Tampilkan postingan dengan label Abdurrauf. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Abdurrauf. Tampilkan semua postingan

Manuskrip Incaran Ust. Abdus Somad (1)

Selasa, 26 Desember 2017 merupakan hari bersejarah bagi Aceh dan bagi Ust. Abdus Somad. Pada hari tersebut tokoh fenomenal alumni Mesir dan Maroko tersebut hadir ke Aceh untuk menyampaikan tausiyah pada acara “Zikir Internasional” dalam rangka memperingati 13 tahun gempa-tsunami Aceh 2004. Acara tersebut dihadiri puluhan ribu jamaah.

Selain itu, momen yang tidak terlupakan juga bagi Ust. Abdus Somad, adalah sehari sebelumnya ia dideportasi oleh otoritas imigrasi Hongkong. Karena itulah, hikmah dan obat hati dari kejadian tersebutlah membawanya ke negeri Serambi Mekkah  di ujung Pulau Sumatera, wilayah yang menjadi salah satu sumber ilmu dan inspirasi baginya.

Ust. Abdus Somad menyampaikan tausiyah lebih dari satu jam, bahasannya berbagai topik, antaranya persoalan ummat di zaman sekarang, Syariat Islam, ukhuwah Islamiyyah, antisipasi LGBT, etika bermazhab, hingga khazanah keilmuan ulama-ulama di Aceh.

Khazanah keilmuan yang ia sebutkan terkait ulama Aceh yang produktif mengarang atau menulis kitab. Peran para ulama Aceh telah mencerdaskan masyarakat tidak hanya di Aceh, tapi juga Melayu-Nusantara hingga sekarang. Para ulama-ulama ini telah berhasil membangunkan khazanah keilmuan dengan karyanya yang menjadi rujukan berabad-abad.

Memang, kekaguman Ust. Abdus Somad terhadap karya ulama Aceh tersebut sering disampaikan dalam beberapa ceramahnya dalam konten bahasan tentang Aceh. Bahkan ia pun penasaran dengan beberapa manuskrip yang belum dijumpainya dan dilihat isinya. Namun demikian, pengetahuan tentang ulama-ulama Aceh dan karya-karyanya, dalam pandangan saya, cukup mumpuni dan sangat baik. Sebab, jarang tokoh dan alim terkenal di Indonesia yang menyampaikan rujukan-rujukan kitab ulama sendiri.

Dan, syukurlah manuskrip-manuskrip yang disebutkan masih tersimpan di beberapa koleksi pribadi dan lembaga di Aceh, salah satunya di koleksi Museum Negeri Aceh Banda Aceh.

Antara tokoh dan kitab yang disebutkan oleh Ust. Abdus Somad adalah: Pertama, Syaikh Abdurrauf al-Jawi al-Fansuri yang mengarang kitab tafsir pertama dalam Bahasa Jawi/Melayu, Tarjuman al-Mustafid.

Biografi Singkat ‘Abdurrauf al-Fansuri 
Nama lengkap pengarang kitab Tarjuman al-Mustafid adalah ‘Abdurrauf bin ‘Ali al-Jawi al-Fansuri, sebagaimana sering ia sebutkan dalam kitab-kitabnya, tanpa as-Singkili.  Tidak ada sumber yang secara jelas menyebutkan tanggal kelahirannya, namun menurut DA. Rinkes5 sebagaimana yang dikutip oleh Azyumardi Azra, ‘Abdurrauf dilahirkan sekitar tahun 1024 H/1615 M. Ia meninggal dunia pada tahun 1105 H/1693 M, dengan usia 78 tahun dan dimakamkan di gampong Kuala Aceh, Lamdingin, di Banda Aceh.

‘Abdurrauf menuntut ilmu di Jazirah Arab selama 19 tahun, ia kembali ke Aceh sekitar tahun 1661 M. Ia aktif mengembangkan ajaran tarekat tasawuf Syattariyah dan menulis atau mengarang kitab multidisiplin ilmu. Hingga saat ini telah teridentifikasi karya mencapai 40 judul kitab. Termasuk kitab Tafsir yang dikarangnya pada masa Sultanah Safiyatuddin Syah (berkuasa 1644-23 Oktober 1675 M).


Kitab Tafsir Melayu Pertama 
Tafsir Tarjuman Al-Mustafid merupakan tafsir pertama berbahasa Melayu yang ditulis lengkap tiga puluh juz. Bahasa Melayu dan aksara Jawi sangat identik dengan Islam karena memang hubungan Melayu dengan Islam sudah terjadi sejak eksis kerajaan Pasee di Aceh menyebar ke wilayah Melayu Nusantara. Kerajaan Samudera Pasee adalah kerajaan pertama yang melegalkan dan mengasas aksara Jawi yang didasari pada tulisan Arab.

Selama lebih daripada tiga abad ia dikenali sebagai terjemahan Tafsir al-Baydhawi. Kitab ini tersebar di pelosok negeri Melayu-Nusantara (Indonesia) sebagai Terjemahan Tafsir al-Baydhawi. Beberapa cetakan yang ada turut menggunakan judul tersebut "at-Tarjamah al-Jawiyyah Lit-Tafsir al-Musamma Anwar al-Tanzil wa Asrar at-Ta'wil lil-Imam al-Qadi al-Baydhawi" atau dikenal dengan istilah "Tafsir al-Baydhawi" dalam bahasa Melayu.
Kitab Cetakan "Tarjuman al-Mustafid" yang menyebutkan terjemahan dari Tafsir "al-Baydhawi"
Cetakan Mustafa al-Bab al-Halabi, Mesir 1370 H/1951 M.

Namun demikian, beberapa peneliti menyebutkan bahwa Kitab Tarjuman al-Mustafid melebihi atau terdapat unsur dan teknik yang berbeda dalam Tafsir Baidhawi, sehingga tidak dapat disebut ia kutipan lansung seluruhnya dari al-Baydhawi.

Kitab Tarjuman al-Mustafid tidak hanya dikenal di tanah Melayu Nusantara, akan tetapi juga dikenal hingga ke Turki, Mesir, Mekah, dan beberapa negara lainnya. Persebaran “santri” yang menuntut ilmu di berbagai wilayah menjadikan kitab tersebut sebagai salah satu rujukannya. Bahkan, ia terus menjadi rujukan hingga ke hari ini, khususnya bagi peneliti dan para al-mufassirin. Dengan demikian, kitab ini menjadi tafsir al-Quran yang lengkap digunakan hampir tiga abad sebelum lahirnya kitab-kitab tafsir yang lain.

Beberapa catatan peneliti menyebutkan bahwa cetakan pertama Kitab Tarjuman al-Mustafid saat Syeikh Muhammad Zain al-Fatani membawa manuskrip Tarjuman al-Mustafid ke Turki dan ditunjukkan kepada sultan Turki. Sang Sultan tertarik dengan karya besar dan penting tersebut, hingga akhirnya dicetak di Istanbul. Ini merupakan cetakan pertama oleh Matba’ah al-Utmaniyyah pada tahun 1302H/1884M dan 1324H/1906M.

Kemudian Kitab Tarjuman al-Mustafid  dicetak di Qahirah oleh Matba’ah Sulayman al-Maraghi, Maktabah al-Amiriyyah di Mekah, Bombay (India), Singapura, Jakarta dan Pulau Pinang. Edisi terakhir ialah cetakan Jakarta pada tahun 1981.

Saat ini, beberapa manuskrip atau tulisan tangan kitab Tarjuman al-Mustafid masih dapat dijumpai dibeberapa koleksi di Aceh, terutama di Museum Aceh dengan nomor inventarisir 07.0269, 07.351, 07.420, dan 07.441.  Selain itu, koleksi Museum Ali Hasjmy Banda Aceh dengan nomor 1/TF/5/YPAH/2005.


Bersambung: Manuskrip Incaran Ust. Abdus Somad (2)


Dikutip dari berbagai sumber.

Abdurrauf Fansuri Ulama Penentram Umat

Kisah pengkafiran antara satu kelompok dengan lainnya di Aceh sudah berawal pada periode Nuruddin Ar-Raniry (1637-1644) di era Sultan Iskandar Tsani (w. 1640), dan terus menggelinding pada awal pemerintahan Sultanah Safiyatuddin Syah Tajul Alam.
Perbedaan paham tersebut puncaknya pada pembakaran kitab-kitab ajaran Hamzah Fansuri (sekitar tahun 1639) dan berlanjut diskusi ilmiah antara Syekh Saifurrijal dengan Syekh Nuruddin Ar-Raniry di Masjid Raya Baiturrahman.
Alhasil, Nuruddin Ar-Raniry tiba-tiba kembali ke tanah kelahiraannya di Ranir, Gujarat, sekitar tahun 1644 Masehi.
Untuk menggantikan posisi jabatan penting yang ditinggalkan Nuruddin Ar-Raniry sebagai Qadhi Malikul Adil dan Syaikhul Islam, maka diangkat Syekh Saifurrijal. Walaupun data ini masih lemah.
Ternyata, persoalan konflik keagamaan belum mereda, hingga periode kepulangan Abdurrauf Fansuri bin Ali (dikenal juga Syiah Kuala) pada tahun 1661 M (1071 H) dari Haramain, setelah 19 tahun menuntut ilmu di sana.
Baru satu tahun berada di Aceh, ia telah dikenal oleh banyak orang dan orang di Kesultanan atas kedalaman ilmunya dan kebijaksanaannya. Di awal eranya, persoalan-persoalan perbedaan paham, konflik keagamaan, hingga masalah takfir (pengkafiran), terutama paham wujudiyah (wahdatul wujud) muncul deras dari masyarakat, hingga “memaksakan” dirinya untuk mengirim sepucuk surat kepada gurunya, Syekh Ibrahim ibn Hasan al-Kurani al-Syahrazuri al-Syahrani al-Kurdi al-Madani al-Syaf i’i (1616-1690) atau lebih dikenal Ibrahim al-Kurani, di Madinah.
Ibrahim al-Kurani pernah menjawab dan menulis beberapa persoalan yang terjadi di Aceh secara khusus, dan Nusantara secara keseluruhan. Salah satunya diberi judul Ithaf al-Dhaki bi Syarh al-Tuhfah al-Mursalah ila al-Nabi saw.
Kitab Ithaf al-Dhaki merupakan sebuah komentar (syarh) atas kitab lain berjudul al-Tuhfah al-Mursalah ila al-Nabi saw yang ditulis oleh Fadl Allah al-Hindi al-Burhanpuri di India (w. 1619), pada tahun 1590, berkaitan dengan doktrin martabat tujuh yang sempat sangat populer di kalangan masyarakat Muslim Aceh dan di dunia Melayu-Indonesia.
Syekh Ibrahim al-Kurani yang telah mengarang 98 kitab terutama dalam bidang tauhid dan tasawuf meminta kepada seluruh “jamaah al-Jawiyyin”, yaitu sebutan kepada kaum muslimin dari wilayah Asia Tenggara (Melayu-Nusantara) untuk tidak mengecap kafir kepada pihak-pihak lain dalam perbedaan mazhab dan paham sufistik. Termasuk persoalan spesifik untuk mengklarifikasi perdebatan dan salah faham atas dokrin wahdat al-wujud yang terjadi di Aceh.
Pemikiran yang baik dengan tujuan untuk memperkuat ukhuwah Islamiyyah tersebut, juga terwujud dalam transformasi pemikiran Abdurrauf yang tidak radikal, melainkan santun dan rekonsiliatif, serta pendekatan yang argumentatif terhadap berbagai isu utama dalam pemikiran teologis dan sufistis, ditambah kecenderungan Abdurrauf untuk menampilkan gagasannya dengan tetap mendasarkan pada norma-norma keilmuan, terutama konsep neo-sufisme.
Dalam berbagai karyanya, seperti ‘Umdatul Muhtajin, Tanbih al-Masyi, Kifayat al-Muhtajin, Daqa’iq al-Huruf, al-Mawahib al-Mustarsilah Abdurrauf telah dengan menunjukkan sikap seorang ulama yang cinta perdamaian dan menjadi “peneduh” bagi seluruh umat beragama.
Abdurrauf yang telah berkontribusi dalam bidang intelektual dan menulis kitab sebanyak 36 buah dalam beragam ilmu, tidak satupun memberikan label “sesat” kepada pihak-pihak yang berbeda dengan pemahamannya.
Ia sangat hati-hati dalam hal pengkafiran tarekat, mazhab dan pendapat lainnya yang tidak sejalan dengannya. Kehati-hatiannya terhadap hal tersebut terbukti sehingga ia mengirim surat kepada gurunya.
Inilah yang membuat ia menjadi Syaikhul Islam selama empat periode di masa Sultanah tanpa ada konflik tanpa ada kepentingan politik.
Kitab [Persoalan Niat dan Takbiratul Ihram dalam Shalat] karangan Abdurrauf Fansuri (Syiah Kuala). Sebagai ulama yang rendah hati ia sebut dirinya "bebal lagi dhaif (lemah) daripada segala yang dhaif (red: teks dalam lingkaran hijau). Padahal kitab ini dikarang sebab perdebatan dua pelajar/santri baru yang mengarah kepada saling pensesatan akibat dangkalnya ilmu mereka. "Sebab itulah kusuratkan segala perkataan yang dalam risalah ini itupun karena kulihat bersalah-salahan dars (teks samping: yakni pendapat) dua orang daripada taulanku yang baharu [baru] talibul ilmi [menuntut ilmu], tetapi bebal mereka itu lagi sangat lalai ia (red: teks dalam persegi hijau)

Begitulah, seorang ulama besar tidak menyombongkan diri dan tidak juga merendahkan orang lain, sekalipun orang tersebut lebih rendah level keilmuannya. Ia tetap menyebut diri seorang yang tidak pintar dan juga seorang yang lemah.
Dalam naskah tersebut di atas, Abdurrauf menjelaskan secara rinci ragam penempatan dan baca niat dalam Takbiratul Ihram sesuai pendapat ulama-ulama dengan merujuk kepada kitab-kitab ulama Arab. Dan kemudian ia merangkumnya dengan membuat chart untuk mudah dipahami oleh (kasus) "dua pelajar/santri" baru.
Sepuluh macam niat bacaan Sembahyang [urutan kesepuluh di halaman berikutnya]

Syaikh Abdurrauf tetap mengembangkan lembaga pendidikan dayah, zawiyah Menara di area pemakaman beliau sekarang, menghidupkan tradisi diskusi ilmiah di setiap meunasah dan mesjid. Pada periode juga penyebaran tarekat sangat pesat ke seluruh wilayah Melayu-Nusantara.
Dari dulu hingga kini, Syekh Abdurrauf Syiah Kuala adalah simbol perdamaian keagamaan dan sosial budaya masyarakat Aceh dan Melayu-Nusantara.
Ia tokoh utama penyebar tarekat yang sangat popular dan disanjung sebagai orang yang santun dan bijak. Sekali lagi, pesan dari Abdurrauf Syiah Kuala adalah damai.


http://aceh.tribunnews.com/2015/09/30/syiah-kuala-ulama-penentram-umat