda paling bawah kanan. Kemiripan pada latar belakang warna bendera dan dua pedang saling berhadapan dengan ujung mengarah keluar.

Sejauh ini, bendera Aceh dengan motif pedang biasanya digunakan pada saat perang di kapal-kapal perang Aceh. Jika demikian, bendera itu sudah digunakan pada era kolonial Belanda (1873) atau sebelumnya saat-saat genting Aceh sebagai sinyal diplomasi politik dengan negara-negara berdaulat khususnya di Eropa.


Menurut Bente Wolff, kepala bagian India, Asia Tenggara dan Oceania di koleksi etnografis, Museum Nasional di København tersebut tidak kurang 140 barang antik bersejarah yang sangat bernilai berasal dari Aceh. Selain bendera di atas, terdapat juga selendang dan celana berbenang emas, perisai, kain kepala, topi dan kalung, anting-anting dan rem dari perak, batang rokok dan bungkusnya,tembakau dan gunting, tikar yang berdesain indah dan penutup makanan dibuat dari daun pisang dan kertas berwarna cerah, lampu berhiasan burung kecil, serta pisau perak. Koleksi barang-barang etnografis itu dikumpul oleh penjelajah, pedagang, antropolog atau pelayar yang membawa barang-barang dari Aceh.

Peninggalan tersebut merupakan kekayaan warisan sejarah dan peradaban Aceh. Tentu, pemerintah Aceh harus memiliki "hati" untuk membuka matanya menidaklajuti kajian-kajian pada warisan yang telah disimpan oleh Museum Denmark dengan baik hati.

Harapan itu juga tersirat dari Bente Wolff yang menaruh harapan "akan lebih baik kalau pribumi dari negara asal barang di koleksi etnografis melihatnya dengan mata sendiri". Tentu harapan tersebut sebagaimana dilakukan negara-negara yang terus meneliti dan mengkaji berbagai warisan di dunia dan menjadikan negeranya sebagai sentral ilmu pengetahuan. Kini, Pemerintah Aceh harus berbenah dari "kolotnya pola pikir" terhadap warisan indatu, tidak hanya slogan pemanis mulut apabila ingin memajukan Aceh ke arah yang lebih baik [].

Dikutip dari berbagai sumber:
- Tarmizi Age (Mukarram)
National Museum of Denmark
- Bendera Aceh di Museum Nasional Copenhagen Denmark
- 10 Negara Eropa yang menyimpan peninggalan Indonesia (I)

2016, Aceh Tahun Jampok


Masyarakat di belahan dunia menganggap bahwa setiap tahun memiliki istilah-istilah tertentu. Sebagian menyebut "zodiak" yang digambarkan dalam bentuk nama-nama hewan atau bentuk lainnya. Di China, atau Korea dan beberapa negara lainnya memiliki tradisi lebih kental, misalnya menyebut tahun Naga, atau dengan istilah lainnya, seperti Harimau, Kerbau, Tikus, Kuda, Domba, Ayam, dan sebagainya. Setiap istilah memiliki makna tertentu yang berlaku silih berganti selama dua belas simbol (disesuaikan dengan dua belas bulan).

Sebagian lainnya menamai tahun-tahun tersebut sesuai kejadiannya, misalnya di Jazirah Arab, di Mekkah al-Mukarramah pada tahun kelahiran Nabi Muhammad disebut Tahun Gajah. Istilah tersebut karena pada tahun tersebut Raja Abrahah al-Asyram dari Bani Gassan di Hirah Yaman dengan ratusan pasukan gajah dan ribuan bala tentaranya ingin menghancurkan Ka'bah. Namun, Allah menyelamatkan Ka'bah dan Mekkah. Maka tahun itu masyhur dengan istilah Tahun Gajah, padahal sejarawan sudah menemukan dan sepakat tahun itu bertepatan dengan 570 masehi.

Di Aceh, tahun 2004 lebih dikenal dengan tahun Gempa Tsunami, sebab masyarakat mengenangperistiwa bencana tersebesar sepanjang sejarah abad ke-20 dan 21 tersebut. Dan setahun kemudian, 2005 disebut tahun MoU Helsinki, karena pertengahan Agustus antara GAM dan Pemerintah RI sepakat bersalaman dan damai. Begitu seterusnya, setiap kejadian (momen) penting dan besar di tahun tertentu akan dikenang dan menjadi simbol tahun tersebut

Menghadapi tahun 2016, melihat fenomena Aceh kedepan, di saat persatuan semakin rapuh, saling membantu semakin jauh, orang tua dan guru berubah jadi buruh, mufakat dan musyawarah semakin lumpuh, anak yatim dan fakir miskin mati bersimpuh, ulama bukan lagi tempat berteduh, pemimpin sombong menjadi angkuh, kaya dan takabur menjadi teguh. Maka fenomena itu terjadi, saya lebih menyebutnya "Tahun Jampok".

Jampok adalah sejenis burung hantu (English: Owl). Dalam "Hikayat" bahasa Aceh, Jampok diidentikkan dengan sifat tidak baik. Ini berawal dari kisah Nabi Sulaiman saat memilih pemimpin di "Negeri Cicem", Di mulai saat "Ma Jampok" dengan tiba-tiba menunjuk "Aneuk Jampok" menjadi raja, hingga akhir ceritanya memilih seseorang sesuai keahliannya. Banyak hikmah dan pelajaran dalam haba jameun (cerita zaman) Aceh ini.

Deungo lon kisah khabaran jameun
Masa keurajeun Nabi mulia
Masa keurajeun Nabi Sulaiman
Yang mat hukuman ban sigom donya

Nibak Siuroe Nabi Jak Meu en
Ka dengon angen sajan seureta
Ka Nabi neuduk ateuh kursi
Angen bapoet lee ban siklep mata

'Oh ban saree troh bak saboeh tempat
Geumusyawarah geu beuk boeh raja
Nabi neutanyong bak mandum ciceem
Toeh saree kateem lon bouh keu raja

Seuot po Jampok Hai Tuanku Ampon
Nyoe pat sigam lon neuboh keuraja
Seubab Sigam long rupa that ceudah
Lagi ngen hebat meubulee mata

Mata jih bulat babah meukuweit
Cukop meusaheet sigam keuraja
Nabi Sulaiman masa nyan meuseuheh neukhem
Dum cicem laen surak meubura

Teuma jiseuot Burong Keutok-tok
Meuhanjeut Jampok bah lon keu raja
Seubab di ulon nyoe na meupiyasan
Long peh canang prang oh malam jula

Lheuh nyan jiseuout Tok-tok Beuragoe
Hana meusoe-soe taboh keu Raja
Seudangkan di lon kupiah Beusoe
Hantom siuroe lakee keu Raja.

Teuma jiseuout Beurujuk Balee
Han kuteem banlee Jampok keu raja
Hana meusoe-soe ka tajak lakee
Golom meuteuntee tajak peutaba

Saweub digobnyan leuthat piyasan
Geupeeh ngen geundrang oh malam jula
Ngon Ciceem Got-got Geumeu en Geudrang
Leupah that garang karu ngen subra

Laju jiseuout si ciceem Enggang
Leupah that garang meunyoe jih keu Raja
Ampon Tuanku Saidil Ambiya
Galak lon raya gob nyan keu raja

Ciceem kakirouh nyang na di sinan
Nabi Sulaiman teukheem lagoina
Apa Jampok yoh nyan kamalee muka
kaleupah haba nariet jipuga

Di cicem Pala jigroep-groep lamboeng
di Cicem Buroeng surak meubura
Beurujuek Balee surak di sampeng
Cicem keureuleng sama-sama

Leumpah that malee ji apa Jampok
Teuduk meuseupok beu blek-blek mata
Malee ji that-that ka deungon rakan
Hana meu'oh ban cukop that gura

Teuma jidamee uleh Keudidi
Si Rajawali tabouh keu raja
Cicem Dama Peudana Meuntri
Beurujuk Campli Keupala Teuntra

Leuk Bangguna taboh keu Meuntri
Keupala negeri nyoe Ciceem Dama
Kleung Puteeh Ulee jeut Polisi
Si Mirah pati jeut keu wedana

Keu Peuneurangan po ciceem Tioeng
Nyang mat hukom Po ciceem Pala
Tok-Tok Beuragoe geuchiek gampong
Ciceem Keucuboeng keu ureung Ronda

Di cicem Tuloe jeut keu Peunerangan
Cicem Rajangan boeh keu Panglima
Di cicem Bubruk taboeh mak Bidan
Seubab gobnyan geukuwa-kuwa

Semoga hikayat "Aneuk Jampok" dapat menjadi pelajaran dalam hidup kita.

Ayo rileks sambil mendengar lagu-lagu "Jampok"



Indahnya Manuskrip Maulid Nabi di Aceh


Naskah-naskah yang berkaitan dengan selawat dan puji-pujian kepada Nabi Muhammad saw yang terdapat di Aceh mayoritasnya akan dihiasi dengan iluminasi dan ilustrasi yang indah. Kecantikan seni tersebut menghias teks-teks yang memuji keagungan seorang Nabi terakhir. Biasanya, hiasan tersebut ditempatkan pada awal-awal halaman dan di akhir sebagai penghormatan dan kemuliaan kepada Nabi Muhammad saw yang paling mulia. Hal senada juga banyak (lebih konsisten) dijumpai pada mushaf-mushaf Aceh dan Nusantara.


Nabi lahir pada malam Senin, atau Senin pagi sebelum Subuh tanggal 12 Rabiul Awal bertepatan pada Tahun Gajah (570 Masehi). Ini adalah pendapat paling sahih yang merujuk pada pendapat Ibn Ishaq dan jumhur yang lainnya. Nabi mulia dilahirkan di Mekkah, di rumah kakeknya, Abdul Muthallib, pada saat itu Siti Aminah sejak meninggal suaminya Abdullah (ayah tercinta nabi Muhammad) dan selama ia mengandung dirawat di rumah kakeknya.

  


Dikenal tahun Gajah sebab pada tahun tersebut, Pimpinan besar Abrahah al-Asyram berasal dari Bani Gassan telah membangun satu peribadatan yang indah dan cantik di Hirah Yaman untuk dapat menarik simpati luar melaksanakan ibadah tahunan di sana. Namun sayang, hal itu tidak membuat masyarakat luar tertarik ke sana, dan  tetap berkunjung ke Mekkah dalam melaksanakan haji sebagai peribadatan tahunan. Abrahah berang, dan ingin menghancurkan Ka'bah di Mekkah. Sebagian riwayat menyebut ini terjadi 2 bulan sebelum kelahiran Nabi, sebagian menyebut hanya beberapa minggu, dan lainnya berpendapat ini terjadi pada waktu-waktu Siti Aminah akan melahirkan.


Pada hari ketujuh kelahiran Nabi, sang kakek Abdul Muthallib menyembelih unta dan mengundang masyarakat Mekkah sebagai acara syukuran (aqiqah) makan bersama. Dan memberitakan kepada masyarakat Mekkah bahwa cucunya diberi nama Muhammad, sedangkan ibunya menamainya Ahmad, yang keduanya berarti terpuji. Masyarakat Mekkah pun bertanya-tanya mengapa ia tidak suka memakai nama nenek moyangnya yang sudah mentradisi di bangsa Arab saat itu. "Aku ingin dia (Muhammad) menjadi orang yang terpuji (Ahmad) bagi Tuhan yang di langit, dan (Muhammad) bagi makhluk-Nya di bumi". jawab Abdul Muthallib.



Hadirnya naskah-naskah kuno (manuskrip) yang dihiasi indah beragam hiasan menunjukkan kecintaan para orang-orang terduhulu dan menjunjung kelahiran dan kehidupan Nabi dengan teks-teks selawat kepada Nabi, biasanya teks-teks seperti Dalail al-Khairat, Selawat Nabi dan Barzanji lainnya akan menghiasi indahnya tulisan-tulisan pujian tersebut.

        


Allah telah menujukkan bukti Nabi terakhir, Rasul paling mulia, pemberi syafaat kepada mukmin di akhirat, dan telah diakui oleh Nabi-nabi sebelumnya akan keberadaannya, serta telah diungkapkan dalam kitab-kitab Taurat, Zabur dan Inzil. Di atas semuanya, terpenting mengikuti seluruh sunnah Nabi, berpedoman pada sirahnya, dan selalu bersalawat dan memujinya setiap saat tanpa terbatas oleh dinding perayaan maulid.


Tamma.

Bagaimana Bendera Aceh Tempo Dulu


Kerajaan Aceh yang gemilang dalam lintas sejarah Melayu Nusantara sejak abad ke-16 hingga bergulir ke pertengahan abad ke-20 masehi, dan meninggalkan banyak tanda tanya, salah satunya bendera Aceh. Saban hari, isu bendera menjadi polemik dan bergelinding semakin membesar. Tidak hanya membesar karena digelinding dalam ranah politik Aceh sekarang, tetapi juga dalam prioritas kepentingan "kesejahteraan" pasca damai Aceh, dan tentu juga dalam lingkaran sejarah Aceh.

Hasan Tiro mengakui beberapa tambahan dalam bendera versinya, tujuannya bendera yang dibuatnya untuk "Aceh Merdeka", dan itu artinya ia salah seorang yang tahu sejarah tentang bentuk bendera Aceh pada awal Kesultanan dan era kolonial Belanda.

Bendera secara filolofis merupakan hal penting yang tidak terlepas dari simbol kedaulatan, geografis dan patriotisme. Namun, tentu bendera tidak serta mensejahterakan masyarakatnya, bahkan untuk sebuah negara yang merdeka sekalipun atau negara yang kaya bukan tergantung pada bendera. Namun, bendera juga dapat membuat makhluk yang diberi pikiran tidak mampu berpikir, dan juga tidak sedikit yang terharu dan menangis saat kain selembar itu berkibar.
Museum voor Volkenkunde, Leiden

Dalam riwayat sejarah Kesultanan Aceh memiliki bendera tersendiri, beberapa riwayat bendera sesuai dengan situasi dan kondisi negara (kesultanan) ketika itu. Bahkan beberapa kerajaan kecil di bawah otoritas Aceh memiliki bendera sendiri, seperti Kerajaan Samalanga, Kerajaan Tapak Tuan dan Kerajaan Trumon. Bahkan terdapat juga bendera perdagangan (handel) Nalaboe. Kata Nalaboe merupakan nama awal yang kini berubah menjadi Na Laboeh, dan Meulaboh.

Baca lainnya:

Anak Harimau Patah Taring


Harimau Malaya

Sebetulnya ramai orang sudah memperkatakan tentang Orang Melayu. Dari bahasanya hinggalah falsafah hidupnya seorang Melayu itu. Namun yang sentiasa tidak lepas dari hati dan jiwa orang Melayu itu ialah mundurnya Melayu dari dulu hingga kini. Benarkah Melayu itu bangsanya mundur? Teruk sangatkah bangsa Melayu hari ini? Dalam konsep feudal dan konservatif Orang Melayu sejauh mana kefahaman mereka tentang konsep penyembahan dan kuasa Sultan serta sejauh mana konsep-konsep ini dipelihara. Hari ini dimana-mana lapangan orang berkata bila seorang Melayu itu berusaha mempertahankan dan menegur bangsa dan Sultannya dia akan di “tanda” sebagai orang kiri, orang yang menderhaka, orang yang tidak kenang budi dan bermacam-macam gelaran lagi. Tapi apakah mereka ini tahu akan maksudnya menjadi seorang penentang? Kenapa harus dikaitkan dengan politik? Apakah selama ini orang Melayu makan tidurnya dengan politik? Apakah tuju fikir orang melayu itu semata-mata politik? Apakah dengan politik itu orang Melayu menjadi kaya,aman dan makmur?.

Tentangan yang bagaimana harus ditunjuki agar Orang melayu menerima teguran itu? Sebagai contohnya kisah Hang Jebat, sehingga hari ini beliau dianggap sebagai penderhaka oleh sesetengah pihak namun pernahkan dalam ucapannya mengatakan “Aku mahu jadi Sultan”, “Aku mahu Melaka ini jadi milikku”, aku mahu itu aku mahu ini.. pernahkah?

Mari kita soroti semula 2 skrip lakonan yang pernah diucapkan oleh watak Hang Jebat:


Nordin Ahmad
Add caption

Didalam skrip lakonan Nordin Ahmad katanya; “Aku tak mahu disembah... aku cuma mahukan keadilan... ya keadilan demi Tuah” dan jika didalam skrip lakonan Ahmad Mahmud katanya “Raja adil raja disembah, raja zalim raja disanggah dan aku sanggup mati demi menuntut pembelaan”. Maka apakah konsep sebenar Melayu yang membangkang? Apakah untuk kepentingannya sendiri? Apakah demi kepentingan masyarakatnya? Atau apakah egoisme manusia yang punya kuasa tidak suka ditegur oleh orang kelas bawahan? Kita harus jelas dalam membezakan “teguran sayang dan teguran benci” Disatu sudut tidak ramai kita dapat menerima sesuatu teguran itu samada halus atau kasar. Maka kekallah Hang Jebat sebagai penderhaka begitu jugalah Laksamana Bentan dan Hang Nadim.

sulalatus salatin
Add caption

Pada abad-abad berikutnya sewaktu kemasukan British ke negeri-negeri Melayu, terdapat beberapa penentangan yang dilakukan oleh para pembesar Melayu. Tidak dinafikan salah satu faktor penentangan mereka disebabkan kehilangan kuasa dan pangkat dan paling utama sekali ialah hilangnya hak untuk mengutip cukai. Banyak pihak mempersoalkan tentang faktor ini. Namun apakah mereka salah? Jika kita sendiri di tempat mereka apakah kita juga akan berdiam diri? Bolehkah kita terima pekerjaan kita yang selama ini yang telah menampung pendapatan keluarga dan diri sendiri dirampas orang lain? Sudah pasti tiada siapapun dapat menerima keadaan ini. Persoalannya dimanakah para Sultan pada waktu itu?, didalam sejarah bangsa Melayu hanya disebut 3 orang Sultan sahaja yang mati menentang dan terbuang iaitu Sultan Abdullah (Perak) ,Sultan Ahmad Tajuddin (Kedah),Yamtuan Antah (Negeri Sembilan) dan Raja Haji Fisabillillah (Riau).

Dimana pula Sultan-sultan yang lain pada waktu itu?. Mengapa mereka sendiri yang tidak mengetuai serangan dan pertahanan sewaktu diserang? Bukankah peribahasa kepimpinan adalah melalui tauladan? Dimana-mana penulisan oleh sesiapapun dari apa jua bangsa bersetuju bahawa Orang Melayu lah bangsa yang paling taat kepada Sultannya dan sanggup mati jika dititahkan. Tapi dimana peranan Sultan pada waktu itu? Derhakalah walau apa cara sekalipun namun rakyat Melayu tetap “berdatang sembah ke Bawah Duli Tuanku”. Akhirnya kita dimomokan supaya berserah kepada takdir dengan mengatakan “Apa boleh kita buat, ALLAH sudah tentukan perkara itu berlaku maka terimalah seadanya” namun bukankah Allah juga berfirman “Nasib bangsa itu diubah oleh dirinya sendiri".

Maka falsafah sedemikian amat bersesuaianlah dengan kata-kata Zaaba didalam bukunya Falsafah Takdir yang mengatakan;

“Orang Melayu dengan sedikit usaha amat mudah berputus asa, tidak sabar dan lemah jiwanya apabila memikirkan keadaaan sekelilingnya. Maka dengan mudah orang Melayu berserah kepada takdir dengan mengatakan “apa boleh buat ini sudah suratan takdir”. Namun tidak sedarkah mereka dengan usaha mereka yang sedikit itu mereka telah menyalahkan Allah Taala?. Falsafah yang sebegini harus diubah untuk kemajuan bangsa di masa-masa hadapan bukan mengharapkan semuanya datang bergolek”.

Zaaba
Add caption

Sejujurnya bukan saya bermaksud untuk mempertikaikan atau mencabar kedudukan Sultan hari ini. Semua dari kita ada pilihan dan kedudukan masing-masing. Apakah bila seorang pengutip sampah tidak mengutip sampah kita menyalahkan semua pihak yang berkait dengan sampah itu? Bukankah kita seharusnya bersama-sama berganding bahu membersihkan sampah-sampah itu? Kebersihan dan keindahan sesuatu tempat itu bergantung kepada kekuatan dan keutuhan semua pihak. Inilah yang dikatakan “Bersatu Teguh Bercerai Roboh”. Maka apakah dengan saling menyalahkan antara satu sama lain akan menyelesaikan masalah?. Jika Sultan lupa,biarlah rakyat yang mengingatkan jika rakyat yang keliru,Sultan lah penunjuk jalan keluarnya. Anak-anak Melayu tetap setia dan taat Kebawah Duli Tuanku biarpun nyawa jadi taruhan anak Melayu tetap bersama Tuanku.

Namun anak Melayu juga berhak memberikan pendapatnya dalam menegur tindak tanduk Sultannya seperti mana yang pernah dikatakan oleh Abdullah Munshi didalam bukunya “Kisah Pelayaran ke Negeri Kelantan” mengatakan:



“Beringatlah Tengku, pada hari kemudian akan ditanya Allah Taa’la akan segala hal rakyat, Tengku akan mula-mula masuk neraka sekiranya ia berlaku zalim kerana Raja itu dihadapan rakyatnya dan yang masuk syurga dahulu adalah raja-rajanya yang adil dan saksama. Janganlah Tengku kira bahawa Raja itu terlebih mulia dan terlebih besar dari rakyatnya kerana semuanya adalah hamba Allah Taa’la. Tujuan yang sebenarnya dijadikan Allah itu seorang Raja bukanlah bertujuan untuk berbini banyak,membunuh orang sesuka hati atau mencari harta tetapi tidak lain dan tidak bukan iaitu untuk memelihara manusia agar tidak dianiaya oleh orang lain. Maka oleh sebab itulah setiap Raja dan Orang Besar perlu menyimpan Tajus Salatin agar dapatlah ia belajar daripada yang berilmu, menilik dirinya setiap hari dan menerima segala nasihat orang alim supaya Tengku dapat mengetahui segala hal Raja samada ia adil atau zalim”

Manusia itu tidak sempurna fitrahnya, maka para Sultan dan rakyat perlu berganding bahu dalam membina kekuatan tamadun bangsa walaupun kadangkala sesuatu tindakan itu bersifat sementara. Baik dan buruknya sesebuah sejarah itu haruslah ditelan dengan sekuat hati dan diterima dengan berlapang dada. Sesungguhnya dalam kehidupan tiada yang kekal manis dan gembira selamanya. Lidi sebilah bisa patah kalau segenggam ia kuat. Begitulah kita bangsa Melayu walaupun kecil jika semuanya berganding bahu tanpa bersikap prejudis antara satu sama lain dengan izin Allah kita boleh menjadi satu bangsa yang disegani oleh kaum lain. Sultan itu payung bangsa tapi yang memegang payung itu adalah rakyatnya. Tanpa Sultan tiadalah orang yang memimpin rakyat, tiada rakyat maka tiadalah Sultan. Jika Sultan adalah dedaun,ranting dan dahan yang memayungi maka rakyat adalah batang dan akarnya.

Perkara yang lepas biarkanlah ia berlalu, hari yang mendatang belum tentu badai dan ombaknya bagaimana. Bangkitlah Sultanku tunjukkanlah kuasamu kerna kami sekalian hamba Melayu sangat mengharapkan titah Tuanku. Sudah sampai waktunya Tuanku sekalian bangun memimpin kami, tinggalkanlah kerusi empuk dan keindahan mahligai kalian demi kami sekalian rakyat Melayu. Jika moyang kami sanggup bergadai nyawa demi mempertahankan kedudukan para Sultan terdahulu sudah tentu kami para waris mereka akan berbuat perkara yang sama . Buat sekalian rakyat Melayu jangan salahkan kapal yang karam kerana bocor salahkan diri sendiri kerana kita saling bertuduhan dan menyalahkan satu sama lain. Moga sejarah lalu menjadi pedoman untuk generasi mendatang Jangan mudah berputus asa kerana sesungguhnya anak Melayu sejati tidak mudah mengalah. Biar mati melawan jangan mati berputus asa!.










Maralah bangsaku moga namamu harum selamanya…










Mi‘rāj al-Sālikīn: Survivalitas Ajaran Tarekat Syatariyah di Aceh Periode Kolonial

This article discusses the development of Syattariyah Sufi order as one of religious traditions in Aceh in the colonial era based on the manuscript of Muhammad Khatib Langien’s Mi‘rāj al-Sālikīn ilá Martabat al-Wāsilīn bi-Jāh Sayyid al-Mursalīn. The Syattariyah teachings in Mi‘rāj al-Sālikīn have proved the existence of Muhammad Khatib Langien in the Malay-archipelago world. In applying his teachings, Muhammad Khatib Langien has the different procedures than that one of  ‘Abd al-Raūf al-Fansuri. In addition to practical teachings, Muhammad Khatib Langien employs local symbols such as wearing skullcaps and turbans in the swear oath (bay‘ah) process. This tradition is meant to respond the foreign culture as well as to show the identity of each members of Syattariyah sufi order. It is proved that Muhammad Khatib Langien’s teachings that can be accepted by all people and groups even without having support from the local authorities at the time.

Di Aceh, jalur ‘Abd al-Raūf al-Fansuri (Abdurrauf Syiah Kuala) bukanlah satu-satunya penghubung tarekat Syatariyah dari dunia Islam (Mekah dan Madinah) ke dunia Melayu-Nusantara, khususnya Aceh. Beberapa naskah koleksi Tanoh Abee menyebutkan terhubungnya murid-murid tarekat Syatariyah di sana tanpa melalui jalur Abdurrauf al-Fansuri di era yang sama. Demikian juga jaringan silsilah Syatariyah di Pidie dari tokoh utama adalah Muhammad bin Ahmad Khatib Langien di Pidie. Berada di Gampong (desa) Langien di wilayah kemukiman berada di Pidie (Kabupaten) yang jauh dari sentral Kesultanan Aceh (Banda Aceh).
Hubungan silsilah tarekat Syatariyah terjalin kuat antara ulama Nusantara, Arab dan India secara langsung ataupun tidak. Konsep ajaran yang disebarkan di Nusantara –khususnya Aceh- tidak berbeda jauh dengan konsep di tempat lahir dan berkembangnya tarekat ini. Walaupun belum didapatkan tokoh Arab atau India dalam tarekat ini yang langsung berkiprah di Aceh, seperti peran Nūr al-Dīn al-Ranirī periode Iskandar Tsani (w. 1641) dan pamannya, Hamīd al-Rānirī di masa Iskandar Muda (w. 1630), yang mengembangkan tarekat Qadiriyah di Aceh.
Tarekat Syatariyah masuk dan berkembang di Aceh hampir bersamaan dengan atau setelah tarekat Qadiriyah. Sejauh ini, ‘Abd al-Raūf al-Fansuri memiliki jaringan terluas di Nusantara, dan dapat dipastikan yang pertama. Dengan pengalamannya selama 19 tahun di Jazirah Arab dan “berguru Syatariyah” kepada Ahmad al-Qushāshī dan Ibrāhim al-Kurānī hingga dipercayakan untuk mengembangkan ajaran tarekat di Nusantara. Ia mampu mengorbitkan ulama-ulama dalam tarekat Syatariyah di seluruh wilayah Melayu-Nusantara, diantaranya Burhanuddin Ulakan, (w. 1699 M) dari Pariaman, Sumatra Barat, Abdul Muhyi (w. 1738 M) dari Pamijahan, Tasikmalaya, Jawa Barat, Yusuf al-Makassari (w. 1999 M) dari Sulawesi, dan Syaikh Abdul Malik bin Abdullah atau Tok Pulau Manis (1678-1736) dari Terengganu.

Salah satu kemudahan yang dimiliki oleh ‘Abd al-Raūf al-Fansuri dalam penyebaran tarekat Syatariyah adalah ia sebagai “orang dalam” di Kesultanan. Posisi penting yang diamanahkan tersebut telah menjadikan tarekat Syatariyah sebagai ajaran resmi di Kesultanan Aceh. Jika kita menilik kembali ke India, hal tersebut tidak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan oleh ‘Abdullah al-Syaṭṭār dan Muhammad Ghauts saat di India yang mendapat tempat di hati penguasa Sultan Moghuls, sehingga tarekat tersebut dapat bertahan sekian lama. Demikian juga kekuatan karakter tarekat Syatariyah di Aceh yang dibangun oleh para pemimpinnya dapat eksis di Kesultanan, serta mendapat tempat istimewa sebagai ajaran resmi keagamaan.
Di dalam ajaran tarekat Syatariyah sendiri, juga terdapat beberapa perbedaan –atau pergeseran- yang terjadi diakibatkan oleh berbagai faktor dan zaman yang berubah. Muhammad Khatib Langien –menurut Mi‘rāj al-Sālikīn- memiliki perbedaan di beberapa tata cara (praktik) amaliyah tarekat dengan tata cara ‘Abd al-Raūf al-Fansuri.
Proses pembaiatan dan talqīn yang disebutkan oleh Muhammad Khatib Langien dan Teungku Di Pulo satu tahap saja untuk memudahkan dan memberi kelonggaran dalam proses ritual. Namun, bagi ‘Abd al-Raūf al-Fansuri proses talqīn dan baiat dua hal yang berbeda, dan keduanya memiliki tata cara masing-masing secara terperinci dan berurutan. Perbedaan juga terjadi tata baiat perempuan, satu harus melalui media air, seperti bejana diisi air. Sedangkan lainnya cukup berjabat tangan tanpa bersentuhan.
Selain itu, perubahan juga diwariskan dari ritual talqīn dan baiat yang telah dilakukan oleh guru Muhammad Khatib Langien sebelumnya, Muhammad ‘Alī dan Muhammad As’ad, yang tercantum dalam Mi‘rāj al-Sālikīn disebutkan sebagai berikut:
Bermula kelakuan talqīn dan bai’at pada tarekat ini, itu hendak ada shaykh dan muridnya itu berair sembahyang, maka menyuruh shaykh akan muridnya itu taubat daripada sekalian dosa, kemudian maka menjabat shaykh itu akan tangan muridnya dan mengata shaykh itu “A‘ūdhu billāh min al-shayṭān al-rajīm {Inna al-ladhīna yubāyi‘ūnaka innamā yubā‘ūna Allāh…}

Muhammad Khatib Langien telah memberikan semacam reorientasi terhadap tarekat Syattariyah dan memperbaharuinya menjadi sebuah tarekat ortodoks yang dapat diterima oleh semua kalangan dan golongan, tanpa harus didukung oleh penguasa. Ortodoksi tersebut bukanlah konsep yang mutlak dan abadi, namun relatif dan dinamis, sesuai perkembangan atau pergeseran yang tidak terlepas dari situasi politik dan komunitas masyarakat. Hal tersebut menjadikan tarekat Syatariyah eksis dan berhasil memodifikasi serta mereformulasi posisinya dalam masyarakat Aceh yang terus berubah. Munculnya pemakaian simbol-simbol khas daerah (lokal) dari karya ulama Syatariyah untuk tampil di panggung internasional, merupakan salah satu cara menjadikannya sebuah perekat dengan kelompok-kelompok muda dan tua dalam menumbuhkan nasionalisme dan anti kolonialisme. Tokoh-tokoh Syatariyah periode ke-19 mampu menjembatani antara spiritualitas dengan patriotisme untuk menjawab tantangan di wilayah dan periode mereka.

Download Artikel Hermansyah di Jurnal Studia Islamika
atau
http://journal.uinjkt.ac.id/index.php/studia-islamika/article/view/515