Apakah Nabi Juga Ber-Ijtihad ?

Apakah Nabi Juga Ber-Ijtihad ? - Selamat datang di blog Sejarah Aceh, Info kali ini adalah tentang Apakah Nabi Juga Ber-Ijtihad ? !! Semoga tulisan singkat dengan kategori ini bermanfaat bagi anda yang membutuhkan. Dan untuk anda yang baru berkunjung kenal dengan blog sederhana ini, Jangan lupa ikut menyebarluaskan postingan bertema Apakah Nabi Juga Ber-Ijtihad ? ini ke social media anda, Semoga rezeki berlimpah ikut di permudahkan sang khalik yang maha kuasa, Selengkapnya lansung lihat infonya dibawah -->



Mengenai penggalian hukum di zaman Nabi Besar Muhammad SAW dapat dilihat kepada dua macam periode:
Pertama : 
Periode sebelum hijrah Nabi SAW ke Madinah. Yakni sejak dari permulaan turun wahyu kepada Baginda hingga sampai pada waktu hijrahnya. Masa ini meliputi lebih kurang 13 tahun. Dalam periode ini sangat sedikit hukum-hukum yang merupakan syari’at Islam, seperti shalat, zakat yang masih belum begitu ada pembatasannya, puasa pada sebagian hari, dan lain-lain. Sebab dalam periode ini lebih dititikberatkan kepada menghimbau manusia kepada rukun-rukun iman, di samping menunjuki mereka kepada akhlak dan pribadi yang mulia.
Ayat-ayat yang turun dalam periode ini disebutkan dengan ayat-ayat Makkiyyah dan jumlahnya lebih kurang 2/3 Al-Qur’an.
Kedua : 
Periode sesudah hijrah Nabi SAW ke Madinah dimana  masanya lebih kurang 10 tahun. Barulah setelah Nabi berada di Madinah umat manusia yang beriman kepada Allah sudah membutuhkan hukum-hukum keagamaan dan nilainya yang mengatur kemasyarakatan dalam arti yang luas.
Masalahnya karena di Madinah Nabi Muhammad SAW sudah mulai membentuk kenegaraan dengan organisasinya. Itulah sebabnya maka ayat-ayat Madaniyyah lebih banyak dititikberatkan kepada hukum-hukum keagamaan dalam arti yang luas dan ayat-ayat untuk itu jumlahnya lebih kurang 1/3 Al-Qur’an.

Sumber-Sumber Hukum Islam Sekarang Ini
            Sumber-sumber hukum Islam di zaman Nabi Muhammad SAW baik periode sebelum hijrah dan sesudahnya adalah Kitab Suci Al-Qur’an. Sunnah dan Hadits beliau berupa perkataanya, perbuatannya dan taqrirnya. Sebab sunnah dan hadits beliau pada hakikatnya merupakan wahyu yang tidak tertulis. Karena itu hal keadaan ini bukan hanya saja pedoman bagi beliau sendiri, tetapi juga bagi para sahabatnya. Inilah yang dimaksud dengan ayat 44 surat An-Naml :
Dikatakan kepadanya: "Masuklah ke dalam istana". Maka tatkala Dia melihat lantai istana itu, dikiranya kolam air yang besar, dan disingkapkannya kedua betisnya. berkatalah Sulaiman: "Sesungguhnya ia adalah istana licin terbuat dari kaca". berkatalah Balqis: "Ya Tuhanku, Sesungguhnya aku telah berbuat zalim terhadap diriku dan aku berserah diri bersama Sulaiman kepada Allah, Tuhan semesta alam". 
Ayat di atas menyatakan, bahwa Nabi Muhammad adalah yang berhak mengungkapkan kepada umat manusia pengertian Kitab Suci Al-Qur’an supaya manusia itu dapat berpikir selanjutnya. Dengan demikian, maka terhindarlah perbedaan paham di kalangan manusia dengan kembali kepada petunjuk dan rahmat Allah buat orang-orang yang beriman. (Lihat ayat 64 surat An-Nahl).
“Dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al Quran) ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.”

            Sumber hukum yang ketiga di zaman Nabi ialah, syari’at Nabi sebelumnya selama tidak bertentangan dengan ayat-ayat yang terdapat dalam Al-Qur’an. Menurut pendapat yang terkuat di kalangan ulama Ushuliyyin, bahwa syari’at Nabi sebelumnya ialah syari’atnya Nabi Ibrahim a.s. karena Rasulullah lebih banyak menyelidiki syari’at Ibrahim a.s., terutama sebelum beliau diangkat oleh Allah SWT selaku Nabi dan Rasul. Tetapi hal keadaan ini bukan berarti Nabi kita termasuk umat Nabi Ibrahim, sebab kelahiran Nabi Muhammad adalah sesudah zaman fatrah yang begitu panjang.
            Sumber hukum yang keempat bagi zaman Nabi ialah ‘urf, atau dengan kata lain adat istiadat bangsa Arab, dimana akal dapat menerimanya dengan baik dan kemanusiaan yang adil dan beradab turut juga menilainya. Sudah barang pasti sumber hukum ini berlaku selama tidak bertentangan dengan wahyu Al-Qur’an. Misalnya hukum yang masih berlaku dalam lapangan jual beli dengan istilah aqad-salam, yakni, jual beli dengan gambaran yang jelas dan tunai, tetapi barangnya belum ada. Juga hukum mudhaarabah, yakni seorang memberikan modal kepada orang lain dengan maksud ada ketentuan laba antara keduanya berdasarkan syarat-syarat yang diatur oleh kedua belah pihak.
            Dari sumber hukum inilah para ilmuwan fiqh membuat qaidah-qaidah sebagai berikut:
اَلْمَعْرُوفُ عُرْفًا كَالْمَشْرُوطِ شَرْطًا. اَلْمَعْرُوفُ عُرْفًا كَالْمَشْرُوطِ شَرْعًا. الثَّابِتُ بِالعُرْفِ كَالثَّابِتِ بِالنَّصِ العَادَةِ مُحَكَّمَة.
Hal yang di urufkan secara urf itu seperti hal yang disyaratkan secara syarat. Hal yang di urufkan secara urf’ sebagaimana hal yang disyaratkan scara syari’at. Ketetapan dengan uruf sepertimana  ketetapan dengan kebiasaan Nas yang dihukumkan.
            Sumber hukum ini berlakunya selama tidak bertentangan dengan syarat-syarat yang diatur oleh kedua belah pihak. ‘Urf atau ‘adahini di samping telah berjalan sebelumnya dan juga masih berlaku pada ketika kasus sesuatu masalah itu terjadi. Dan yang paling penting adalah tidak bertentangan dengan Kitab Suci Al-Qur’an atau Sunnah Nabi. Selama ‘urf atau adat istiadat itu tidak ditunjang secara nyata oleh Al-Qur’an atau Sunnah Nabi, maka hukum sesuatu berdasarkan sumber hukum ini bisa berubah, apabila datang ‘urf atau adat istiadat yang lain.
            Atas sumber hukum inilah ditempatkan firman Allah dalam surat Al-A’raf ayat 199 :

“Jadilah Engkau Pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.” 
Juga dalam surah Al-Baqarah ayat 233:

“Dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf.”

Bahkan Nabi sendiri telah bersabda;
مارآه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن.
Bahwa sesuatu yang dianggap oleh umat Islam itu adalah baik, berarti itu adalah baik juga di sisi Allah.

Ijtihad Rasulullah SAW
            Berbicara mengenai ijtihad Nabi sendiri sudah termasuk dalam pemahaman firman Allah mengenai anjuran musyawarah; dalam surat Ali Imran, ayat 159 dan surat Asy-Syura, ayat 38:

“Dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu “ 
 (آل عمرن:١٥٩)
“Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka”
 (الشورى: ٣٨)
Sedangkan musyawarah adalah pada lapangan yang bersifat ijtihad, bukan pada sesuatu yang hukumnya berdasarkan wahyu. Hal keadaan ini tidak ada musyawarah padanya. Dan bukankah kita semua telah memaklumi mengenai keterangan Nabi, bahwa mujtahid sebagai penggali hukum apabila betul mendapat dua pahala dan apabila salah mendapat satu pahala.
الحاكم إذا اجتهد فأصاب فله أجران وإذا أخطأ فله أجر واحد (الحديث كما قال رسول الله صلى الله عليه وسلم).
Apabila seorang hakim berijtihad sedangkan ia benar (dalam ijtihadnya) maka baginya dua pahala, dan apabila ijtihadnya salah maka baginya satu pahala.

Dan dalam ucapan Nabi ini secara umum termasuk pula diri beliau, alaihisshalaatu wassalam.

 Sumber : 
Buku Penggalian Hukum Islam dari Masa ke Masa
Abuya Prof. Dr Tgk. H Muhibbuddin Waly





Demikianlah Artikel Apakah Nabi Juga Ber-Ijtihad ?, Semoga dengan adanya artikel singkat seperti Informasi postingan Apakah Nabi Juga Ber-Ijtihad ? ini, Anda benar benar sudah menemukan artikel yang sedang anda butuhkan Sekarang. Jangan lupa untuk menyebarluaskan informasi Apakah Nabi Juga Ber-Ijtihad ? ini untuk orang orang terdekat anda, Bagikan infonya melalui fasilitas layanan Share Facebook maupun Twitter yang tersedia di situs ini.