Sejarah Dan Asal-Usull Nama Kabupaten Batang

Pada jaman dahulu kala di sebuah desa Kalisalak hiduplah seorang gadis cantik jelita yang bernama Dewi Rantan sari anak dari Mbok Rondo, karena kecantikannya tersebut maka Sultan Mataram yang bernama Sultan Agung Hanyokrokusumo jatuh cinta kepada Dewi Rantan Sari. Ia menyuruh Bhahurekso yang biasa dikenal bernama Joko Bau anak dari Ki Agung Cempalek dari Kesesi untuk melamar Dewi Rantan Sari.

Sesampainya di kediaman Rantan sari, Bhahurekso terpesona dan jatuh cinta kepada Dewi Rantan sari, begitu pula sebaliknya Dewi Rantan Sari, begitu pula sebaliknya Dewi Rantan Sari jatuh cinta pada Bhahurekso. Akhirnya Bhahurekso melamarnya untuk dirinya sendiri tanpa sepengetahuan Sultan Mataram yang mengutusnya, dalam perjalanan pulang menuju Mataram dia terus berfikir bagaimana caranya bicara denagan Sultan Mataram atas peristiwa tersebut. Tidak lama dalam perjalanan tersebut Bhahurekso bertemu dengan gadis cantik lainnya yang juga yang wajahnya mirip dan secantik Rantan Sari di desa Kalibeluk anak seorang penjual serabi yang bernama Endang Wiranti, segera setelah muncul sebuah rencana di benak Bhahurekso, ia berencana membawa Endang Wiranti ke Mataram untuk diperkenalkan kepada Sultan Mataram sebagai Rantan Sari.

Akhirnya diputuskan Bhahurekso meminta Endang Wiranti menyamar menjadi Rantan Sari dan Endang menyetujui rencana tersebut, sesampai di kota Mataram Endang dipertemukan dengan Sultan, tidak lama Endang Wiranti jatuh pingsan, sultan menjadi curiga atas kejadian tersebut, setelah siuman dari pingsannya Sultan bertanya kepada Rantan Sari gadungan, Endang Wiranti menjadi sangat ketakutan dan akhirnya berterus terang mengatakan yang sesungguhnya bahwa sebenarnya dia ini bukan Rantan Sari yang dimaksudkan Sultan, tetapi adalah Endang Wiranti anak seorang penjual serabi dari desa Kalibeluk dia mengakui segala rencana yang disusun Bhahurekso untuk menipu Sultan Mataram karena Bhahurekso terlanjur jatuh cinta dan menikahi dewi Rantan sari gadis cantik yang hendak dipersunting Sultan Mataram.

Karena keterusterangan Endang Wiranti ini, Sultan sangat menghargai kejujuran Endang Wiranti dengan menghadiahkan sejumlah uang yang cukup banyak untuk modal meneruskan berjualan serabi dan diantarkan pulang ke Kalibeluk, Endang mohon pamit pulang dan mohon dimaafkan atas kejadian tersebut.

Sebagai hukuman atas kejadian kebohongan tersebut Sultan menghukum Bhahurekso dengan tugas berat berupa membuka hutan lebat yang sangat berbahaya karena banyak dihuni jin dan setan dengan menebang pohon-pohon besar dan berperang melawan jin penghuni alas roban. Karena Bhahurekso bersalah dan menerima hukuman itu dan langsung sesampainya disana Bhahurekso menebang semua pohon besar yang ada di alas Roban.

nya pohon-pohon besar itu adalah jelmaan para siluman yang dipimpin oleh seorang siluman raksasa yang mempunyai anak yang sangat cantik bernama Dubrikso wati, sebagai tanda menyerah atas kemenangan Bhahurekso yang sangat sakti itu raja siluman memberi hadiah berupa putrinya untuk dinikahi Bhahurekso. Bhahurekso menyetujui dan menikahi Dubrikso Wati dan memiliki seorang anak laki-laki yang diberi nama Banteng.
 

Manuskrip Incaran Ust. Abdus Somad (Final)

Selain manuskrip (naskah klasik) karya Nuruddin Ar-Raniry berjudul Shirat al-Mustaqim berkaitan dengan fiqih ibadah, seperti membahas persoalan thaharah (bersuci), shalat, puasa, zakat dan haji, dan segala persoalan yang terjadi di setiap bagian.

Karya lainnya -telah dikupas sebelumnya- adalah karya Abdurrauf al-Jawi al-Fansuri berjudul Tarjuman al-Mustafid sebagai kitab tafsir berbahasa Melayu (Indonesia) pertama di Dunia. Karya dan sumber penafsirannya  merujuk kepada beberapa kitab ulama tafsir mu'tabarah, seperti Tafsir al-Bawdhawi.

Adalah manuskrip tentang Hadist yang juga disinggung oleh Ust. Abdus Somad. Hal tersebut begitu penting sebagaimana disebut dalam ceramahnya di Banda Aceh. Kitab Hadist Arba'in (Hadist Empat Puluh) sebuah naskah yang dicari-cari oleh beliau. Hadist Arba'in adalah kitab hadist yang memuat  40 pilihan Hadist Nabi Muhammad, berkaitan dalam beragam hal dan persoalan. Temanya juga beragam.

Banyak riwayat menyebutkan keutamaan menghafal dan mempelajari kitab Hadist Arba'in. Dalam catatan para ulama, beberapa Hadist Nabi mengisyaratkan akan keutamaan Hadist Arba'in, walaupun riwayat-riwayat tersebut dikategorikan Hadist Dhaif, dan ada juga yang Hasan.  Imam al-Nawawi dalam mukaddimah kitabnya al-Arba'in al-Nawawi menyebutkan bahwa setiap orang yang menghapal 40 Hadist dari perkara agamanya, maka dia akan dikelompokkan ke golongan para fuqaha (ahli fiqih) dan para ulama.

Baca juga; Manuskrip Incaran Ust Abdus Somad (1)

Ternyata, hasil penelusuran saya tentang Hadist Arba'in di Aceh-Nusantara cukup beragam. Beberapa teks tersebut menunjukkan perbedaan konten Hadist, isi bahasan dan pendahuluannya. Variasi kandungan tersebut menunjukkan keluasan pengetahuan dan keberagaman pemahaman dalam penyampaian ilmu Hadist oleh ulama-ulama dan Ahli Hadist terdahulu.

Varian konten tersebut dapat diasumsikan sebagai sumber rujukan hadist dari ulama yang berbeda, dan juga diakibatkan kondisi dan situasi saat penulisan ataupun penyalinan teks. Tentu ada beberapa faktor lainnya yang melatar belakangi lahirnya teks yang berbeda tersebut.

Akan tetapi, Hadist Arba'in di Aceh -dan kemungkinan di Nusantara- paling banyak merujuk pada versi berikut ini.

Salah satu Hadist Arba'in yang menjadi kajian ulama Aceh dan Nusantara adalah manuskrip Hadist Arba'in koleksi Museum Aceh nomor 07.0578, yang ditulis atau disalin dalam bentuk terjemahan berbaris. Matan teks dalam bahasa Arab dan terjemahan miring dalam aksara Jawi berbahasa Melayu/Indonesia.
Gb. 01 Halaman awal teks Hadist Arba'in. Ms. 07.578 Koleksi Museum Aceh
Teks naskah Ms. 07.0578 dimulai bahasan Hadist pertama dengan "Ash-Shalat 'imād ad-dīn..." dengan terjemahan dibawahnya "Sembahyang itu tiang agama..." Sebagaimana Gb. 02 di bawah ini

Gb. 02 Halaman dua teks Hadist Arba'in. Ms. 07.578 Koleksi Museum Aceh.

Baca juga: Manuskrip Incaran Ust. Abdus Somad (2)

Hadist yang sama juga terdapat pada naskah lainnya koleksi masyarakat di Aceh Besar. Namun sayang, naskah ini telah dijual ke luar Aceh. Saya sempat mengabadikan beberapa halaman pada tahun 2016.

 Gb. 03. Halaman awal teks Hadist Arba'in. Ms Koleksi Pribadi Masyarakat.
Hadist Arba'in  ini juga koleksi Museum Aceh di Banda Aceh, nomor aktuil 07.1197. Sebagaimana teks di atas tentang sistem penulisan matan dan terjemahannya, maka pada teks ini juga ditemukan yang sama. Matan teks ditulis di baris atas dengan font lebih besar, sedangkan terjemahan ditulis di bawah teks mata dengan posisi miring.

Naskah lainnya di koleksi yang sama dengan nomor 07.1223 juga memiliki teks yang sama dengan versi  di atas. Walaupun teks ini disalin dengan kurang baik tetapi juga memiliki terjemahan berbaris.

Gb. 04. Halaman dua teks Hadist Arba'in. Ms. 07.1223 Koleksi Museum Aceh.

Masih banyak manuskrip Hadist Arba'in khususnya yang belum dikupas, di koleksi Museum Aceh saja tak kuran dari 10 naskah Hadist Arba'in. Hal tersebut tentu belum ditelusuri di koleksi masyarakat dan lembaga perseorangan, misalnya Yayasan Ali Hasjmy dan Zawiyah Tanoh Abee.

Sebalik itu, ilmu Hadist dan kajian Hadist masih kurang populer di Aceh bila dibandingkan dengan kajian ilmu fiqih dan tasawuf. Hal tersebut jelas terlihat dari jumlah kuantitas khazanah yang tersebar saat ini. Namun, hal tersebut bukan berarti kajian Hadist terabaikan, akan tetapi kadangkala terintegrasi dalam kajian-kajian lainnya. Sebab jika melihat tradisi terjemahan berbaris pada naskah-naskah di atas, maka tradisi penulisan (pengajaran) dan transmisi keilmuan Hadist pernah berkembang di Aceh. Wallahu a'lam.

YARA Tak Perlu Ditunda, Dukungan oleh Yayasan BUDHA TZU CHI Indonesia

Yayasan BUDHA TZU CHI


MEUREUDU - Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA) mendukung penuh pembangunan gedung kampus Akademi Komunitas Negeri (AKN) Pidie Jaya (Pijay) sehingga Pemerintah setempat tak perlu melakukan penundaan.

"Menurut saya, pembangunan kampus AKN tersebut akan meningkatkan kualitas pendidikan khususnya di Pijay terutama dalam tiga sektor, yaitu Perikanan, Peternakan, dan Perikanan," kata Ketua YARA, Safaruddin kepada wartawan, Minggu (18/2/2018).

Mengingat relevansi terhadap peningkatan mutu pendidikan, maka YARA berharap agar pembangunan AKN tersebut tidak perlu dilakukan penundaan.

Sebab, ini juga bagian dari tugas pemerintah dalam meningkatkan hak dalam mendapatkan pendidikan.

Dukungan oleh Yayasan Budha Tzu Chi Indonesia terhadap pembangunan AKN tidak perlu 'digoreng' menjadi isu lain.

Karena di Pijay sedang dalam suasana tahapan Pilkada dan ini justru akan merugikan daerah itu sendiri.

Dinyakini, dengan adanya AKN di Pijay tentu masyarakat di Pijay tidak perlu lagi mengeluarkan biaya yang besar.

Untuk melanjutkan pendidikan pada tingkat perkuliahan serta dengan adanya kampus pun, itu akan membawa multiplayer efek bagi daerah sekitarnya.

Tentunya, akan banyak anak kuliah menyewa rumah (kos) untuk menempuh pendidikan.

Kemudian akan banyak orang yang akan berjualan makanan.

Maka dengan sendirinya dapat membangun gampong gampong di Pijay dengan program KKN dan Baksos kampus nantinya.

Yayasan BUDHA TZU CHI

Tak hanya itu saja bagi putra daerah Pijay tentu tidak perlu mengeluarkan biaya banyak untuk melanjutkan pendidikan, karena kampusnya dapat di tempuh dalam jarak yang dekat.

Ini seiring dengan pernyataan pihak Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) kabupaten setempat yang menyatakan bahwa pembangunan AKN tidak ada kaitannya dengan agama.

Apalagi keberadaan AKN tersebut di tengah masyarakat Pijay yang religius tentu pengaruh negatif terhadap agama islam akan segera bisa di tangkal oleh masyarakat setempat.

Apalagi, Pemkab Pijay mampu menyakinkan pihak luar dalam berkontribusi untuk membantu dalam peningkatan pendidikan dan kualitas SDM.

"Saat ini di Aceh sangat butuh investasi dan dukungan dari berbagai pihak untuk membangun Aceh, penolakan AKN ini akan menjadi hal yang tidak baik nantinya," kata Ketua YARA, Safaruddin.

Penulis: Idris Ismail

Sejarah Asal Mula Bangsa Aceh !!

Konon keturunan bangsa Aceh adalah dari tanah Persia. Seperti kita sering dengar kepanjangan ACEH sebagai Arab, China, Eropa, dan Hindustan (India). Namun sampai sekarang jarang para sarjana yang mengangkat kisah seperti ini. Hanya Affan Jamuda dan A.B. Lila Wangsa yang menulis “Peungajaran Peuturi Droe Keudroe (Pelajaran mengenal diri sendiri)” menyebutkan: Wangsa Acheh saboh wangsa nyang jak meunanggroe rot blah barat pulo Ruja. Wangsa nyan asai phon nibak wangsa Achemenia, Wangsa Achemenia nyang asai jih phon bah binak buket Kaukasus di Europa teungoh. Wangsa Achemenia nyang hudep bak thon 2500 GM (gohlom masehi). Wangsa Achemenia saboh wangsa nyang harok meurantoe, sampoe wangsa nyang meusipreuk bansaboh Asia, Afrika, Europa ngon pulo Ruja. Nyang saboh turonan neuweh u tanoh Parsi jeut keuwangsa Parsia, nyang sabih suke neuweh u pulo Ruja, dudoe teuma jeut keu-wangsa Acheh.Wangsa Acheh asai phon nibak wangsa Achemenia-Parsia-Acheh, Affan Jamuda and AB. Lila Wangsa, Peungajaran Peuturi Droe Keudroe (Pidie: Angkasa Muda, 2000).

Terjemahannya; Bangsa Aceh adalah satu bangsa yang membangun negeri di sebelah barat Pulau Ruja (Sumatera). Bangsa ini asalnya dari bangsa Achemenia, bangsa Achemenis berasal dari sebuah bukit Kaukasus di Eropa Tengah. Bangsa Achemenia hidup sekitar 2500 Tahun sebelum Masehi. Bangsa Achemenia satu bangsa yang suka merantau, sampai bangsa ini tersebar di seluruh Asia, Afrika, Eropa dan juga Pulau Ruja. Satu keturunan pindah ke tanah Persia, kemudian menjadi bangsa Persia, yang satu suku lagi pindah ke Pulau Ruja, kemudian lahir bangsa Aceh. Bangsa Aceh pertama sekali berasal dari bangsa Achemenia-Parsia-Acheh). Tentu saja itu bukan sebuah kebetulan, jika kemudian kita temukan akar sejarah migrasi manusia dari Persia, bahkan sebelum Raja Darius (521-486 Sebelum Masehi) yang menguasai Persia, konon beragama Zoroasther. Raja ini menyebarkan sayap pemerintahannya sampai Eropa, Anatolia, Mesir, Mesopotamia, dan India Barat.

Dalam buku A History of World Societies disebutkan bahwa: “They had created “world empire” encompassing of the oldest and most honored kingdoms and peoples of the ancient Near East.” Jadi, ada benarnya bahwa penggalan lagu Rafly di atas, yaitu “Beek tabeoh kada wangsa meutuwah; turounan meugah meuri-ri wangsa; khujja ngoen majja lakap geupajah; turoenan meugah dorius raja”. Sampai sekarang, bukti sejarah ini memang masih mengundang sejumlah tanda tanya. Sebab, di dalam sejarah, selalu disebutkan nama Parsia di dalam sejarah Aceh, namun jarang yang bisa menarik kembali kemana arah sejarah Aceh sebelum Masehi atau sebelum Islâm datang ke daerah ini. Pada masa Darius dan anaknya Xerxes (486-464 Sebelum Masehi), mereka telah membangun suatu monarki kekuasaan, yang ternyata telah disebutkan sebagai “world empire” (kerajaan dunia) hingga menjadi cikal bakal beberapa kerajaan di Timur Tengah.
Kemudian Jamuda dan Lilawangsa menulis: hon teuka di tanoh Parsi (Iran-Irak jinoe). Sabab musabab neueuka sampoe roh neumeunanggroe lam pulo ruja. Bak zameun Raja Dorius neumat keurajeun di Parsia, lam masa nyang kuasa keurajeun Raja Dorius luah lagoina mulai di Meuser troh u Hindi ngan lam pula Ruja. Lam masa nyan keu wangsa-ureung bako-bako di nanggroe Parsia neujak duek u nanggroe blah barat pulo Ruja nyang dudoe neulakap Nanggroe Aceh. Yoh goh nyang lam tanoh Acheh kana Aulia-Aulia Allah, nyang sahe naggroe Acheh milek harta Aulia-Aulia Allah (Bangsa Persia sebelum menjadi bangsa Aceh, pertama kali datang di tanoh Parsia (Iran-Irak sekarang). Sebab datangsampai membangun negeri di Pulau Ruja. Pada masa zaman Raja Darius memegang tampuk kekuasaan di Persia, pada waktu itu wilayah kekuasaan Raja Darius sangatlah luas sekali mulai dari Mesir hingga ke India sampai ke Pulau Ruja.
Pada zaman itu berbagai bangsa di negeri Persia berangkat menetap di sebelah Barat Pulau Ruja kemudian diberinama Nanggroe Aceh. Sebelum itu di tanah Aceh sudah ada wali-wali Allah, yang jaga negeri Aceh milik harta-harta Aulia Allah). Jadi, dapat dipastikan bahwa asal usul indatu orang Aceh adalah dari Parsia yang datang ke Pulau Ruja, sebuah pulau yang kemudian diberi nama Aceh. Namun yang menarik adalah jika benar pada zaman Raja Darius yang beragama Zoroasther sudah ada Wali-Wali Allah di Aceh, maka pertanyaannya adalah apa benar sudah ada agama yang menyembah Allah sebelum Masehi. Sebab ungkapan bahwa Aceh milik atau tanah para Wali juga ditemukan dalam ungkapan lagu Rafly berikut, Han geu meu kafe ureung Aceh nyang/ ’Saweub bumoe nyang tanoh Aulia/ Geutem sut nyawong peudong kheun Allah/ Kameunan reusam geutung pusaka… (Tidak akan menjadi Kafir orang Aceh itu/Sebab bumi ini adalah tanah Aulia/ Rela mengeluarkan nyawa untuk mempertahankan kalimah Allah/ Begitu adat yang diambil sebagai pusaka). Sayangnya semua sejarah itu masih berupa catatan perang. Kegemilangan Aceh sebagai salah satu kerajaan besar hanya cerita manis.
Ada yang menarik tentang Aceh, yakni simbol agama yang dikekalkan dalam suasana dayah, sebagai pusat sumber ilmu agama Islam tempoe doeloe. Ketika Aceh hendak dijajah, semua suku dan ulama di Aceh sepakat melawan penjajahan. Karena itu, konsep kebencian orang Aceh terhadap penjajahan, bukan karena kebencian etnisitas atau sejarah, tetapi karena melawan penindasan atau penjajahan merupakan jihad. Hal itu dibuktikan oleh Tgk Chik Pantee Kulu dengan karyanya kitab Hikayat Prang Sabi yaitu membakar semangat orang Aceh melawan penjajah dengan ideologi agama.
Dalam konteks etnis, orang Aceh adalah orang yang berjiwa kosmopolitan alias bisa menerima siapa saja atau suku bangsa apapun. Untuk mengelompokkan etnisitas, sistem kerajaan Aceh menyusun kependudukan berdasarkan negeri asal suku bangsa tersebut, sebagaimana dilukiskan dalam hadih maja “Sukee lhee reuthoh bak aneuk drang, Sukee ja sandang jeura haleuba, Sukee tok bate na bacut bacut, Sukee imuem peut yang gok-gok donya”. Sukee di sini dalam kata lain artinya suku sehingga hadih maja ini menggambarkan keragaman suku bangsa di dunia yang berdomisili di Aceh. Semuanya berhasil disatukan oleh sultan Alaidin Riayatsyah Al Qahhar (1537-1565) di bawah panji Islam dan terayomi di bawah payung kerajaan Aceh Darussalam.
Mengenai asal usul masyarakat Aceh, HM. Zainuddin (1961), mengatakan bahwa orang dari suku Batak/Karee membentuk kaum Lhee Reutoih. Orang asing lainnya seperti Arab, Persia, Turki, Keling (dagang), Melayu semenanjung, Bugis membentuk kaum Tok Batee Sultan berasal dari kaum Tok Batee. Kaum percampuran dari Hindu dan Batak Karee membentuk group baru menjadi kaum Ja Sandang. Pimpinannya diberi gelar dengan panglima kaum dengan gelar kaum imeum peut. Sedangkan orang Gayo, sebagaimana dikutip Gerini (HM. Zainuddin, 1961) menghubungkannya dengan Dagroian sesuai dengan catatan- catatan Marcopolo. Menurutnya, Dagroian berasal dari kata-kata drang – gayu, yang berarti orang Gayo. Masyarakat tumbuh dan berkembang dari waktu ke waktu. Perubahan itu bisa saja berpunca di dalam masyarakat itu sendiri atau bersumber dari luar lingkungan masyarakat yang bersangkutan. Aceh mempunyai comparative advantage karena menjadi pusaran dunia, transit pertama sebelum ke bagian Nusantara.
Terakhir, saya ingin menegaskan bahwa dalam sejarah kebudayaan Aceh, persoalan bersatu dan berpisah adalah hal yang sangat biasa. Artinya, mereka bisa bersatu dengan kelompok manapun,namun budaya yang sudah mengakar yang dibalut dengan kualitas tradisi Islam tidak akan pernah dapat dihentikan. Jiwa nasionalisme orang Aceh yang menjadi bagian dari Indonesia merupakan satu nafas dalam perjuangan mereka, sejauh itu tidak dikhianati. Adapun nasionalisme di Indonesia walaupun masih didominasi oleh pemahaman kebudayaan Jawa, agaknya memang telah mewariskan persoalan sejarah yang tercecer. Artinya, sejarah nasionalisme di Indonesia adalah sejarah yang dikendalikan oleh pemerintah. Sehingga dinamika kebudayaan di daerah dianggap sebagai ‘aset’ bukan pelaku utama, untuk tidak mengatakan mereka tidak memberikan arti yang signifikan. Hal ini belum lagi dimana ‘aset’ budaya Indonesia cenderung dijadikan sebagai objek untuk kepentingan sosial politik, bukan kepentingan kebudayaan bangsa Indonesia. sumber

Status Hadis Bumi Dilipat Di Malam Hari




Teks Hadis

Diriwayatkan daripada Anas bin Malik, Rasulullah s.a.w. bersabda,


عَلَيْكُمْ بِالدُّلْجَةِ فَإِنَّ الْأَرْضَ تُطْوَى بِاللَّيْلِ
“Hendaklah kalian melakukan perjalanan pada waktu malam kerana sesungguhnya bumi itu dilipatkan di malam hari.”


Sumber Hadis
1. Riwayat Abu Daud no. 2571

2. Riwayat Ahmad no. 15091

3. Riwayat al-Hakim no. 1630

4. Riwayat ibn Khuzaimah no. 2555

5. Riwayat al-Baihaqi no. 10342


Status Hadis
1. Hadis ini dinilai sahih lighairihi menurut Syaikh Syuaib al-Arnauth. Sanad hadis ini asalnya hasan namun dikuatkan dengan sanad daripada jalan periwayatan yang lain. (Sunan Abu Daud 4/217)

2. Berkata al-Hafiz al-Iraqi, “Sanad riwayat Abu Daud itu hasan.” (Takhrij Ahadith Ihya’ Ulumiddin 2/647)


Faedah Hadis
1. Al-Duljah bermaksud perjalanan di waktu malam. Cuma para ulama berbeza pendapat sama ada yang dimaksudkan dengan al-Duljah itu awal malam, akhir malam atau seluruh malam. Pandangan yang terpilih ialah seluruh malam sebagaimana yang disebutkan oleh al-Munawi. (Faidh al-Qadir 4/340)

2. Hadis ini menunjukkan galakan untuk bermusafir pada waktu malam terutama di kawasan padang pasir yang panas atau tempat panas yang lain. Tambahan pula, musafir pada waktu dahulu menggunakan haiwan tunggangan. Berkata ibn Abdil Bar, “Adapun maksud bumi itu dilipatkan pada waktu malam ialah -wallahua’lam- jika haiwan tunggangan berehat pada siang hari, maka ia boleh berjalan di waktu malam dengan lebih tenang berbanding berjalan di siang hari. Kerana itulah Rasulullah s.a.w. menggalakan melakukan perjalanan di malam hari.” (al-Istizkar 8/535)

3. Perjalanan pada waktu malam biasanya terasa lebih cepat dan tenang berbanding waktu siang. Berkata al-Munawi, “Satu per satu halangan berkurang dan jarak perjalanan juga lebih singkat berbanding perjalanan di siang hari yang tidak terasa ianya disingkatkan. Suruhan Nabi ini berbentuk irsyad sahaja (panduan/tip).” (al-Taisir bi Syarh al-Jami’ al-Saghir 2/140)

4. Musafir di waktu malam merupakan kebiasaan Rasulullah s.a.w. kerana kelebihan dan suasana yang lebih baik dan sejuk berbanding pada waktu siang yang panas. Ibn Hajar al-Asqalani berkata, “Melakukan perjalanan pada waktu malam lebih baik daripada waktu siang sebagaimana yang berlaku dalam perjalanan Israk dan Mikraj. Kerana itu juga kebanyakan ibadah baginda s.a.w lebih banyak dilakukan di malam hari. Begitu juga dengan musafir baginda s.a.w. lebih banyak di malam hari.” (Fath al-Bari 7/217)

5. Disisi mazhab Syafie, disunatkan musafir pada waktu akhir malam (2/3 malam yakni waktu sahur) dan makruh musafir di awal malam. Namun menurut Imam an-Nawawi, tidak makruh musafir pada awal malam. (al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab 4/393)




Wajib Tamakninah Dalam Solat




Diriwayatkan daripada Abu Hurairah r.a., bahwa Nabi s.a.w. masuk ke dalam masjid. Ada seorang lelaki juga masuk ke dalam masjid lalu solat. Selepas itu, dia datang dan memberi salam kepada Nabi s.a.w. Baginda menjawab salamnya lalu berkata,



ارْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ، فَصَلَّى، ثُمَّ جَاءَ، فَسَلَّمَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: ارْجِعْ فَصَلِّ، فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ ثَلاَثًا، فَقَالَ: وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالحَقِّ، فَمَا أُحْسِنُ غَيْرَهُ، فَعَلِّمْنِي، قَالَ: إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلاَةِ، فَكَبِّرْ، ثُمَّ اقْرَأْ مَا تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنَ القُرْآنِ، ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا، ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَعْتَدِلَ قَائِمًا، ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا، ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا، ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا، ثُمَّ افْعَلْ ذَلِكَ فِي صَلاَتِكَ كُلِّهَا

“Pergilah, ulangi solatmu kerana kamu masih belum solat.” Lelaki itu kemudian mengulangi solatnya kemudian kembali bertemu dengan baginda dan memberi salam. Baginda kemudian berkata lagi, “Pergilah, ulangi solatmu kerana kamu masih belum solat.” Baginda memerintahkannya sehingga tiga kali lalu lelaki itu berkata, “Demi Zat yang mengutusmu dengan kebenaran, aku tidak mampu melakukan solat yang lebih baik daripada ini. Ajarlah aku.” Baginda bersabda, “Jika kamu solat, maka bertakbirlah lalu bacalah ayat yang mudah dari al-Quran. Kemudian rukuklah sehingga benar-benar rukuk, lalu bangunlah sehingga kamu berdiri tegak. Selepas itu, sujudlah sehingga kamu benar-benar sujud. Lakukanlah seperti ini dalam seluruh solatmu.” (Riwayat al-Bukhari)

……………

Wajib Tenang Ketika Solat

Biasanya kita mendengar perkara yang wajib dalam solat ialah bertakbir, membaca al-Fatihah, rukuk, sujud dan sebagainya. Namun antara perkara wajib yang sering diabaikan ialah tenang dalam solat!

Dalam istilah teknikalnya, tamakninah dalam solat. Tamakninah ertinya diam, berhenti atau bertenang sebentar ketika rukuk, iktidal, sujud, dan duduk antara dua sujud sehingga solat itu dikerjakan dengan tenang dan khusyuk. Perkara ini yang sering kita abaikan ketika solat bahkan ianya terjadi dalam kalangan sahabat nabi sebagaimana dalam hadis utama sebelumnya.

Menurut imam an-Nawawi dalam Syarh Sahih Muslim, hadis ini menjadi dalil bahawa wajibnya tamakninah dalam solat. Begitu juga ketika iktidal, iaitu bangun selepas rukuk, wajib untuk tamakninah. Ini merupakan pandangan mazhab Syafie, Maliki dan Hanbali. 

Kerana itu disunatkan membaca tasbih dalam rukuk dan sujud sebanyak tiga kali. Salah satu tujuannya agar dapat mencapai ketenangan dalam pergerakan. Namun, tempoh minima yang disebutkan ulama untuk tamakninah ialah sekurang-kurangnya bacaan sekali tasbih.



Mencuri Sambil Solat

Perbuatan yang sering kali dilakukan sebahagian orang namun mereka tidak sedar akan kesalahannya. Mereka menyangka sedang beribadah, namun dalam waktu yang sama mereka juga ‘mencuri’. Itulah perumpamaan orang yang solat tergesa-gesa sehingga meninggalkan tamakninah ketika solat.

Rasulullah s.a.w. bersabda: 

إِنَّ أَسْوَأَ النَّاسِ سَرِقَةً الَّذِي يَسْرِقُ صَلَاتَهُ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَكَيْفَ يَسْرِقُهَا قَالَ لَا يُتِمُّ رُكُوعَهَا وَلَا سُجُودَهَا
“Seteruk-teruk pencuri ialah pencuri dalam solat.” Para sahabat bertanya, wahai Rasulullah, bagaimanakah mencuri ketika solat? Baginda menjawab, “Dia tidak menyempurnakan rukuk dan sujudnya.” (Riwayat Ahmad)

Termasuk kesalahan besar yang diremehkan saat solat ialah meninggalkan tamakninah. Kerana itu, meninggalkan tamakninah menurut majoriti ulama, membatalkan solat. Sesungguhnya tidak ada makna sesebuah solat, tanpa tamakninah. Dengannyalah, solat jadi indah, khusyuk dicapai dan kelazatan solat dirasai.



Teknik Khusyuk Dalam Solat

Mencapai khusyuk bukan semudah yang disangka kerana ia merupakan amalan terawal yang hilang dan diangkat oleh Allah sebagaimana yang disebutkan oleh sahabat Nabi bernama Ubadah bin al-Samit yang diriwayatkan oleh imam al-Tirmizi. Hadis yang sama juga diriwatarkan dalam riwayat Ahmad, sahabat Nabi bernama Auf bin Malik berkata,


بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوسٌ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ فَنَظَرَ فِي السَّمَاءِ ثُمَّ قَالَ هَذَا أَوَانُ الْعِلْمِ أَنْ يُرْفَعَ فَقَالَ لَهُ رَجُلٌ مِنْ الْأَنْصَارِ يُقَالُ لَهُ زِيَادُ بْنُ لَبِيدٍ أَيُرْفَعُ الْعِلْمُ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَفِينَا كِتَابُ اللَّهِ وَقَدْ عَلَّمْنَاهُ أَبْنَاءَنَا وَنِسَاءَنَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنْ كُنْتُ لَأَظُنُّكَ مِنْ أَفْقَهِ أَهْلِ الْمَدِينَةِ ثُمَّ ذَكَرَ ضَلَالَةَ أَهْلِ الْكِتَابَيْنِ وَعِنْدَهُمَا مَا عِنْدَهُمَا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ

فَلَقِيَ جُبَيْرُ بْنُ نُفَيْرٍ شَدَّادَ بْنَ أَوْسٍ بِالْمُصَلَّى فَحَدَّثَهُ هَذَا الْحَدِيثَ عَنْ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ فَقَالَ صَدَقَ عَوْفٌ ثُمَّ قَالَ وَهَلْ تَدْرِي مَا رَفْعُ الْعِلْمِ قَالَ قُلْتُ لَا أَدْرِي قَالَ ذَهَابُ أَوْعِيَتِهِ قَالَ وَهَلْ تَدْرِي أَيُّ الْعِلْمِ أَوَّلُ أَنْ يُرْفَعَ قَالَ قُلْتُ لَا أَدْرِي قَالَ الْخُشُوعُ حَتَّى لَا تَكَادُ تَرَى خَاشِعًا


Ketika kami duduk-duduk di samping s.a.w. pada suatu hari, beliau memandang ke langit lalu bersabda: "Inilah saatnya ilmu diangkat." Lalu seseorang dari Ansar bernama Ziyad bin Labid bertanya: Adakah ilmu terangkat padahal ditengah-tengah kami ada kitab Allah (al-Quran), kami mengajarkannya kepada anak-anak dan isteri kami?" Rasulullah s.a.w. menjawab: "Dahulu aku menyangka engkau penduduk Madinah yang paling mengerti." Setelah itu beliau menyebutkan kesesatan ahli dua kitab padahal keduanya memiliki kitab Allah azza wajalla. Setelah itu Jubair bin Nufair menemui Syaddad bin Aus di tempat solat lalu menceritakan hadis dari ‘Auf bin Malik ini padanya, ia berkata: ‘Auf benar. Setelah itu ia bertanya: Tahukah kamu apakah diangkatnya ilmu itu? Syaddad menjawab: Aku tidak tahu. Jubair berkata: Hilangnya wadah-wadahnya. Jubair bertanya: Tahukah kamu ilmu apa yang pertama kali terangkat? Syaddad menjawab: Aku menjawab: Aku tidak tahu. Jubair menjawab: Khusyuk. Hingga hampir saja kau tidak akan melihat lagi orang yang khusyuk. (Riwayat Ahmad)


Walaupun tidak mudah, namun sekurang-kurangnya kita berusaha untuk mampu dekat dengan khusyuk. Terdapat pelbagai penafsiran tentang maksud khusyuk yang sebenar. Antara yang disebutkan ulama ialah:

1. Ali bin Abi Talib: Tidak menoleh ke kiri atau kanan.

2. Ibn Abbas: Merasa kerdil dan rendah diri.

3. Qatadah & Hasan al-Basri: Rasa takut kepada Allah.

4. Mujahid: Menundukkan pandangan dan merendahkan suara.

5. Sa‘id bin Jubair: Tidak mengetahui siapa di kanan dan kirinya serta tidak pula menoleh demi khusyuk kepada Allah.

6. Amru bin Dinar: Berdiam tetap dan baik keadaannya ketika solat.

7. Ibn Sirin: Tidak mengangkat pandangan mata daripada tempat sujud.


Jika selama ini kita sering solat ‘patuk ayam’, maka baikilah solat kita. Belajarlah untuk tenang ketika solat. Dengan mempraktikkan tamakninah serta definisi khusyuk yang disebutkan oleh ulama, rasa khusyuk sedikit sebanyak akan mulai hadir dalam solat kita. Apatah lagi jika kita dapat memahami maksud bacaan dalam solat, tentu khusyuk lebih bertambah. Semoga kita rasa seronok dengan solat.

Wallahua'lam.

Status Hadis Mati Syahid Kerana Pendam Cinta







Teks Hadis



مَنْ عَشَقَ وَكَتَمَ وَعَفَّ فَمَاتَ فَهُوَ شَهِيدٌ
Sesiapa yang jatuh cinta lalu dia pendam dan menjauhkan diri darinya kemudian dia mati, maka dia mati syahid.



Sumber Hadis

1. Riwayat al-Khatib al-Baghdadi dari sanad Abdullah bin Abbas (Tarikh Baghdad 5/364 pada biografi Muhammad bin Daud bin Ali Abu Bakr al-Asbahani )

2. Riwayat Ibn Asakir dalam dari sanad Abdullah bin Abbas (Tarikh Dimashq 43/195 pada biografi Ali bin Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Al-Husain)

3. Riwayat al-Ghazali (Ihya’ Ulumiddin 3/105)



Status Hadis:
Hadis ini tidak sahih. Sebahagian ulama menilainya dhaif jiddan (sangat lemah) manakala sebahagian yang lain menilainya maudhu’ (palsu).


1. Berkata al-Hafiz ibn Hajar al-Asqalani, “Para ulama hadis mengingkari riwayat hadis Suwaid (bin Said) ini. Begitulah yang dinyatakan oleh Ibn Adi dalam al-Kamil. Demikian juga al-Baihaqi dan ibn Tahir mengingkari kesahihan riwayat ini. Ibn Hibban berkata, sesiapa yang meriwayatkan riwayat seperti ini daripada Ali bin Mushir, maka riwayatnya ditinggalkan (tertolak).” (al-Talkhis al-Habir 2/283)


2. Berkata al-Hafiz ibn Jauzi al-Hanbali, “Hadis ini tidak sahih daripada Rasulullah s.a.w. Suwaid bin Said menjadi madar (paksi hadis) dalam dua jalan riwayat hadis ini.” (al-Ilal al-Mutanahiah 2/285)


3. Berkata al-Ijli; Aku sangat hairan dengan hadis ini (bagaimana suwaid boleh meriwayatkannya) kerana ianya tidak diriwayatkan oleh orang lain selain daripada jalan Suwaid bin Said sedangkan dia seorang thiqah (dipercayai).


Wallahua'lam.